Mungkin aku adalah orang
yang berpikiran tradisional. Mungkin pula aku adalah orang yang terjebak
pada masa lalu dan lupa melihat masa depan yang gilang gemilang. Mungkin bagi
orang yang berpikiran maju dan progresif, aku adalah tipe manusia yang
menghambat pembangunan, menghalangi kemajuan, resisten, anti perubahan, pro
comfort zone .... Atau apapun namanya,
pokoknya sejenis dengan barang yang berkategori “ketinggalan jaman”. Entahlah.... Tapi apakah salah jika sekali
waktu aku berpikir dalam kecemasan ; Apakah yang disebut dengan kemajuan pembangunan
(fisik) harus selalu berbanding terbalik dengan nilai-nilai budaya asli dan
meminggirkan budaya dan pemilik yang semula ada?
Tidak hanya sekali dan tidak hanya pada satu tempat aku
melihat kecenderungan seperti ini di negeri tercinta Indonesia.
Di tanah para raja, kota tujuanku mudik setiap lebaran, aku
melihat kecenderungan ini. Betapa banyaknya iklan properti yang bertaburan di
media cetak lokal maupun di baliho sepanjang jalan. Semua menyodorkan impian yang sama : hunian
moderen, berkelas, style minimalis adaptasi dari negeri asing. Jarang yang
menyodorkan konsep yang berasal dari kearifan lokal. Belum lagi dengan bakal adanya proyek
kondominium dan town house yang benar-benar berciri kehidupan barat
(individualistis dan tertutup), tidak mencerminkan
keramahan dan keguyuban khas lokal. Dan
tanah-tanah tempat berdirinya proyek-proyek bertipe asing itu....? Bukankah
semua itu diperoleh dengan membeli dari penduduk setempat yang – nota bene-
besar kemungkinan adalah masyarakat asli setempat? Lalu setelah mereka menjual
tanah miliknya, kemana mereka pergi? Apakah mereka nantinya akan tinggal
disalahsatu rumah atau kondominium yang dibangun itu? Aku berpikir, pasti tidak demikian. Mereka
akan membeli tanah dan rumah dilokasi lain di pinggiran kota yang mungkin
letaknya tidak se-strategis lokasi yang telah mereka lego kepada pemodal dari
luar. Lalu rumah dan kondominium yang
dibangun diatas “bekas” tanah mereka akan dibeli oleh orang-orang kaya dari luar
daerah yang membeli property karena anaknya
bersekolah di kota itu, atau memang mereka sengaja membeli karena ingin tinggal
dikota itu setelah pensiun, dan enggan kembali lagi ke tanah kelahirannya di wilayah
atau pulau seberang.
Hal yang sama dengan kondisi dikotaku itu juga sudah terjadi
sekian lama di sebuah pulau tempat tujuan wisata utama di Republik ini. Selama
tiga tahun lebih tinggal disana, aku memperoleh kesan yang sama ; bahwa pemilik
lokal atas tanas dan air mulai (atau sudah?) terpinggirkan. Sawah dan ladang tempat tumbuhnya padi yang
seharusnya menunjang kebutuhan perut berubah fungsi menjadi bangunan hunian,
ruko, hotel, dan tempat usaha lainnya. Rakus sekali pembangunan fisik atas
dasar bisnis dan perputaran uang itu menelan keaslian dan kehijauan alam. Sekali lagi, pemilik lokal akan bergerak ke
pinggir karena tanah yang dulu mereka miliki telah beralih menjadi hak pemodal
dari luar, baik dari luar pulau bahkan dari luar negeri, dengan membawa budaya
khas dari negeri asalnya yang kadang-kadang berlawanan dengan nilai-nilai
budaya yang mereka anut. Ironis.
Ditempatku tinggal sekarang, di daerah yang menjadi
penyangga Ibukota negara. Hal yang sama juga terjadi, dan itu sudah menjadi
fenomena sejak dulu. Sawah dan ladang di
perkampungan yang semula hijau, sejuk dan adem, sekarang sudah menjelma menjadi
bangunan-bangunan fisik yang didirikan atas dasar pemikiran bisnis dan uang.
Tak sedikit ruang hijau yang diatasnya berdiri perumahan baru dengan konsep
(yang katanya) moderen...bla...bla...bla...
Dan pemilik tanah yang merupakan penduduk lokal pun semakin menepi ke
pinggir, seperti memberi kesempatan dan peluang kepada orang-orang dari “sebelah”
untuk menguasai tanah “bekas” milik mereka.
Tiga tempat yang berjauhan dengan kondisi dan kecenderungan
yang sama. Tidakkah hal itu cukup memberikan gambaran bahwa kemajuan
pembangunan (fisik) hampir selalu menelan “korban”. Mereka yang menjadi korban
adalah masyarakat lokal yang tanpa sadar melego kepemilikan dengan pemikiran
jangka pendek untuk mendapatkan materi uang. Namun mereka tidak berpikir, bahwa
dalam jangka panjang mereka akan terpinggirkan,
kebiasaan dan budaya lokal semakin harus menepi. Dan mereka tidak bisa lagi disebut tuan ditanah tempat mereka
dilahirkan. Apakah harus selalu begitu?
Pondok Gede - 11102012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar