Kamis, 11 Oktober 2012

TERPINGGIRKAN


Mungkin aku adalah orang  yang berpikiran tradisional. Mungkin pula aku adalah orang yang terjebak pada masa lalu dan lupa melihat masa depan yang gilang gemilang. Mungkin bagi orang yang berpikiran maju dan progresif, aku adalah tipe manusia yang menghambat pembangunan, menghalangi kemajuan, resisten, anti perubahan, pro comfort zone ....  Atau apapun namanya, pokoknya sejenis dengan barang yang berkategori  “ketinggalan jaman”.  Entahlah.... Tapi apakah salah jika sekali waktu aku berpikir dalam kecemasan ; Apakah yang disebut dengan kemajuan pembangunan (fisik) harus selalu berbanding terbalik dengan nilai-nilai budaya asli dan meminggirkan budaya dan pemilik yang semula ada?

Tidak hanya sekali dan tidak hanya pada satu tempat aku melihat kecenderungan seperti ini di negeri tercinta Indonesia.

Di tanah para raja, kota tujuanku mudik setiap lebaran, aku melihat kecenderungan ini. Betapa banyaknya iklan properti yang bertaburan di media cetak lokal maupun di baliho sepanjang jalan.  Semua menyodorkan impian yang sama : hunian moderen, berkelas, style minimalis adaptasi dari negeri asing. Jarang yang menyodorkan konsep yang berasal dari kearifan lokal.  Belum lagi dengan bakal adanya proyek kondominium dan town house yang benar-benar berciri kehidupan barat (individualistis dan  tertutup), tidak mencerminkan keramahan dan keguyuban khas lokal.  Dan tanah-tanah tempat berdirinya proyek-proyek bertipe asing itu....? Bukankah semua itu diperoleh dengan membeli dari penduduk setempat yang – nota bene- besar kemungkinan adalah masyarakat asli setempat? Lalu setelah mereka menjual tanah miliknya, kemana mereka pergi? Apakah mereka nantinya akan tinggal disalahsatu rumah atau kondominium yang dibangun itu?  Aku berpikir, pasti tidak demikian. Mereka akan membeli tanah dan rumah dilokasi lain di pinggiran kota yang mungkin letaknya tidak se-strategis lokasi yang telah mereka lego kepada pemodal dari luar.  Lalu rumah dan kondominium yang dibangun diatas “bekas” tanah mereka akan dibeli oleh orang-orang kaya dari luar daerah yang membeli property  karena anaknya bersekolah di kota itu, atau memang mereka sengaja membeli karena ingin tinggal dikota itu setelah pensiun, dan enggan kembali lagi ke tanah kelahirannya di wilayah atau pulau seberang.

Hal yang sama dengan kondisi dikotaku itu juga sudah terjadi sekian lama di sebuah pulau tempat tujuan wisata utama di Republik ini. Selama tiga tahun lebih tinggal disana, aku memperoleh kesan yang sama ; bahwa pemilik lokal atas tanas dan air mulai (atau sudah?) terpinggirkan.  Sawah dan ladang tempat tumbuhnya padi yang seharusnya menunjang kebutuhan perut berubah fungsi menjadi bangunan hunian, ruko, hotel, dan tempat usaha lainnya. Rakus sekali pembangunan fisik atas dasar bisnis dan perputaran uang itu menelan keaslian dan kehijauan alam.  Sekali lagi, pemilik lokal akan bergerak ke pinggir karena tanah yang dulu mereka miliki telah beralih menjadi hak pemodal dari luar, baik dari luar pulau bahkan dari luar negeri, dengan membawa budaya khas dari negeri asalnya yang kadang-kadang berlawanan dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut. Ironis.

Ditempatku tinggal sekarang, di daerah yang menjadi penyangga Ibukota negara. Hal yang sama juga terjadi, dan itu sudah menjadi fenomena sejak dulu.  Sawah dan ladang di perkampungan yang semula hijau, sejuk dan adem, sekarang sudah menjelma menjadi bangunan-bangunan fisik yang didirikan atas dasar pemikiran bisnis dan uang. Tak sedikit ruang hijau yang diatasnya berdiri perumahan baru dengan konsep (yang katanya) moderen...bla...bla...bla...  Dan pemilik tanah yang merupakan penduduk lokal pun semakin menepi ke pinggir, seperti memberi kesempatan dan peluang kepada orang-orang dari “sebelah” untuk menguasai tanah “bekas” milik mereka.

Tiga tempat yang berjauhan dengan kondisi dan kecenderungan yang sama. Tidakkah hal itu cukup memberikan gambaran bahwa kemajuan pembangunan (fisik) hampir selalu menelan “korban”. Mereka yang menjadi korban adalah masyarakat lokal yang tanpa sadar melego kepemilikan dengan pemikiran jangka pendek untuk mendapatkan materi uang. Namun mereka tidak berpikir, bahwa dalam jangka panjang  mereka akan terpinggirkan, kebiasaan dan budaya lokal semakin harus menepi. Dan mereka tidak  bisa lagi disebut tuan ditanah tempat mereka dilahirkan. Apakah harus selalu begitu?


Pondok Gede - 11102012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar