Senin, 14 Juli 2014

Diet Kantong Kresek



 
Foto : Koleksi pribadi

Kantong kresek adalah sebutan bagi kantong plastik yang lazim digunakan untuk pembungkus barang belanjaan. Disebut "kresek", karena jika digunakan ia menimbulkan bunyi berisik kresek-kresek. Terlebih bila diremas-remas.

Tak tahu pasti kapan awal mula plastik jenis HD atau PE itu muncul di negara kita. Dulu, jaman aku masih anak-anak, seingatku plastik belanja adalah barang langka. Kalaupun ada, jenis plastiknya pun tebal serta tidak berbunyi kresek-kresek. Kurang lebih mirip dengan jenis plastik laundry yang tersedia di hotel-hotel. Dan pula, dulu penggunaan kantong belanja plastik terbatas di toko-toko besar. Bandingkan dengan masa kini, dimana belanja sayur pun kita akan diberi plastik kresek sebagai pembungkus. Sementara seingatku, dulu belanja sayur selalu dibungkus dengan material alami seperti daun pisang atau daun jati, dan para ibu kemudian menempatkannya dalam keranjang belanja dari bambu atau plastik keras yang dibawa dari rumah dan bisa dipakai berulang-ulang.

Lalu siapa yang mengira bahwa kehadiran plastik kresek ini ternyata tidak seindah awalnya? Aku pernah membaca, plastik seperti ini jika tidak diolah dengan baik akan merusak lingkungan, karena material ini baru akan dapat diurai oleh tanah setelah 10 hingga 12 tahun. Tak terbayangkan, betapa sengsaranya tanah tempat tumbuh tanaman disesaki oleh sampah plastik yang dibuang begitu saja oleh pemakainya?

Berangkat dari hal itu, dan karena ingin berperanserta dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan gaya hidup "go green" maka aku memutuskan untuk melakukan diet kantong kresek.
Untuk tahap pertama, sebelum benar-benar bisa membawa sendiri tas dari rumah setiap kali hendak berbelanja (karena lebih sering lupa ; terbiasa berangkat belanja dengan tangan kosong). Maka aku memutuskan untuk sebisa mungkin menolak pemberian plastik kresek dari warung, mini market maupun hyper market. Atau setidaknya mengurangi menerima plastik kresek sebagai pembungkus.

Tapi bagi sebagian pemilik warung, kasir mini market dan hyper market, ternyata niatku untuk menjalani gaya hidup "go green" itu (hayaaahhh.....) terasa aneh.
Beberapa kali aku mendapati mereka memandangku dengan heran. Misalnya ketika aku menolak plastik pembungkus telur yang di-dobel karena aku sudah menenteng plastik dari belanjaan sebelumnya. Si Teteh pemilik warung tetap nekad memberi plastik dobel sambil berujar, "Ulah kitu, Bu.... Pakai sajalah, kan gratis ini..."
Atau dilain waktu ketika aku membeli vitamin yang langsung kuselipkan ke dalam tas. Petugas apotik memandangku dengan heran sambil kembali menyimpan plastik bercetak nama apotiknya.
Pun di sebuah minimarket, ketika aku membeli deterjen bubuk, roti dalam kemasan plastik dari pabriknya, dan kopi dalam kemasan kotak karton. Si Mbak Kasir mengambil sehelai plastik kecil untuk membungkus deterjen bubuk, sehelai lagi untuk membungkus roti, lalu memasukkan semua belanjaan dalam sehelai lagi kantong kresek berukuran besar. Aku langsung memotong, "Mbak, sudah aja, dicampur dalam satu kantong besar aja, nggak usah dikasih plastik masing-masing."
Mbak Kasir menjawab dengan agak ragu-ragu, "Benar nggak apa-apa, Bu? Soalnya banyak yang nggak mau kalau belanjaan dicampur jadi satu kayak gini..."

Hehehe.... Rupanya para aktivis lingkungan melupakan satu hal. Mustinya untuk menggalakkan gaya hidup "go green" mereka juga mendesak pemilik jaringan minimarket dan hypermarket untuk bersikap pelit dalam memberikan kantong plastik. Atau lebih ekstrim lagi, memberikan tambahan biaya untuk setiap helai kantong plastik yang diberikan kepada konsumen? Dijamin para konsumen akan berpikir ulang dan memilih membawa sendiri kantong belanjaan dari rumah.


Pondok Gede - 13072014

Selasa, 08 Juli 2014

Mahabharata ; KARNA (2)

Kompetensi dan Eksistensi

Syahdan, Karna adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata yang acap disebut tokoh antagonis. Akan tetapi bagi sebagian orang yang menelisik lebih dalam, Karna dianggap tokoh protagonis yang terperangkap oleh sumpahnya sendiri.

Karna memiliki darah bangsawan dari ibunya, Kunti, seorang putri dari kerajaan Kuntibhoj.
Keberadaan Karna terjadi karena kesalahan Kunti dimasa remaja akibat ingin tahu kemanjuran sebuah mantra. Hingga Dewa Surya akhirnya berkenan "memberi" Kunti seorang bayi. Maka untuk menjaga namanya sebagai seorang putri raja yang terhormat, Karna, bayi yang lahir tak berdosa itu terpaksa di"larung" (bahasa halus untuk kata di"buang") dengan dihanyutkan ke sungai.

Perjalanan bayi Karna di dalam keranjang indah menyusuri sungai berakhir ketika ia ditemukan dan dianggap anak oleh pasangan suami istri Adirath dan Radha, dari kasta sudra. Ia pun dibesarkan dan dianggap sebagai anak sendiri tanpa tahu bahwa dia hanyalah anak yang tak bertalian darah dengan orangtuanya. Tapi dasar keturunan Dewa, Karna pun kemudian tumbuh menjadi pemuda yang trampil memanah menyamai Arjuna, dengan ilmu senjata yang ia peroleh dengan caranya sendiri.

Karna sadar dan sangat percaya diri dengan keahliannya memanah. Hingga pada suatu ketika ia berani menantang Arjuna dalam sebuah kompetisi yang hanya boleh diikuti para bangsawan dan ksatria. Sontak para penonton di 'stadion' Hastinapura tercengang akan keberanian dan kenekadannya. Seorang pemuda dari kasta sudra menantang Arjuna si master panah berkasta ksatria? Apa kata duniaaaaa..?!

Alih-alih mendapatkan pujian dan support, ia malah direndahkan dan dihinakan di depan forum, hanya karena dia berasal dari kalangan sudra tanpa dipandang kompetensinya. Karna pun terpuruk di depan mata ribuan orang penonton. Padahal sisi terdalam hatinya menginginkan orang mengakui kemampuan dan keberadaannya. Kebutuhan akan nilai self esteem yang saat itu meraja dalam dirinya.

Adalah kemudian Duryudhan, si sulung durjana dari klan Kurawa yang tampil mengangkat harga diri Karna. Di depan semua bangsawan dan rakyat akar rumput Hastinapura, ia memuji keahlian Karna sekaligus menasbihkan Karna sebagai saudara angkatnya. Dan sejak saat itu Karna memiliki hak selayaknya para bangsawan Hastinapura.
Karna yang tak menyangka mendapat anugrah itu langsung mengangkat janji dan sumpah, bahwa jiwa dan hidupnya kemudian akan dipersembahkan untuk melindungi Duryudhan.

Nah, kiranya sumpah itulah yang selalu dan harus dipegang oleh Karna. Meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa klan Kurawa adalah lucifer bagi klan Pandawa sekaligus bagi kerajaan Hastinapura. Pun kenyataannya ia diangkat sebagai saudara oleh Kurawa dengan hidden agenda ; Kurawa ingin memanfaatkan keahliannya dalam memanah untuk melawan klan Pandawa. Sesekali, Karna yang dibekali nilai-nilai kebenaran oleh orangtua angkatnya berusaha meluruskan perilaku para Kurawa. Tapi ia kalah berpengaruh dibanding paman Sangkuni, moron yang berperan sebagai pembisik sekaligus penghasut keluarga Kurawa.

Posisi Karna yang ambigu itu yang menyebabkan pertentangan batin dalam dirinya. Ia tahu mana benar dan mana salah, tapi ia terikat pada sumpahnya. Dan malangnya, sumpah itu telanjur ter-dedikasi-kan bagi pihak 'hitam'. Maka terjebaklah dia dalam keadaan simalakama. Ia bergaul dengan pihak lucifer yang angkara murka dan seharusnya dijauhi, tapi disisi lain ia harus setia dengan sumpah dan janjinya melindungi Duryudhan si durjana yang telah mengangkat martabatnya.

Selanjutnya bisa dipahami mengapa Karna bersikeras menolak bergabung dengan saudaranya di klan Pandawa, walaupun yang meminta adalah ibu kandungnya sendiri. Ia ingin menjaga janjinya pada Duryudhan, satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat ia terpuruk karena direndahkan kemampuannya dan dihinakan eksistensinya didepan ribuan orang hanya karena ia dibesarkan dikalangan kasta sudra. That's it.

Tak heran pula jika dikemudian hari, Karna sekali lagi mengalami pertentangan batin yang sangat dalam ; Ketika ia mengetahui bahwa ia adalah anak kandung luar nikah dari ratu Kunti, yang berarti sebenarnya ia adalah si sulung dari klan Pandawa.

Inilah kata-kata Karna kepada ibu biologisnya, Kunti ;

"Apa kata para Dewa dan orang-orang jika tiba-tiba aku berada dipihak Pandawa. Mereka akan memandangku sebagai manusia yang ingkar pada janjinya sendiri. Karena itu, biarkan aku menjalani sumpahku."

Ya, meskipun itu berarti Karna harus tetap berada di pasukan Kurawa dan melawan Pandawa, adik-adiknya sendiri.

"Jangan katakan kepada Pandawa bahwa aku adalah kakak tertua mereka. Karena jika mereka tahu, mereka akan menghormati aku dan menolak melawanku dalam perang."

Karna tahu jika itu terjadi, skenario para Dewa untuk menumpas angkara murka melalui perang Bharatayudha akan berantakan. Ia tahu dirinya akan perlaya di medan perang karena ia berada dipihak angkara murka.

Dengan berlinang airmata ia mengunjukkan sembah, berlutut menyentuh kaki ibu kandungnya. Ia lalu bangkit meninggalkan Kunti yang juga bersimbah airmata karena tak kuasa menyatukan anak-anaknya.

Beberapa hari kemudian dalam Bharatayudha, Karna gugur oleh panah adiknya, Arjuna.
Satria Pandawa ; Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun menangis saat tahu bahwa Karna adalah saudara kandung mereka sendiri.

Pondok Gede - 06072014


Foto: Mahabharata ; KARNA (2)
Kompetensi dan Eksistensi

Syahdan, Karna adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata yang acap disebut tokoh antagonis. Akan tetapi bagi sebagian orang yang menelisik lebih dalam, Karna dianggap tokoh protagonis yang terperangkap oleh sumpahnya sendiri.

Karna memiliki darah bangsawan dari ibunya, Kunti, seorang putri dari kerajaan Kuntibhoj.
Keberadaan Karna terjadi karena kesalahan Kunti dimasa remaja akibat ingin tahu kemanjuran sebuah mantra. Hingga Dewa Surya akhirnya berkenan "memberi" Kunti seorang bayi. Maka untuk menjaga namanya sebagai seorang putri raja yang terhormat, Karna, bayi yang lahir tak berdosa itu terpaksa di"larung" (bahasa halus untuk kata di"buang") dengan dihanyutkan ke sungai.

Perjalanan bayi Karna di dalam keranjang indah menyusuri sungai berakhir ketika ia ditemukan dan dianggap anak oleh pasangan suami istri Adirath dan Radha,  dari kasta sudra. Ia pun dibesarkan dan dianggap sebagai anak sendiri tanpa tahu bahwa dia hanyalah anak yang tak bertalian darah dengan orangtuanya. Tapi dasar keturunan Dewa, Karna pun kemudian tumbuh menjadi pemuda yang trampil memanah menyamai Arjuna, dengan ilmu senjata yang ia peroleh dengan caranya sendiri.

Karna sadar dan sangat percaya diri dengan keahliannya memanah. Hingga pada suatu ketika ia berani menantang Arjuna dalam sebuah kompetisi yang hanya boleh diikuti para bangsawan dan ksatria. Sontak para penonton di 'stadion' Hastinapura tercengang akan keberanian dan kenekadannya. Seorang pemuda dari kasta sudra menantang Arjuna si master panah berkasta ksatria? Apa kata duniaaaaa..?!

Alih-alih mendapatkan pujian dan support, ia malah direndahkan dan dihinakan di depan forum, hanya karena dia berasal dari kalangan sudra tanpa dipandang kompetensinya. Karna pun terpuruk di depan mata ribuan orang penonton. Padahal sisi terdalam hatinya menginginkan orang mengakui kemampuan dan keberadaannya. Kebutuhan akan nilai self esteem yang saat itu meraja dalam dirinya.

Adalah kemudian Duryudhan, si sulung durjana dari klan Kurawa yang tampil mengangkat harga diri Karna. Di depan semua bangsawan dan rakyat akar rumput Hastinapura, ia memuji keahlian Karna sekaligus menasbihkan Karna sebagai saudara angkatnya. Dan sejak saat itu Karna memiliki hak selayaknya para bangsawan Hastinapura.
Karna yang tak menyangka mendapat anugrah itu langsung mengangkat janji dan sumpah, bahwa jiwa dan hidupnya kemudian akan dipersembahkan untuk melindungi Duryudhan.

Nah, kiranya sumpah itulah yang selalu dan harus dipegang oleh Karna. Meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa klan Kurawa adalah lucifer bagi klan Pandawa sekaligus bagi kerajaan Hastinapura. Pun kenyataannya ia diangkat sebagai saudara oleh Kurawa dengan hidden agenda ; Kurawa ingin memanfaatkan keahliannya dalam memanah untuk melawan klan Pandawa. Sesekali, Karna yang dibekali nilai-nilai kebenaran oleh orangtua angkatnya berusaha meluruskan perilaku para Kurawa. Tapi ia kalah berpengaruh dibanding paman Sangkuni, moron yang berperan sebagai pembisik sekaligus penghasut keluarga Kurawa.

Posisi Karna yang ambigu itu yang menyebabkan pertentangan batin dalam dirinya. Ia tahu mana benar dan mana salah, tapi ia terikat pada sumpahnya. Dan malangnya, sumpah itu telanjur ter-dedikasi-kan bagi pihak 'hitam'. Maka terjebaklah dia dalam keadaan simalakama. Ia bergaul dengan pihak lucifer yang angkara murka dan seharusnya dijauhi, tapi disisi lain ia harus setia dengan sumpah dan janjinya melindungi Duryudhan si durjana yang telah mengangkat martabatnya.

Selanjutnya bisa dipahami mengapa Karna bersikeras menolak bergabung dengan saudaranya di klan Pandawa, walaupun yang meminta adalah ibu kandungnya sendiri. Ia ingin menjaga janjinya pada Duryudhan, satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat ia terpuruk karena direndahkan kemampuannya dan dihinakan eksistensinya didepan ribuan orang hanya karena ia dibesarkan dikalangan kasta sudra. That's it.

Tak heran pula jika dikemudian hari, Karna sekali lagi mengalami pertentangan batin yang sangat dalam ; Ketika ia mengetahui bahwa ia adalah anak kandung luar nikah dari ratu Kunti, yang berarti sebenarnya ia adalah si sulung dari klan Pandawa.

Inilah kata-kata Karna kepada ibu biologisnya, Kunti ;

"Apa kata para Dewa dan orang-orang jika tiba-tiba aku berada dipihak Pandawa. Mereka akan memandangku sebagai manusia yang ingkar pada janjinya sendiri. Karena itu, biarkan aku menjalani sumpahku."

Ya, meskipun itu berarti Karna harus tetap berada di pasukan Kurawa dan melawan Pandawa, adik-adiknya sendiri.

"Jangan katakan kepada Pandawa bahwa aku adalah kakak tertua mereka. Karena jika mereka tahu, mereka akan menghormati aku dan menolak melawanku dalam perang."

Karna tahu jika itu terjadi, skenario para Dewa untuk menumpas angkara murka melalui perang Bharatayudha akan berantakan. Ia tahu dirinya akan perlaya di medan perang karena ia berada dipihak angkara murka.

Dengan berlinang airmata ia mengunjukkan sembah, berlutut menyentuh kaki ibu kandungnya. Ia lalu bangkit meninggalkan Kunti yang juga bersimbah airmata karena tak kuasa menyatukan anak-anaknya.

Beberapa hari kemudian dalam Bharatayudha, Karna gugur oleh panah adiknya, Arjuna. 
Satria Pandawa ; Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun menangis saat tahu bahwa Karna adalah saudara kandung mereka sendiri.

Pondok Gede - 06072014

Minggu, 06 Juli 2014

Mahabharata ; KARNA (1)



Foto: Mahabharata - KARNA (1)

Tokoh Arjuna itu sudah terlalu mainstream... Kalau dia diceritakan sebagai satria yang keren, cool, jagoan dan pahlawan, itu mah biasa ..... Wong dia lahir dan besar dengan status anak dari raja Pandu dan ratu Kunti. Ya tentu saja dia punya banyak previlege utk mencapai gelar jagoan itu. Secara anak raja gitu loohh.... Nah, kalau misalnya dia terpredikat sebagai Arjuna yang aleman, kolokan dan agak bloon.... itu baru nggak mainstream kan?

Sebagai penikmat cerita dan film Mahabharata, sekarang saya malah lebih tertarik pada tokoh Karna yang sebenarnya adalah kakak tiri Arjuna.
Darah Karna sebenarnya adalah bangsawan. Kenyataan bahwa dia adalah anak diluar pernikahan dari ratu Kunti harus membuat jatidirinya tersembunyi dan baru terbuka (pun untuk dirinya sendiri) ketika epos ini hampir mencapai ujung cerita.

Karna, meskipun tidak mendapatkan ilmu dari dalam tembok kerajaan, tapi dia mampu menjadi ahli panah  yang setara dengan Arjuna. Dia kompeten, oleh sebab itu dia menjadi agak jumawa dengan keahliannya. Dia dikenal sangat dermawan dan teguh pada janjinya. Meskipun kedua sifat itu pada akhirnya memudahkan jalan Arjuna untuk mengalahkan dan membunuhnya dalam perang Bharatayuda.

Melalui epos yang divisualkan oleh grup Starplus India, makin bisa diselami bahwa tokoh Karna adalah pribadi yang unik, kompleks dan menanggung beban batin. Ada pertentangan nilai baik dan buruk yang harus dijalaninya.
Dia tahu kebenaran, tapi dia tak bisa memberlakukan itu pada pilihannya, karena janjinya yang teguh pada Duryudana si biang kejahatan di pihak Kurawa. 
Dia keras hati dan angkuh, tetapi galau ketika orangtua angkatnya menolak mendiami istana bersamanya (Karna diberi hadiah berupa wilayah kecil,  kerajaan Anggraj, oleh Duryudana karena kesetiaannya sebagai partner dan pelindung pangeran durjana itu). 
Dia sombong dan menyimpan dendam untuk mengalahkan Arjuna, tapi dia menangis sedih ketika tahu bahwa Arjuna adalah adik tirinya dan mereka harus berhadapan untuk saling membunuh dalam perang. 

Karakter Karna yang rumit itu diperjelas lagi ketika dia ketus dan marah (tapi akhirnya menangis dan juga memberi "sungkem") kepada ratu Kunti yang mengakui bahwa dirinya adalah ibu biologis Karna. Dimata Karna, ratu Kunti, ibu kandungnya itu adalah seorang egois yang tega membuang anak sendiri demi menjaga nama baiknya sebagai putri raja.

Lebih kompleks lagi, dia menolak permintaan ratu Kunti untuk bergabung dengan Arjuna dan para Pandawa lainnya (yang notabene adalah saudara tirinya).  Dia memilih untuk bertahan bersama Duryudana dan Kurawa sebagai realisasi sumpah janjinya untuk melindungi Duryudana... Meskipun dia tahu bahwa dia akan tumpas ditangan Arjuna yang sedarah dengannya. 

Dalam cerita Mahabharata ini, Karna (dan juga mahamaheem Bhisma) dikenal sebagai dua lelaki yang sangat menjaga dan menepati kata-kata serta janji, apapun resikonya.
Btw, dimasa sekarang, masih adakah?

Pondok Gede - 050720147

Penggenggam Janji

Tokoh Arjuna itu sudah terlalu mainstream... Kalau dia diceritakan sebagai satria yang keren, cool, jagoan dan pahlawan, itu mah biasa ..... Wong dia lahir dan besar dengan status anak dari raja Pandu dan ratu Kunti. Ya tentu saja dia punya banyak previlege utk mencapai gelar jagoan itu. Secara anak raja gitu loohh.... Nah, kalau misalnya dia terpredikat sebagai Arjuna yang aleman, kolokan dan agak bloon.... itu baru nggak mainstream kan?

Sebagai penikmat cerita dan film Mahabharata, sekarang saya malah lebih tertarik pada tokoh Karna yang sebenarnya adalah kakak tiri Arjuna.
Darah Karna sebenarnya adalah bangsawan. Kenyataan bahwa dia adalah anak diluar pernikahan dari ratu Kunti harus membuat jatidirinya tersembunyi dan baru terbuka (pun untuk dirinya sendiri) ketika epos ini hampir mencapai ujung cerita.

Karna, meskipun tidak mendapatkan ilmu dari dalam tembok kerajaan, tapi dia mampu menjadi ahli panah yang setara dengan Arjuna. Dia kompeten, oleh sebab itu dia menjadi agak jumawa dengan keahliannya. Dia dikenal sangat dermawan dan teguh pada janjinya. Meskipun kedua sifat itu pada akhirnya memudahkan jalan Arjuna untuk mengalahkan dan membunuhnya dalam perang Bharatayuda.

Melalui epos yang divisualkan oleh grup Starplus India, makin bisa diselami bahwa tokoh Karna adalah pribadi yang unik, kompleks dan menanggung beban batin. Ada pertentangan nilai baik dan buruk yang harus dijalaninya.
Dia tahu kebenaran, tapi dia tak bisa memberlakukan itu pada pilihannya, karena janjinya yang teguh pada Duryudana si biang kejahatan di pihak Kurawa.
Dia keras hati dan angkuh, tetapi galau ketika orangtua angkatnya menolak mendiami istana bersamanya (Karna diberi hadiah berupa wilayah kecil, kerajaan Anggraj, oleh Duryudana karena kesetiaannya sebagai partner dan pelindung pangeran durjana itu).
Dia sombong dan menyimpan dendam untuk mengalahkan Arjuna, tapi dia menangis sedih ketika tahu bahwa Arjuna adalah adik tirinya dan mereka harus berhadapan untuk saling membunuh dalam perang.

Karakter Karna yang rumit itu diperjelas lagi ketika dia ketus dan marah (tapi akhirnya menangis dan juga memberi "sungkem") kepada ratu Kunti yang mengakui bahwa dirinya adalah ibu biologis Karna. Dimata Karna, ratu Kunti, ibu kandungnya itu adalah seorang egois yang tega membuang anak sendiri demi menjaga nama baiknya sebagai putri raja.

Lebih kompleks lagi, dia menolak permintaan ratu Kunti untuk bergabung dengan Arjuna dan para Pandawa lainnya (yang notabene adalah saudara tirinya). Dia memilih untuk bertahan bersama Duryudana dan Kurawa sebagai realisasi sumpah janjinya untuk melindungi Duryudana... Meskipun dia tahu bahwa dia akan tumpas ditangan Arjuna yang sedarah dengannya.

Dalam cerita Mahabharata ini, Karna (dan juga mahamaheem Bhisma) dikenal sebagai dua lelaki yang sangat menjaga dan menepati kata-kata serta janji, apapun resikonya.
Btw, dimasa sekarang, masih adakah?

Pondok Gede - 050720147