Minggu, 28 April 2013

TANGAN YANG MENGGENGGAM PASIR



Petikan surel dari seorang teman, inbox dengan tanggal sekitar sebulan lalu, setelah sekian lama aku alpa memeriksa akun e-mail... ;

... Lewat beberapa peristiwa yang seperti datang saling menumpuk, aku seperti tersadarkan. Kegelisahanku, luka hatiku... Tak lain adalah karena kesalahanku sendiri dalam menangani perasaan...

Aku terhenti membaca tulisannya. Scroll up, mengulang kembali beberapa alinea pembuka suratnya, sekedar untuk memahami suasana hatinya ; Ada nuansa kesedihan. Lepas dari dia yang biasa.

... Aku banyak merenung, berpikir.  Mengendapkan diri dan mencari jawaban atas semua yang terjadi dan kurasa. Browsing internet, lalu membaca beberapa buku tentang hati dalam bingkai keimanan. Sesuatu yang beberapa waktu ini sempat kuabaikan.

Hingga akhirnya aku sampai pada pemahamanku yang sederhana. Bahwa ternyata aku mengotori dan menyakiti hatiku sendiri...

Aku semakin penasaran. Ada apa dengan temanku yang satu ini. Biasanya dia menulis dengan nuansa semangat yang kental. Selalu ada 'api' dalam setiap kalimatnya. Kadang nakal dalam kata-kata, kadang tajam mengkritisi, dan sesekali nylekit sentilannya. Bergegas kutekan mouse untuk membaca lagi tulisannya.

... Seperti mengaca pada cermin yang tembus sampai ke dalam raga. Aku melihat diriku sendiri ; Manusia yang selalu bertanya, menggugat, tak percaya, berkeras pada kehendak, kadang menyimpan marah yang tak kuasa dan tak bisa kulepas begitu saja.

Kau pasti tahu, bagaimana... Hati yang penuh dengan berbagai rasa yang mengeruhkan. Padahal seharusnya, dia mesti tetap jernih, seperti awalnya dia ada dalam diri manusia karena kehendakNYA. Lalu dari sekian yang kubaca, satu kata yang tampaknya adalah kunci dari semua kejernihan rasa ; keikhlasan. Sebuah rasa yang tak pernah mengikat, namun menerima, membiarkan semua mengalir apa adanya karena kehendakNYA saja... Dan aku harus belajar keras untuk mendapatkan rasa itu...

Aku menghela nafas membaca kalimat-kalimat temanku itu. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Suatu pencerahan dirikah?

.... Kurasa, kau pasti pernah mendengar, atau membaca pengibaratan atau tamsil, atau apapun sebutannya ;  'menggenggam pasir'.... Seperti itulah kupikir aku harus menyikapi hatiku terhadap segala sesuatu yang mampir dan tiba padaku. Jika aku menggenggam pasir kering dengan erat, maka pasir itu akan meluncur jatuh dan lenyap dari tanganku. Tapi jika pasir itu kugenggam dengan sewajarnya tanpa kekerasan, maka ia akan tetap tinggal dalam genggamanku. Bukankah begitu?

Tapi sangat tak mudah bagiku untuk menjadi begitu. Aku tak yakin kau mengerti. Karena jika aku memiliki sesuatu yang sangat berharga bagiku, apapun  bentuknya, bukankah sudah seharusnya aku menjaganya dengan demikian erat? Tak boleh ia menjauh atau lepas dari mataku, hatiku, rasaku, pikiranku? Ah, konsep ini yang ternyata membuat keruh diriku...

Aku berhenti membaca sejenak. Mengingat-ingat sosok temanku ini. Dia seorang yang menampilkan dirinya selalu dengan lembut. Tapi aku tahu, dibalik kelembutannya ada kekerasan hati dan kemauan yang sesekali muncul juga.

...Kau tahu, sulitnya menyusun rasa ikhlas tanpa rasa kehilangan? Itu tak mudah... Sulit sekali bagiku, yang sudah terbiasa menggenggam erat sesuatu yang bernilai dalam hidupku. Tapi aku mesti belajar dan berusaha mencapai kondisi itu meski tak sempurna. Tapi setidaknya, aku bisa sedikit menjernihkan suasana hati yang keruh. Hingga pada saatnya nanti aku mampu menempatkan DIA dalam hatiku. Bukankah untuk itu DIA ciptakan manusia di dunia? Menurutku, DIA tak akan hadir dalam hati manusia yang pekat tanpa ikhlas...

Aku termenung lagi membaca paragraf terakhir dari suratnya itu. Tampaknya aku harus mencari tahu lebih banyak tentang satu kata yang muncul dari hasil pengendapan diri temanku itu ; "keikhlasan".

Hampir saja aku beralih ke menu reply untuk menanggapi surat itu. Tapi beberapa spasi setelah paragraf terakhir, ternyata dia masih menuliskan beberapa kalimat susulan.

... Untuk kau tahu saja. Sesuatu yang sangat bernilai dan kugenggam erat itu, menulis pada bidang putih. Sederet kata yang akan selalu kuingat :  "untuk Sang Penggenggam Pasir". Dan airmataku menetes karenanya....

Buat kesekian kalinya, aku menghela nafas lagi. Aku mengerti, teman... Sangat mengerti...


Pondok Gede - 28042012

Jumat, 26 April 2013

Cacat Batin, Tuna Rasa



Adalah seorang abdi negara berseragam coklat, penjaga ketertiban masyarakat, berkantor di bagian selatan ibukota negara kita tercinta. Singkat kata, dia menjadi kabar berita seantero nusantara.

Demikianlah, namanya terdengar sebagai seorang yang sangat kaya raya. Jikalah dia seorang saudagar, masyarakat tentulah mengerti dan mahfum adanya. Tapi dengan pekerjaan sebagai abdi negara, harta yang beraneka rupa itu pastinya membuat mulut pemirsa dan pembaca ternganga.

Lihatlah ragam harta kekayaannya, hiasan dunia yang tak ada artinya dihadapan Sang Kuasa ;  Tanah di antero pulau Jawa, 28 rumah mewah, 4 mobil mewah, 6 kendaraan angkutan, 3 SPBU, kebun binatang seluas 90 hektar, 3 apartemen... Yang jika dinilai dengan mata uang akan menjadi sekira 100 milyar jumlahnya.

Lalu, apakah kata kita terhadapnya? Hebatkah ia, karena betapa kaya rayanya? Pandaikah ia, oleh sebab lihainya mengutip uang lalu menyimpannya dalam berbagai bentuk, padahal ia pasti tahu itu bukan haknya? Atau maklum sajalah, bukankah laku seperti itu sudah jamak adanya di negeri kita, hanya saja dia sedang kejatuhan sial, sehingga cepat terkuak adanya...

Mungkin kita lupa tentang satu rasa. Iba. Ya..., semestinya kita menaruh iba kepadanya. Mengapa? Karena dia tuna rasa, tak bisa merasa cukup, tak pernah merasa puas. Selalu merasa kurang, sehingga bertambah-tambah kehendaknya akan benda. Dan semakin sering cara tak berkah yang dilakukannya. Maka iba yang harus kita jatuhkan padanya, pada ketidakmampuannya merasa cukup dan puas pada apa yang telah didapatnya. Cacat batin, tuna rasa (puas)... Itu adanya dia. Semoga kita dijauhkan dari hal semacamnya...

Seorang pengarang ternama pernah menuliskan seperti ini :
"Itulah kenapa dunia ini diciptakan dengan 'ukuran-ukuran'. Relativitas... Menurut saya, selain 'warna', 'waktu', 'ruang', ciptaan Tuhan yang indah lainnya adalah : relativitas. Kecil disini, belum tentu kecil pula disana. Besar disana, belum tentu besar disini... Dan duhai...yang elok dari mekanisme relativitas itu adalah : dia dikunci oleh perasaan (bukan ukuran metric, yang dipahami oleh rasionalitas). Ketika perasaan menjadi sumber perbandingan, maka apakah 'perasaan cukup' memiliki korelasi dengan  angka-angka? Tentu tidak".  (Darwis Tere Liye) *)


Pondok Gede -  26042013


*) Terima kasih kepada Darwis Tere Liye atas tulisannya.

Selasa, 23 April 2013

Seorang Perempuan Bernama Raden Ajeng Kartini



Sekian puluh tahun setelah pemberian gelar pahlawan kepada seorang perempuan bernama Raden Ajeng Kartini. Entah mengapa akhir-akhir  ini banyak yang mempermasalahkan gelar kepahlawanannya. Beberapa orang mengatakan ; bagaimana mungkin karena tulisan curhatnya, seorang perempuan  tiba-tiba bisa menjadi pahlawan? Padahal saya yakin, pada waktu menulis surat-surat kepada teman Belanda-nya, RA Kartini tidak pernah bermaksud agar nantinya dia bisa diberi gelar pahlawan...
Bahkan beberapa  status, tweet, maupun tulisan di dunia maya membandingkannya dengan kiprah Rohana Kudus, Cut Nya Dien, Dewi Sartika, atau seorang perempuan penulis dari Sulawesi era tahun 1800-an (maaf, saya lupa namanya).

Menurut hemat saya,  membaca surat-surat Kartini idealnya adalah dengan mendalami dan memahami kondisi psikologi dan lingkungan sosial beliau dalam tatanan masyarakat ningrat Jawa pada masa itu. Jika kita bisa 'masuk' kedalam ranah itu, barulah kita mengerti bahwa buah kata Kartini dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon adalah suatu pemikiran yang sangat maju (kalau tidak bisa dikatakan sebagai pemberontakan) untuk perempuan pada masa dan dalam lingkungan itu. Mohon maaf,  dan bukan karena ikatan primodial, jika saya yang kebetulan seorang Jawa bisa memahami kegelisahan dan kekecewaan Kartini pada tatanan sosial perempuan Jawa dimasa itu. Termasuk dengan keputusannya untuk menolak beasiswa ke Eropa dan memilih menjadi istri kesekian dari seorang Bupati setengah baya. Bukankah dipandang dari sisi lain, keputusannya itu adalah wujud dari sikapnya sebagai seorang muslimah? Sekali lagi, mohon maaf jika penalaran saya keliru.

Saya pikir, mungkin buah pemikiran yang maju untuk jamannya itu yang menjadi dasar pemberian gelar pahlawan baginya. Bukan disebabkan oleh pemerintah RI, yang kebetulan, berada di tanah Jawa dengan segala dampak, efek dan implikasinya.

Tanpa bermaksud mengecilkan yang lain. Menurut hemat saya, Kartini tidak bisa dibandingkan secara 'apple to apple' - misalnya - dengan Rohana Kudus. Yang pada masa yang hampir bersamaan (atau bahkan lebih dulu?) dengan Kartini telah menerbitkan surat kabar di Sumatra Barat dan menjadi pemimpin Syarikat Perempuan di daerahnya. Tentu saja, menurut pemikiran saya, hal itu bisa dan sangat mungkin terjadi terkait dengan posisi perempuan Minang yang memang berbudaya matrilineal dan punya peran sentral sebagai "Bundo Kanduang". Jelas kondisi psikologis bunda Rohana Kudus berbeda dengan Kartini sebagai perempuan Jawa yang hidup di abad-19 dalam budaya patriarki yang sangat kental, dimana perempuan seringkali hanya dianggap sebagai "kanca wingking".

Mungkin benar kata seorang teman dunia maya saya dalam tulisan di blog-nya *). Bahwa pergeseran citra Kartini yang ditandai dengan perdebatan mengenai status kepahlawanannya ini sebagian besar disebabkan oleh dangkalnya kaum perempuan dalam memaknai hari kelahiran Kartini berikut gelar pahlawannya.
Lomba berkebaya, lomba memasang konde, lomba lari dengan high heel. Bahkan kontes miss-miss dan putri ini-itu pun membawa-bawa nama Kartini. Seringkali saya merasa gerah dan begah dengan penyebutan nama Kartini untuk event-event seperti itu.... Jadi kapan para perempuan bisa memberi makna yang lebih dalam terhadap kiprah dan gelar pahlawan perempuan ya?


Pondok Gede - 23042013


*) Terima kasih untuk Dinda Nuurannisaa Yura dan blog-nya.

Selasa, 02 April 2013

Tertawalah, Nak


Hari masih sangat dini. Dingin sisa hujan kemarin malam menyengat kulit, saat aku terbangun dari tidur yang hanya sebentar. Seperti hari-hari biasanya, pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah memulai hariku. Pertama aku akan pergi ke kamar anakku. Mengganti lampu tidur dengan lampu terang, mematikan pendingin ruangan (yang sebenarnya tidak perlu dinyalakan karena belakangan ini udara sudah dingin karena musim hujan). Lalu kulanjutkan dengan menarik selimut, bantal dan guling dari tubuh anakku, sebelum akhirnya membangunkannya untuk persiapan berangkat sekolah. Ritual yang seringkali membuat stres, karena semuanya berkejaran dengan waktu. Semuanya harus berlangsung dengan cepat dan tepat. Karena selisih waktu yang hanya tiga atau lima menit pun akan menentukan apakah kita bisa sampai di tempat tujuan tanpa terlambat, atau apakah kita terperangkap dalam kemacetan lalulintas yang menjengkelkan.

Dia, anakku, matanya masih terpejam rapat meskipun telah kehilangan selimut, bantal dan gulingnya dalam waktu bersamaan. Aku tahu, tanpa garukan ditelapak kakinya dan gelitikan pada tubuhnya dia tidak akan terbangun. Kupandangi tubuh kecil yang masih lelap dalam kubangan alas tidur bergambar tokoh Naruto. Dalam usianya yang melewati tujuh tahun menjelang delapan, dia terlihat  langsing dibanding empat atau lima tahun yang lalu, ketika orang gemas melihat pipi chubby-nya, atau paha dan lengannya yang gempal.

Anakku masih tidur dengan posisi miring, kedua tungkainya rapat tertarik kearah perut, dan kedua tangan menyatu didepan dada. Seperti posisi bayi yang berada dalam rahim ibunya. Ah, aku baru sadar bahwa akupun menyukai posisi tidur seperti itu. Hatiku tersentuh, aku bergerak merengkuh dan memeluk tubuh kecil itu dalam pelukanku. Kuciumi dan kukecup wajahnya sepuasku. Karena hal ini tak mungkin kulakukan padanya ketika ia dalam kondisi tidak tidur. Entah mengapa dalam usianya sekarang, dia sangat sulit untuk sekedar dimintai satu ciuman atau pelukan. Anakku ini, kupikir memang kadang-kadang terlihat lebih dewasa dalam berkata-kata dan bersikap dibanding kakaknya. Mungkinkah karena itu dia enggan diperlakukan layaknya anak kecil yang sering dipeluk dan dicium?
 
Aku masih memeluk dan menciumi dia, anakku. Menghirup bau anak-anak yang masih melekat ditubuhnya, dan menikmati harum shampo dalam botol bergambar Donald Duck yang masih tersisa dirambut halusnya. Saat itu aku terpana, tiba-tiba aku mendengar suara tawa anakku. Meskipun tidak keras, tapi aku mendengarnya sebagai suara yang sangat indah. Suara tawa yang riang dan jernih itu, keluar dari mulut yang terbuka riang menunjukkan gigi geligi ompongnya. Sementara diwaktu yang sama, matanya masih terpejam rapat. Mimpi apa yang sedang kau alami anakku? Apakah engkau sedang bercanda dengan bidadari di surga, sambil menjilati mentega atau kecap yang selama ini kau lakukan diam-diam (padahal Ibu tahu)? Atau minum berbotol-botol minuman soda dingin yang sangat Ibu hindarkan darimu? Atau bermain playstation, PSP atau game online seharian penuh tanpa teguran dan larangan?

Jika benar itu yang ada dalam mimpimu, maafkan Ibumu karena seringkali melarangmu melakukan hal itu. Ketahuilah, nak....Kalau Ibu melarangmu, itu bukan berarti Ibu tak menyayangimu. Ibu hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik, yang mungkin tak akan bisa terjadi karena apa yang kau lakukan itu.
Tertawalah selalu, nak.... Jangan hanya tertawa dalam tidurmu... Karena senyum dan tawamu lebih berarti bagi Ibu, daripada senyum dan tawa manusia dewasa yang kadang tidak tulus karena diiringi berbagai maksud dan tujuan......
   

Pondok Gede - 13012012

Malamnya Yogya




 
kutinggalkan

saat malam mulai beranjak menua

basah tanah karena hujan belum hendak sudah 

lampu jalan redup

memayungi lengang yang membekap

engkau adalah tentram hati

kehanyutan yang tak henti

sekalian pilu yang menderu

kutitipkan dua wajah

mengikat akan selalu lekat 


31032013