Jumat, 12 Oktober 2012
Orientasi Hasil vs Proses
Andai pada suatu ketika anda memberi tugas mandiri, katakanlah, membuat layang-layang kepada 2 orang yang berbeda. Lalu beberapa waktu kemudian pada saat yang sama keduanya menyerahkan hasil dengan kondisi tak sama.
Layang-layang pertama sangat bagus, menarik, bisa terbang tinggi dengan sempurna. Sedangkan layang-layang kedua, tampilannya sangat sederhana dan tidak bisa diterbangkan. Kemungkinan besar anda akan memberi pujian dan nilai tinggi pada layang-layang pertama, dan anda mungkin tidak ingin tahu bagaimana cara mereka masing-masing dalam membuat layang-layang itu.
Lalu bagaimana seandainya anda kemudian tahu bahwa layang-layang pertama dalam prosesnya melalui sesuatu yang tidak benar atau dikerjakan dengan cara curang? Dalam hal ini mungkin layang-layang itu tidak dibuat sendiri, melainkan dibuatkan oleh orang lain, atau bahkan dibeli dari seorang penjual layang-layang?
Sedangkan layang-layang kedua, tampilannya memang tak sebagus yang pertama dan tak bisa terbang sempurna. Tapi dibalik itu ternyata dibuat sendiri dengan usaha keras sepenuh hati. Si pembuat meraut bambu sendiri, menggunting kertas dan benang sendiri, melukis sendiri..... Semua dilakukan sendiri dengan serius.
Sepertinya sangatlah tidak fair jika kita menilai sesuatu dari hasil akhir saja tanpa melihat bagaimana proses menuju hasil tersebut. Bagaimana mungkin kita memberi nilai tinggi pada sebuah hasil akhir yang diperoleh dengan cara curang dan tidak jujur? Dan sebaliknya, sampai hatikah kita memberi nilai rendah pada sebuah hasil akhir tanpa memberi penghargaan pada proses yang dilakukan dengan jujur, mandiri, sungguh-sungguh dan sepenuh hati?
Mungkin kini saatnya kita menilai suatu prestasi atau pencapaian tidak hanya pada hasil akhir saja, tetapi juga memberi penilaian pada proses atau bagaimana cara seseorang mencapai hasil tersebut. Dari sini kita bisa menilai seberapa tinggi kejujuran, kelurusan dan kebenaran seseorang, karena hal ini berkaitan dengan moral dan budi pekerti yang akhir-akhir ini mulai meluntur dan larut oleh pakem "target/result oriented" tanpa peduli bagaimana prosesnya.
Jangan sampai terjadi hal seperti yang diceritakan oleh anakku yang murid SD, bahwa temannya yang menduduki ranking satu di kelasnya ternyata piawai mencontek dan menyembunyikan contekan. Dan ini luput dari perhatian sang guru. Miris bukan? Jika sedari kecil terbiasa berbuat demikian, maka tidak heran jika budaya korupsi tidak akan pernah habis karena bibitnya bermunculan terus .... Semoga kita sadar dan mau serta mampu menyadarkan anak-anak kita, karena pada merekalah masa depan tertumpu. Aamiin ya rabbal alamin....
Pondok Gede - 11102012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar