Senin, 29 Oktober 2012

AUTOKRITIK



Sudah menjadi fitrah dari Sang Pencipta, bahwa manusia terlahir ke dunia sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesama. Bukankah wajar, jika pada saatnya manusia memiliki persepsi  atas orang atau sekelompok orang lainnya. Meskipun, kadang-kadang, persepsi itu tidak sama atau malah berlawanan dengan penilaian orang itu atas dirinya sendiri. Tapi bagiku, adalah sesuatu yang mengejutkan, ketika persepsi yang  menurutku - lebih banyak berunsur dugaan dan perkiraan - ternyata dibenarkan oleh kelompok orang yang kupandang.

Itu terjadi saat aku dan Ibunda suamiku berada di sebuah rumah makan cukup besar dan terkenal yang menyajikan masakan khas Sumatra - tempat kelahiran Bunda. Niat kami adalah membeli beberapa macam lauk untuk dibawa pulang. Sekian menit sejak kami memasuki rumah makan itu kami sudah berdiri di depan konter, menunggu pertanyaan, atau paling tidak sedikit saja sapaan semacam "Bisa dibantu, Bu?" atau greeting standar lainnya yang paling sederhana. Bukankah itu adalah kelayakan yang pantas dan wajar kami terima sebagai customer? Tapi tidak. Kami dibiarkan bengong sekian menit, tanpa tanda-tanda akan ada yang menyapa dan melayani kami. Hingga akhirnya Suamiku yang berdiri dibelakang kami, memanggil si petugas rumah makan dengan volume suara lumayan keras. Setelah mendengar suara agak keras dari Suamiku, barulah di petugas rumah makan mendatangi kami dengan raut wajah tidak menunjukkan penyesalan. Dengan berbahasa daerah, Bunda pun sempat memprotes gaya layanan rumah makan itu. Yang kemudian dijawab oleh si petugas dengan permintaan maklum, mengingat sebagian besar kru layanan baru didatangkan dari daerah.

Melangkah keluar dari rumah makan menuju mobil, Bunda masih membicarakan kejadian yang baru saja berlalu.

"Orang awak ini entah mengapa, susah sekali pasang wajah dan sikap manis untuk melayani pembeli..."  Merasa sebagai 'orang luar' aku hanya diam, takut salah berkomentar. "Sebagai orang bisnis, mestinya kan mereka  tahu bagaimana cara melayani dan memperlakukan customer," Bunda melanjutkan kata-katanya.

"Iya betul. Beda kalau kita pergi ke daerah di sebelah timur sana." Akhirnya Suamiku yang menanggapi kata-kata Bunda. "Disana para pelaku usaha rata-rata ramah dan melayani customer dengan penuh perhatian. Bahkan tukang parkir di kota itu  pun selalu pasang wajah full senyum."
 
"Ya memang begitulah seharusnya dalam bisnis kan? Menurut Bunda, orang kita ini terlalu tinggi hati untuk melayani orang lain..." kata Bunda lagi.

"Iya, Bunda. Kalau kita bandingkan daerah kita dengan daerah timur itu, kelihatan sekali bedanya...," Suamiku berkata lagi. "Daerah kita punya modal yang sama dengan mereka. Mereka punya pantai, danau, gunung, budaya, kuliner... Kita juga punya."

"Tapi mereka jauh lebih berkibar daripada kita. Jauh lebih banyak orang berkunjung kesana daripada ke daerah kita," tukas Bunda.

"Ya. Menurutku salah satu kelemahan kita adalah disisi layanannya. Seperti yang Bunda katakan tadi, kita memang kurang memiliki jiwa melayani. Padahal didunia bisnis dan wisata, itu adalah salah satu faktor yang dicari orang."

Aku hanya diam mendengarkan dialog antara Suamiku dan Bunda tentang tanah asal mereka. Mereka sedang melakukan otokritik tentang suatu hal yang juga terpikirkan olehku, tapi tak terkatakan kepada mereka.
Aku memang pernah tinggal lama di daerah asal Suamiku, sehingga punya bekal cukup yang melatarbelakangi persepsiku terhadap corak masyarakat disana. Tapi lama tak berkunjung kesana, membuat aku meragukan penilaianku sendiri. Bukankah perjalanan waktu bisa mengubah corak dan gaya perilaku suatu masyarakat dan daerah? Namun setelah mengalami kejadian di rumah makan tadi dan mendengar otokritik  Suamiku dan Bunda, aku bisa mengambil gambaran bahwa corak dan gaya itu masih menetap.

Penasaran dengan gambaran  yang kubuat sendiri, akhirnya aku menjelajah dunia maya. Dengan bantuan Paman Google, aku mencari data kuantitatif yang setidaknya dapat memperkuat gambaranku tentang hubungan corak gaya masyarakat dengan kondisi kewisataan daerah asal Suamiku.

Entah signifikan atau tidak. Tapi dari data kuantitatif yang ada, memang terlihat betapa tidak sepadannya jumlah pendatang mancanegara yang masuk melalui bandara yang menyandang status "internasional" itu. Pada bulan-bulan ditahun 2012 pengunjung mancanegara hanya berkisar di angka 2.500-an. Bandingkan dengan sebuah kota berpenduduk sekitar 500.000 di Jawa Tengah yang hanya punya obyek wisata terbatas (tanpa pantai dan danau) dan bandara berskala kecil, tapi mampu mengundang tamu lebih banyak, cenderung meningkat dan pernah mencapai angka 3.300 orang per bulan.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=16&notab=14

 
Sungguh sayang bila suatu daerah yang punya hampir segalanya, tapi dibiarkan menjadi seadanya. Bersyukur, masih ada beberapa dari mereka yang dengan dewasa melakukan otokritik terhadap kondisi diri sendiri. Selain Suamiku dan Bunda, otokritik lainnya kutemukan di laman ini :  
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=18389:pariwisata-yang-tidak-berkembang-&catid=11:opini&Itemid=83

Semoga kedewasaan mereka mengkritik diri sendiri bisa membawa angin perubahan pada corak dan gaya masyarakat, serta mereka yang terlibat dan berkepentingan didunia yang berhubungan dengan layanan.


Pondok Gede - 29102012

Jumat, 26 Oktober 2012

Pendidikan Seks Untuk Anak Usia SD?


Aku baru saja melewati pintu masuk rumah dan mengucapkan salam, ketika anakku si Tengah menyambutku dengan mengacungkan buku yang berada di genggamannya.
"Bu, baru saja bukuku yang ini masuk di berita teve...!"  Katanya sambil mengangsurkan buku itu kepadaku.
"Masuk di berita teve?" Tanyaku memastikan, sambil berpikir, jangan-jangan ada muatan porno lagi seperti kejadian buku LKS  "bang Maman dan istri simpanan" yang heboh tempo hari.
"Iya. Bab lima halaman lima puluh empat, Bu. Tadi disorot kamera teve. Lihat deh...!" katanya bersemangat.
Wah, kalau sampai masuk berita teve dan ditayangkan halamannya, biasanya ini berkaitan dengan konten porno nih, pikirku. Aku mengambilalih buku teks itu dari tangan anakku. Disampulnya tertulis "Olahraga dan Kesehatan Jasmani untuk Siswa SD-MI Kelas V".  Di sudut kiri bawah buku tertera logo "tut wuri handayani" dan tulisan "Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional."

Buku bergambar sampul tiga anak lelaki bermain bola itu langsung kubuka pada halaman 54 seperti yang ditunjukkan oleh anakku tadi. Ternyata itu halaman bab V untuk materi "Pendidikan Kesehatan." Kubuka lagi halaman 57, 58, 59, 60. Olala... Aku terbelalak. Sekilas terbaca olehku kata-kata ; menjaga kebersihan alat reproduksi, pelecehan seksual, hamil pra-nikah, seks pra-nikah, free sex, pengguguran kandungan, gonorrhoe, AIDS... MasyaAllah... Pikiranku langsung berontak ; sudah saatnyakah anak SD yang rata-rata berusia 10 tahun mendengar dan mengucapkan istilah seperti itu? Atau sebaliknya, apakah aku yang terlalu kolot, oldies dan konservatif sehingga berpikiran demikian?







Dengan penasaran aku membuka halaman depan buku teks milik perpustakaan sekolah itu. Pada "Pendahuluan" terdapat pengantar bagi anak didik dengan bunyi seperti ini ; "......kamu akan lebih tahu tentang bagaimana cara menjaga alat reproduksi, menjauhi minuman keras, dan  bahaya dari rokok..."  Sama sekali tidak menyebutkan adanya pendidikan seks. Demikian pula di awal bab V, tidak terdapat penunjukan "tujuan pengajaran" yang mencantumkan muatan pendidikan seks itu. Di awal bab hanya dicantumkan kalimat  "Sejalan dengan bertambahnya usia, maka kamu harus lebih menjaga dalam kebersihan, terutama kebersihan alat reproduksi. Bagaimana cara membersihkannya? Jawabannya akan kamu dapatkan dalam pembahasan bab ini." 

Jika titik berat pembahasan adalah pada materi kebersihan alat reproduksi, mengapa pada bab ini muncul bahasan  berkaitan dengan istilah dewasa yang berat? Bahkan porsinya lebih banyak daripada bahasan utama yang hanya sepanjang satu halaman? Rasanya memang ada yang tidak "connect" dalam materi bab V ini. Seperti ada materi 'siluman'. yang dipaksakan masuk ke bab ini.

Rasa penasaran dan geregetan akhirnya membawaku untuk mendiskusikan hal ini dengan salah seorang teman yang berkecimpung dibidang pendidikan melalui b********* messenger. Kepadanya kukirimkan foto halaman buku yang kumaksud. Tak salah. Ia bahkan mengomel mengatakan bahwa materi pendidikan seks seperti ini lebih cocok diajarkan untuk anak usia SMP dan SMA. Oya, aku ingat, dulu aku mendapatkan pendidikan seks pada saat duduk di kelas 1 SMA. Itupun materinya "ditumpangkan"  pada mata pelajaran Agama yang lebih banyak memandang dari sudut iman, moral dan budi pekerti. Kami berdua sependapat bahwa  gaya bahasa yang digunakan dalam buku itu terasa terlalu "tinggi" dan "kaku" untuk anak usia 10 tahun - bahasa yang tidak ramah anak. Jika memang bermaksud mengenalkan seks kepada anak kelas 5 SD, tidakkah lebih baik bila menggunakan bahasa yang 'ramah anak' dan sesuai dengan dunia anak-anak?

Lebih terbelalak dan tak habis heranku ketika membaca bagian evaluasi pada bab ini.
Pada kolom 'kegiatan'  tertulis perintah dengan bunyi seperti ini ; "Buat kelompok yang beranggotakan 4 orang. Kampanyekan 'Bahaya hubungan seksual pra-nikah bagi kesehatan dan sosial'. Tampilkan masing-masing kelompok di depan kelas."  Anak kelas lima SD? Kampanye tentang seks pra-nikah???  Mereka sebagian besar bahkan belum aqil baligh...!!  Ckckck...

Aku sibuk dengan pikiran dan perkiraanku sendiri. Tak rela dan tak tega rasanya membayangkan anakku bersama teman-temannya yang masih suka nonton Dora Emon dan Power Rangers, tiba-tiba harus berdiri di depan kelas mem-presentasikan materi 'bahaya hubungan seksual pra-nikah'..... Ya Allah, ampuni hamba. Apakah ini salahsatu tanda kemajuan jaman yang tidak bisa kuterima dan kupahami karena aku konservatif dan tidak moderen?

Aku menghela nafas sebelum bertanya kepada anakku yang  sibuk bermain dengan miniatur robot.
"Ariel sudah belajar sampai bab ini?"
"Belum," jawabnya singkat.
"Belum sampai bab lima?" Tanyaku lagi menyelidik.
"Buku ini sih jarang diajarkan sama Guru. Kalau pelajaran penjaskes (= pendidikan jasmani dan kesehatan) seringnya ya olahraga di halaman sekolah, bukan belajar di kelas," kata anakku.

Sekali lagi aku menghela nafas. Semoga gurumu cukup arif untuk tidak mengajarkan bab ini, nak... Karena menurut ibumu yang konservatif ini, materi seperti itu hanya akan membuat anak seusiamu matang karena dikarbit, dan lebih cepat membusuk nantinya....


Pondok Gede - 25102012

Selasa, 23 Oktober 2012

I DO NOTHING

 "I do nothing"..... Beberapa hari ini, tiga kata itu sering mendarat di pikiranku. Ya, belakangan ini aku merasakan, aku tak melakukan apa-apa. Sejak enam tahun yang lalu keseharianku hanya bergerak di dunia domestik, dengan jam kerja tak terbatas, dengan pencapaian yang tak kasat mata. Sungguh berbeda dengan perempuan lain yang berkiprah diluar rumah dengan karir  nyata, berikut hasil berupa eksistensi diri, prestasi dan materi.

Setelah "I do nothing" perasaan lain pun pelan-pelan muncul mengikuti. Yaitu citra diri "I'm nobody"..... Kadang terbit pula penyesalan atas ketidakmampuan saat ini menjadi pilar kedua dalam rumahtangga, yang memungkinkan tercapainya tingkat hidup keduniawian yang lebih baik. Perasaan itu semakin menguat ketika melihat dan mendengar teman-teman masa lalu yang berhasil menjadi ini-itu dengan karir, penampilan dan predikat yang berkilau. Aku ingat, dulu perasaan ini tak pernah muncul ketika aku masih berstatus sebagai "eight to five working woman."




Tapi sungguh, Allah SWT itu maha tahu, maha mengerti, maha bijak dan maha sayang. Ditengah perasaan negatif yang mengecilkan diriku sendiri, DIA memberikan pencerahan dengan tiba-tiba melalui pesan yang masuk ke ponselku. Dan siapa sangka, bahwa seorang mahasiswi lajang yang biasanya hanya mengirimkan pesan-pesan broadcast bertema riang gembira, yang kepadanya aku tak pernah melakukan "curcol", kali ini menjadi begitu bijak mengirimkan pesan penuh makna  kepadaku?

Ini isi pesan broadcast dari sepupuku *) ;

Dikutip dari perkataan almarhumah ibu Hasrie Ainun Habibie ;
"Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami kehilangan kedekatan pada anak sendiri?
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri? Anak saya akan tidak memiliki ibu.
Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu."

Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat dan jawaban untuk ibu-ibu berijazah yang rela berkorban demi keluarga dan anak-anaknya.  Karena ingin rumah tangganya tetap terjaga dan anak-anak bisa tumbuh dengan penuh perhatian, tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga untuk mendidik agamanya, karena itulah sejatinya peran orangtua.

Belajar dari kesuksesan orang-orang hebat, selalu ada pengorbanan dari orang-orang yang berada dibelakangnya, yang mungkin namanya tidak pernah tertulis dalam sejarah.

Berbanggalah engkau sang Ibu Rumah Tangga, karena itulah pekerjaan seorang wanita yang paling mulia.


Setelah membaca pesan itu, semangat yang sempat redup tiba-tiba seperti mendapat sinar baru yang lebih benderang. Membuatku lebih bersemangat menyiapkan masakan untuk makan malam, mengingatkan anak-anak untuk sholat, membantu si Tengah dan si Bungsu mengerjakan PR, juga membereskan segala tetek-bengek urusan domestik lainnya.

Kadang memang diperlukan sedikit "sentuhan kecil" untuk membangkitkan spirit yang mulai meredup, bukan?


Pondok Gede - 22102012


*) Terima kasih untuk sepupuku Bella atas kiriman pesan inspiratif  yang menyalakan kembali semangatku...

Senin, 22 Oktober 2012

Fragmen : RASA TAK BERUJUNG



 .............................
Dan ketika waktu membatasi, semuanya harus terhenti. Dewi melirik ke penanda waktu di pergelangan tangan kirinya.
"Aku harus kembali...," katanya lirih.
"Time is over," Dewa menimpali sambil tersenyum maklum meskipun hatinya belum rela mengakhiri jumpa mereka.
Di tengah hari panas berdebu mereka kembali berjalan bersisian menuju tempat awal mereka bertemu. Dengan rasa kehilangan yang ditindihnya, Dewi mengikuti langkah Dewa mengurus barang dan menghentikan taksi. Lalu melabuhkan pandangannya pada punggung lelaki yang bergerak menjauh dan memasuki taksi.

"Aku pergi," Dewa berkata singkat. Ia tak menunjukkan sikap apapun yang menunjukkan  suatu peristiwa perpisahan. Tak mengucapkan salam perpisahan, tidak menggenggam tangannya sejenak. Bahkan menghindari bertatap pandang dengannya. Berpisah dengan Dewa selalu seperti itu. Dewa pernah berkata, dia tak hendak larut dalam rasa kehilangan karena perpisahan. Karenanya ia selalu bersikap seolah tak ada apa-apa dan tak merasakan apa-apa.

"Hati-hati...," hanya itu yang dapat diucapkan oleh Dewi. Sesaat ia merasa seperti membuka genggaman tangan dan membiarkan pasir lolos melewati celah jarinya. Ada yang hilang, dan tenggorokannya terasa sakit. Sedan putih yang ditumpangi Dewa telah lenyap dari jangkauan pandangannya. 
 ...............................


Pondok Gede - 22102012