Jumat, 24 Oktober 2014

Mahabharata : KUNTI



HATI IBU (1)

Dalam pekat malam, gelap seperti tak berarti lagi. Bukan karena malam ini menjelang pagi, tapi kobar api upacara untuk prajurit yang gugur itulah yang membuat terang padang gersang ini. Aku menatap nyala api yang terdekat dengan ujung tanah bukit tempatku berdiri. Disana, ditengah kobaran api itu, ada tubuh kukuh yang hanya beberapa saat dan beberapa kali bisa kubelai, namun kurindukan sepanjang hidupku. Tubuh itu, adalah anakku... Dia perlaya menjelang senja tadi.

Dan entah mengapa, aku tahu, aku tidak menangis lagi. Mungkin airmataku telah kering, habis tumpah di senja tadi ketika kudapati ia terbaring luka di atas tanah padang yang berdebu dengan nafas tersisa satu-satu... Lalu makin deras tangisku, kala aku harus berani mengungkapkan rahasia yang kusimpan rapat kepada lima lelaki lain yang menatapku penuh tanya.
"Ya, dia ... Dia anakku. Dia kakak tertua kalian...," kataku akhirnya. Tak ada lagi gemetar di bibirku, tak ada rasa takut menghadangku. Aku bahkan tak peduli lagi apa kata mereka tentang diriku dan masa laluku. Yang kutahu, hanya airmata yang makin deras mengucur. Disela mata yang berkabut, aku melihat lima anak yang selalu bersamaku tertunduk dengan wajah pucat.

Dan anakku yang tak pernah bersamaku makin hilang seri wajahnya, kian redup matanya, tapi masih ada senyum lembut terkilas di bibirnya. Setitik air mataku jatuh di dahinya, di kepala yang tergeletak dipangkuanku... Seketika aku ingin berteriak! Melepaskan beban rahasia yang kutanggung sendiri selama ini dan penyesalan atas ketidakberanianku mengungkapkan kebenaran kepada lima anakku pada awal waktu...

Jika saja, seandainya keberanianku telah mencapai puncaknya waktu itu... Mungkinkah kejadian akan berbeda dari saat ini? Dan jika kebenaran itu kusampaikan waktu itu, adakah mereka akan percaya? Adakah dia, yang kuingkari keberadaannya demi nama baik dan kehormatanku, akan percaya begitu saja? Akankah kebenaran itu menjaganya dari kematian ditangan saudaranya sendiri?

Oh, anakku... Seribu kali aku meminta maaf kepadamu atas ketidakhadiranku dimasa lalumu. Tatkala ibumu seharusnya berada disisimu, lalu dimana aku saat itu? Kubiarkan nasib mempermainkanmu... Membawa dirimu ke tempat yang tidak seharusnya... Dan batinmu menderita dalam kegamangan sepanjang hidupmu. Darah ksatria dan Dewa Surya yang mengalir dalam tubuhmu begitu deras menunjukkan siapa dirimu. Tapi begitu banyak pula yang mengabaikanmu hanya karena kau dibesarkan oleh kalangan rakyat biasa... Dan itu karena kesalahanku!

Tapi tahukah kau, anakku... Hatiku, hati ibumu ini tak pernah lepas darimu. Kasih sayang yang menjadi hakmu, yang tersekat dan terhambat, menjadi derita yang kusimpan diam-diam... Dan tahukah kau, aku mencatat dengan sepenuh hati menit demi menit, saat demi saat ketika aku pertamakali melihatmu dijelang masa remajamu di Hastinapura, hingga saat terakhirmu di padang Kurukhsetra ini.

Setelah kematian Raja Pandu

Hari itu, aku dan lima adikmu kembali menapakkan kaki ke Hastinapura. Setelah sekian tahun kami tinggal di hutan mengikuti Raja Pandu, ayah adik-adikmu, mengasingkan diri dan meletakkan mahkota Hastipura setelah jatuhnya kutukan seorang Resi kepadanya.

Tiga adikmu telah menjelang remaja saat itu. Juga si kembar buah hati dari ibu Madri yang harus menjadi tanggung jawabku sejak ibunya memutuskan melakukan "labuh geni" bersama jenazah Raja Pandu, suami kami, ayah dari lima adikmu. Andaikan kau ada bersama kami, nak... Akankah beban hatiku saat itu menjadi lebih ringan? Akankah segala kelebihanmu mampu menjadi penjaga kami semua?

Anakku, masih sangat kuingat. Ketika kami menapak gerbang kerajaan, rakyat Hastinapura berkerumun sepanjang jalan menyambut kedatangan kami yang baru kembali dari pengasingan diri...
Tiba-tiba dari kerumunan itu muncul sesosok tubuh yang menyeruak maju menghadap ke arahku. Seorang pemuda tampan. Matanya menatap tepat kemataku. Ah, mata itu, seperti helai kelopak lotus. Dan entah mengapa, aku tak hendak berpaling darinya, terasa seperti ada tali tak berwujud yang mengikatku untuk terus berdiri diam menatap wajahnya. Ada rasa sedih dan sakit yang mengaliri hatiku, menambah beban kedukaanku yang telah semula ada karena kematian Raja Pandu. Siapakah pemuda itu?

Rakyat Hastinapura yang semula hanya berdiri menyambut kami, satu persatu mulai berebut mengunjukkan sembah. Lalu pemuda itu secara tak terduga berlutut menundukkan kepala dan tangannya menyentuh ujung kakiku, memberikan penghormatan kepadaku. Aku takjub menatap kepala berambut coklat tua berkilau yang tunduk didepanku. Dan, aku tak kuasa menahan tanganku untuk menyentuh kepala pemuda itu untuk mendoakannya. Tahukah kau, nak, apa yang kurasakan saat itu? Aku seperti menemukan sesuatu, tapi aku tak paham apakah itu. Inginnya aku sejenak lebih lama lagi meletakkan tanganku dikepala pemuda itu. Tapi keinginanku serentak luruh dengan ajakan lima anakku untuk terus berjalan menuju istana.

Nak... Beberapa saat setelah aku beranjak dan berlalu, dihatiku timbul pertanyaan yang tak bisa kujawab. Dan aku tak tahu kepada siapa aku harus bertanya. Dirimukah pemuda itu, anakku? Tapi mungkinkah kau berada di Hastinapura, sedangkan waktu kelahiranmu aku berada jauh dari sini? Pertanyaan itu tak pernah terjawab olehku sendiri. Hingga suatu hari, untuk kedua kalinya, bertahun-tahun setelah itu, aku kembali melihatmu.

Rangbhoomi di Hastinapura

Anakku, inilah kali pertama aku melihatmu setelah dewasa dan kali ini pula aku menyadari bahwa kau adalah pemuda yang sama yang kutemui di gerbang istana bertahun-tahun yang lalu! Ya, Dewa Surya telah memberikan tanda kehadirannya padaku dalam bentuk seorang bayi lelaki, yaitu kau, anakku.

Aku memohon maafmu, Nak... Karena kelahiranmu saat itu sungguh membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Aku, dalam usia remaja, bahkan belum bersuami, tapi dihadapkan pada kenyataan bahwa aku memiliki seorang putra. Kau bayi yang tampan... Lahir dengan anting ditelinga dan perisai yang menyatu dengan tubuhmu. Dewa Surya ternyata memenuhi permintaanku agar putra anugrahnya memiliki sesuatu yang menandakan bahwa engkau adalah anakku.

sumber : Starplus
sumber : Starplus
Tapi, seelok apapun dirimu, nak... Maafkan kelemahanku yang merasa pasti tak sanggup menghadapi pertanyaan yang muncul karena kehadiranmu tanpa seorang suami disisiku. Akan terlalu banyak yang terluka karena kebodohanku mencoba menggunakan mantra dari Resi Durwasa. Ayahku sebagai raja, citra kerajaan Kuntibhoj, dan diriku sendiri.

Maafkan aku, nak. Saat itu ibumu yang dungu dan naif ini terpaksa mengambil cara yang kejam untuk menutupi kehadiranmu. Hatiku menangis perih kala engkau berada dalam buaianku. Engkau tetap anakku, meskipun hanya berbilang jam dan hari aku sempat menimangmu. Menetes deras airmataku ketika aku meletakkan tubuh mungilmu dalam keranjang yang kualasi tilam beludru dan kurangkum bunga lotus disekeliling tubuhmu.

Pagi itu, aliran sungai Aswa akhirnya membawa keranjang berisi tubuh mungilmu pergi menjauh dariku. Selayak membersihkan namaku dan kehormatanku sebagai putri raja... Aku mencintaimu, anakku. Tapi aku tak bisa bersamamu. Semoga kelak engkau ditemukan oleh manusia berbudi yang mengasihi, menyayangi dan mendidikmu menjadi lelaki sejati... Aku menangis menatap keranjang yang makin jauh terbawa arus sungai.

Dan sekarang, di arena Rangbhoomi, aku meyakini bahwa pemuda yang muncul tiba-tiba itu adalah dirimu. Kau elok dan tampan, anakku. Dewa Surya telah bermurah hati memberikan tanda-tanda kegemilangannya pada dirimu. Tubuhmu kukuh dengan kulit hampir sewarna tembaga. Wajah tampanmu berkilau dengan mata secerah kelopak lotus, rambutmu tergerai jatuh di bahu yang lapang menatap dunia. Dunia yang ternyata tak berpihak padamu.
 
sumber : Sukanya - Ahamcolic, Starplus
Seperti singa gunung kau tiba-tiba muncul di tengah arena. Menantang salah seorang ksatria yang sebenarnya adalah adikmu sendiri. Aku hampir berteriak menghentikan adu tanding antara kau dan adikmu. Terlebih ketika adikmu, Arjuna, menghujanimu dengan anak panah. Tapi semuanya tertahan oleh perisai yang bersinar seperti emas dan melekat didadamu. Tak mungkin. Tak boleh terjadi. Tapi kemudian aku tak ingat apapun, tubuhku lunglai dan pandanganku menghilang.

Aku terjaga dari mati suri dengan hati yang sakit. Dalam tidurku aku melihatmu tersenyum memandangku. Oh, anakku, maafkan ibumu... Mendekatlah padaku, nak. Aku ingin memelukmu, mendendangkan senandung pengantar tidurmu. Sesuatu yang belum pernah kulakukan sebagai ibumu. Tanganku terulur menggapaimu, mengharapkan kau datang dalam rengkuhanku. Tapi tiba-tiba kau lenyap dan aku berteriak memanggil namamu hingga aku terjaga dengan hati perih.

Selasar Istana Hastinapura

Aku berjalan setengah berlari kearahmu. Oh, kau harus tahu, nak. Aku adalah ibumu! Kau adalah saudara tertua bagi kelima adik-adikmu. Aku harus mengatakan ini padamu. Ketika aku menyebutkan namamu, engkau menghentikan langkah dan berbalik menghadapku. Lalu dalam hitungan detik, aku terpukau.

Oh, anakku, Dewa Surya telah memberikan kemilaunya padamu dengan nyata dalam pandanganku, terlebih dengan pakaian kebesaran raja, mahkota dan uttariya keemasan yang kau sandang.
"Ibu Ratu..," sapamu sambil mengunjukkan tanda hormat. Aku kehilangan kata-kata. Semua kata yang telah kususun menghilang entah kemana. "Sejak pertama kali aku melihat Ibu Ratu, aku selalu teringat pada bunga lotus dan ingin mempersembahkannya  kepadamu," katamu lagi sambil meletakkan lotus itu di depan ujung kakiku. Ah, aku bahkan tak sempat melihat kapan kau melangkah memetik bunga itu...

sumber : Starplus 
Lima adikmu kemudian muncul dan berdiri diselilingku, memutuskan kebisuan yang menghinggapi diriku sejak pertama berhadapan denganmu. Selanjutnya hanya kata-kata bernada permusuhan dan ancaman yang terlontar diantara kalian. Kau disatu pihak dan lima adikmu dipihak lainnya. Adikmu dengan kalimat penghinaan karena kau bukan bangsawan seperti mereka. Bahwa kau hanya seperti seekor itik yang ingin menjadi seekor merak, kata mereka. Dan kau pun dengan arogan berucap bahwa kau akan sanggup mengalahkan ksatria dan bangsawan manapun termasuk lima lelaki yang berada disekelilingku. Arjuna adalah adikmu sendiri yang kau beri sumpah, bahwa dalam pertempuran kelak, anak panahmu akan mengejarnya sampai kemanapun. Perang kata-kata itu berakhir dengan kaki adikmu yang sengaja menginjak dan melumatkan bunga lotus yang tadi kau persembahkan padaku.

Bersusah payah aku menahan tangis demi melihatmu hanya terpaku memandang bunga lotus yang sudah tak berbentuk karena injakan kaki adikmu. Seharusnya aku bersuara, berkata dengan tegas kepada lima adikmu bahwa sebagai ksatria, tak selayaknya mereka berlaku sedemikian rupa. Terlebih engkau adalah saudara tertua mereka. Tapi selagi aku menyusun kekuatan untuk menyuarakan itu, adikmu telah merengkuhku untuk meninggalkan dirimu yang hanya bisa memandangku dari kejauhan. Hatiku menangis lagi. Nak, semoga kau bisa menerima kata hatiku bahwa aku adalah ibu yang melahirkanmu...

Keberangkatan ke Wanamarta

Untuk kesekian kali, kembali aku bertemu dan berhadapan denganmu, anakku. Begitu dekat. Aku bahkan bisa mendengar isakmu yang tertahan dan melihat matamu berkaca-kaca lalu mengalirkan airmata. Apa yang ada di benakmu saat itu, hingga kau mengucurkan airmata untukku?

Hari itu, aku dan adik-adikmu meminta diri kepada Raja dan Ratu Hastinapura, kepada petinggi kerajaan dan kerabat istana. Kau hadir disana, tentu sebagai kerabat, karena atas prakarsa Putra Mahkota Hastinapura engkau telah dinobatkan sebagai Raja Angga.

Aku mengerti betapa Putra Mahkota sangat terkesan pada kemampuanmu melawan adikmu di arena Rangbhoomi. Saat begitu banyak orang yang tak memandang kemampuanmu bahkan menghinakanmu  karena kau bukan bangsawan, Putra Mahkota Duryodhana membela dan seketika itu juga menobatkan dirimu sebagai Raja Angga. Itukah yang membuatmu akhirnya mengangkat sumpah setia kepada Putra Mahkota? Tapi tahukah kau, Nak, seperti apa perilaku Putra Mahkota terhadap adik-adikmu? Ia telah menempatkan diri sebagai musuh adik-adikmu. Dan kini kau berada di pihak mereka untuk menghadapi adik-adikmu sendiri?

Jauh dihati aku menyadari bahwa aku punya peran besar yang tidak kau mengerti. Kebimbanganku untuk terus menutup rahasia kelahiranmu, itu yang menempatkan dirimu pada tempat yang salah. Jiwa ksatria demikian kental pada darahmu. Namun lingkungan tempat kau dibesarkan tidak memperkenanmu untuk itu. Kepahitan demi kepahitan kau terima ; Penolakan Guru Drona untuk menerimamu sebagai murid karena kau seorang sudra. Kau pun harus menyembunyikan jatidirimu agar bisa menjadi murid Resi Parashuram, dan akhirnya membuahkan kutukan pada dirimu. Nasib dan kepahitan hidupmu adalah karena aku. Lalu bagaimana aku harus meluruskan kesalahan yang telah terjadi sekian lama?

Dan kini, mengapa kau meneteskan airmata di hadapanku, Nak? Bukankah kau sekarang adalah Raja Angga, putra Adhirata dan Radha? Bukankah aku belum membuka jatidirimu dan mengungkap siapa aku bagi dirimu? Lalu mengapa kau menangis seakan aku adalah orang yang sangat berarti bagimu?

Ketika aku tiba di depanmu, engkau seperti biasa menghaturkan sembah penghormatan dengan menyentuh ujung kakiku. Aku terpana saat kau bangkit dengan airmata tergenang di sudut matamu. Tanganku terulur begitu saja menyentuh sisi wajahmu, dan aku tak hendak menahan laju gerak tanganku ini untuk menyentuhmu. Kau anakku! Dan cinta seorang ibu kepada anaknya demikian penuh membuncah di hatiku.Tak bisa menipu.

sumber : Aham Sharma FC
"Semoga engkau tetap melangkah di jalan kebenaran. Karena kekuasaan itu seperti merkuri yang bisa melarutkan emas kebaikan..." Itu yang kukatakan kepadamu. Karena sejujurnya, aku sangat menyayangkan dirimu yang berada dilingkaran hidup Putra Mahkota. Sedangkan aku tahu, Adhirata dan Radha telah memberikan bekal nilai-nilai dharma kepadamu meskipun kau bukan putra kandungnya. Dan pada saatnya nanti, aku harus mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Tanganku masih menyentuh sisi wajahmu ketika airmata menetes dan mengalir dipipimu. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu, nak? Demikian besarkah kesedihanmu yang tak dapat kuketahui dan kumengerti? Setetes airmatamu bahkan jatuh di depan ujung kakiku. Aku kemudian melangkah meninggalkanmu dengan ketidakmengertian. Kereta dan adik-adikmu telah menungguku untuk segera menuju Wanamarta. Diatas kereta, airmata dan wajah sedihmu masih terbayang olehku. Tak terasa airmata mengalir membasahi pipiku. Saat aku menoleh ke tempatmu berdiri, kau masih tegak menatap kearahku. Tetap dengan wajah sedihmu yang sama sekali tak kumengerti. Dalam kebutaan hatiku untuk memahami kedukaanmu, aku merasa tersanjung oleh airmatamu, Nak. Kau harus tahu itu...

Jauh sesudah kejadian itu, setelah aku dan adik-adikmu selamat dari istana di Wanamarta yang terbakar dan kembali ke Hastinapura, aku baru memahami arti kesedihanmu kala itu. Aku yakin, sebagai sahabat Putra Mahkota kau mengetahui rencananya namun kau tak mampu mencegahnya dari pengaruh paman Shakuni. Dan itu kiranya yang menjadikan kesedihan dan airmata pada dirimu saat keberangkatanku dulu... Saat kami kembali ke Hastinapura, aku melihat wajahmu bersinar dan sekilas senyum lembut ketika pandanganku bertemu denganmu. Nak, betapa aku berbahagia karenanya ; Kebajikan masih tinggal dalam dirimu...

Gerbang Batas Hastinapura

Hari itu, aku mendengar terjadinya kericuhan di gerbang batas kerajaan Hastinapura. Ratusan rakyat Hastinapura yang hendak berpindah ke Indraprastha tidak diijinkan pergi. Gerbang ditutup dengan paksa sehingga beberapa keluarga tercerai berai karenanya. Sebagian telah berada di luar gerbang, dan sebagian lagi tertinggal di dalam Hastinapura. Dan aku mendengar, bahwa engkau yang ditugaskan untuk menutup paksa gerbang itu bersama seorang adik Putra Mahkota, Pangeran Dushasan.

Dorongan hatiku yang membuat aku ingin segera berada di tempat itu, terlebih setelah aku mendengar kau ada disana. Aku tiba disana ketika engkau sedang berdebat dengan seorang gadis. Mungkin ia salah seorang penduduk Hastinapura yang ingin agar diijinkan keluar gerbang menuju Indraprastha.

sumber : Google
Aku mendengar sebagian kata-kata gadis itu padamu, bahwa tidak hanya pada diri manusia terletak ketidakbenaran, tetapi juga pada mahkota yang dikenakannya. Gadis itu bijak dan berani. Ia berjalan menuju pintu gerbang tanpa mempedulikan seruan dan ancamanmu. Ah, aku mendengar kau menyebut nama gadis itu, Vrushali. Pastinya kau telah mengenal gadis itu bukan? Lalu mengapa aku melihat wajahmu seperti tak yakin dengan apa yang kau serukan, Nak? Kau seperti ragu-ragu dengan tindakanmu sendiri.

Aku mengerti kau berada dalam kebimbangan. Kau tahu makna kebenaran, tapi kau harus melaksanakan perintah sesuai dengan sumpahmu dan kedudukanmu sekarang. Saat itu juga aku berpikir bahwa aku harus membantumu menentukan sikap. Aku turun dari kereta seraya menyebutkan namamu. Kau menoleh lalu memandang tepat ke arah mataku, dan aku melihat wajahmu yang terkejut. Gadis itu, Vrushali, juga berbalik dan memandangku dengan takjub.

Aku mengatakan padamu bahwa memisahkan seorang anak dari keluarga, terutama ibunya adalah tindakan salah dan aku memintamu untuk tidak melakukan itu. Oh, nak....tahukah dirimu, bahwa aku mengatakan itu juga untuk diriku sendiri? Aku ibu kandungmu, tapi aku juga yang merenggutkan dirimu dariku dengan sengaja. Ada rasa malu dan pedih yang menyerang perasaanku saat itu. Tapi engkau mengangguk mendengar pintaku dan memerintahkan tentara kerajaan agar menyingkir dari sisi Vrushali. Pangeran Dushasan memprotes tindakanmu, tapi dengan tegas kau berkata ;
"Jangan mendebat, Pangeran. Ini adalah perintah Ibu!"
Oh, hatiku berdesir mendengar kau menyebutkan kata "ibu" untuk kata ganti diriku, bukan "Ibu Ratu" seperti sebelumnya. Seandainya... Seandainya pun kau memanggilku langsung dengan sebutan itu, aku tak akan menolak, Nak. Karena kau memang anakku!

Kau lalu menunduk dengan wajah memerah. Sekilas aku melihat matamu berkaca-kaca. Aku memutuskan kemudian bahwa gadis itu dalam perlindunganku di Hastinapura, dan pada saatnya nanti akan berangkat bersamaku ke Indraprastha. Dibalik itu, sungguh aku ingin agar kau menjauh dari lingkaran kekuasaan Putra Mahkota agar kau terbebas dari dua kutub yang saling berseberangan. Maka aku hanya bisa meninggalkan kata-kata untuk menguatkan agar kau tetap ingat dan berada di jalan kebenaran. Kau hanya terdiam mendengar pesanku yang kusampaikan dengan suara bergetar. Kemudian aku beranjak menuju kereta bersama Vrushali, meninggalkanmu yang berdiri di gerbang istana dengan wajah memerah dan mata berkabut. Pasti kau tak tahu, bahwa saat itu hatikupun merasakan perih ; Karena kesalahanku maka saat ini kau terjebak berada di tempat salah. Dan aku kembali menyesali ketidakberanianku mengungkap kebenaran jatidirimu. Maafkan ibumu, nak...

Selayaknya seorang ibu. Meskipun aku adalah ibu yang melahirkan dirimu tanpa pernah kau tahu, aku tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Betapa ingin aku melihatmu menjauh dari lingkungan para Kurawa. Betapa khawatirnya diriku jika kebenaran yang kau miliki luntur karena kedekatanmu dengan mereka.

Tapi dengan sumpah yang telah kau ucapkan kepada Pangeran Duryudhana, mungkinkah kau akan sanggup berpaling mengkhianati janjimu? Atau, jika kau tahu kebenaran jatidirimu yang selama ini tersimpan rapat padaku, akankah itu mampu mengalihkan pendirianmu? Tapi  yang terpenting adalah, kapan aku memiliki waktu dimana aku mampu berkata jujur kepadamu? Aku menyadari kemudian bahwa aku tak lebih dari seorang pengecut. Kumohon kau mau memaafkan untuk itu... (to be continued)


Rawamangun - 23102014

*) Diceritakan kembali, berdasarkan tayangan serial Mahabharata versi Starplus India.

Jumat, 03 Oktober 2014

Korean Wave, Indian Rush...



Bahwa negara kita, NKRI ini adalah sebuah kekuatan besar jika dilihat dari jumlah penduduknya, adalah benar. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno dahulu ; new emerging forces. Tapi benarkah?
Dari yang kerap kubaca di berbagai ulasan, sepertinya jumlah penduduk yang besar ini sampai sekarang belum menunjukkan keunggulan dan daya gunanya di bidang produksi. Kelas menengah yang terus bertumbuh dan diharapkan menjadi pemicu pergerakan ekonomi produktif malah melenceng bergerak masif menuju ekonomi berbasis konsumsi. Segala macam konsumsi, termasuk konsumsi hiburan audio visual yang berdasar pada industri kreatif.

Tidak mengherankan jika para pelaku ekonomi luar negeri tak segan melayangkan aneka macam pujian bagi NKRI. Lha, iya...mereka begitu bermurah hati memuji, karena melalui kata-kata yang manis mereka kemudian akan memaksa kita dengan halus, agar bersedia membuka pintu lebar-lebar menerima segala bentuk produk mereka. Yup! Dua ratus lima puluh juta penduduk NKRI adalah pasar konsumsi yang sangat seksi bagi mereka...

Salah satu kasus sederhana adalah dibidang hiburan. Setelah beberapa tahun yang lalu hallyu (=Korean Wave) sukses menerjang mata- kuping-perasaan penduduk NKRI yang haus hiburan dengan serial drama yang mendayu-dayu dan K-Pop dengan cewek imut dan cowok 'cantik'nya... Namun belum sempat kita tersadar,  belakangan malah datang lagi serbuan dari negeri India di Asia Barat ; Indian Rush, dengan kisah-kisah epic klasik berikut wajah-wajah pemeran yang cantik rupawan dan ganteng berotot yang berseliweran di layar kaca.

Korea Selatan adalah contoh terbaik, dimana industri kreatif (sinema dan musik) menjadi pendorong invasi budaya mereka ke negara lain, yang pada akhirnya memberi dampak positif bagi aktivitas ekonomi. Berbondong-bondong para penikmat Korean Wave mendatangi Seoul, pulau Nami, Jeju sebagai wisatawan yang ingin "mencari jejak" para bintang idolanya. Belum lagi keuntungan intangitable dengan menguatnya nama negeri mereka dan memudahkan brand produknya mempengaruhi keputusan konsumsi negeri yang di-invasi melalui jalur hiburan. Samsung dan LG adalah dua merek yang mungkin menikmati efek hallyu ini.

Bukan tidak mungkin, beberapa waktu lagi, Indian Rush akan berlanjut dengan invasi produk bermerek TVS, Tata atau Bajaj yang menyasar para penggemar cerita epic klasik India. Dan mungkin diikuti pula dengan pemakaian kain saree dan bindi bagi para perempuan. Atau tak lama lagi jumlah wisatawan ke India akan mengalami kenaikan dengan kedatangan fans dari Indonesia? Jika itu terjadi, tidaklah mengherankan karena serial epic klasik asal India telah berhasil menuai rating tertinggi di jagad pertelevisian negeri kita.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah NKRI sebagai bangsa yang besar dan aneka ragam budaya cukup berpuas diri menjadi ajang pemasaran mereka? Adalah sebuah harapan yang tumbuh ketika seorang calon pemimpin mulai menyinggung dan berniat memberi tempat pada keberadaan industri kreatif yang selama ini tidak pernah disentuh oleh pemerintah.

Selama ini mereka ada, tetapi mereka berjuang sendiri secara indie... Padahal, berapa banyak anak muda di Jakarta, Bandung, Yogya, Bali dan lainnya yang kreatif dan karyanya sudah mendunia?  Banyak. Tahukah anda bahwa salah satu ilustrator komik superhero terbitan Amerika adalah seorang seniman Indonesia yang tinggal di Jawa Timur? Bukankah kita tahu juga bahwa selama ini lagu-lagu karya musisi Indonesia selalu menguasai tangga lagu di negeri jiran? Tahukah anda bahwa beberapa disainer pakaian muslim asal Indonesia sudah mulai diperhitungkan di Timur Tengah? Juga seorang perempuan di Yogya yang mendisain tas berbahan alam, dan ternyata karyanya berhasil menembus Amerika? Lalu, apakah anda tahu bahwa Lola Amaria menenteng sendiri karya-karya filmnya untuk dijual dan tayang di luar negeri? Atau, Andrea Hirata bergerak sendiri menerbitkan tetralogi Laskar Pelangi-nya di mancanegara?

Tapi, ya begitulah... Mereka, para pekerja kreatif itu bergerak sendiri-sendiri seperti pejuang underground. Seandainya, seandainya pemerintah benar-benar sadar betapa industri kreatif punya potensi untuk menggerakkan ekonomi dan kebanggaan bangsa. Dan mereka adalah bibit-bibit yang potensial untuk dikembangtumbuhkan... Mungkin kita bisa bermimpi dan berharap mimpi itu bisa terjadi, menjadi "Indonesian Wave" atau "Nusantara Storm" atau apalah... Tapiii, kapan yaaa?


Pondok Gede - 02102014  

Kamis, 21 Agustus 2014

Mahabharata : KARNA (4)



--- Angraj Karn dan Putri yang Menolak


Manusia adalah gudangnya kekeliruan. Kadang mereka menginginkan sesuatu, memilih-milih atau menolak sekehendak hatinya. Tapi dikemudian hari, ternyata ia merasa telah keliru memilih dan menyesal, karena "pilih-pilih tebu". Nukilan cerita di bawah ini mungkin bisa mewakili keadaan tersebut.

TENTANG KARNA

Tersebutlah seorang tokoh dalam epos Mahabharata bernama Karna yang selalu mendapatkan penghinaan karena statusnya sebagai Suthputr (anak kusir) berkasta sudra di Hastinapura. Padahal biarpun ia anak adopsi kusir yang ditemukan di sungai, ia adalah seorang yang piawai dalam ilmu perang. Ia mampu menggunakan segala senjata walau keahlian utamanya adalah dalam ilmu memanah. Yah, kalau diumpamakan dengan keadaan sekarang, kurang lebih kemampuan berperangnya komplit, mirip-mirip pasukan khusus (tapi tidak termasuk keahlian menculik ... Hiks).

Berkat kompetensinya yang cemerlang dalam ilmu perang, maka dalam suatu kesempatan dimana dia dihina dihadapan orang banyak karena berkasta rendah, ia dibela dan diangkat menjadi raja Angga (salah satu kerajaan sekutu Hastinapura) oleh pangeran mahkota Duryudhana. Sejak itu namanya dikenal sebagai Angraj Karn atau raja Angga, dengan segala fasilitas yang diterimanya sebagai pejabat istana seperti ; rumah, mobil, uang sidang, uang seragam pelantikan.... Eh, salah ya? Itu sih anggota dewan di negara antah berantah...hehe...

Begitulah. Sejak bergelar Angraj, Karna yang pada dasarnya dianugerahi fisik dan inteligensi yang oke punya (maklum, ayah biologisnya adalah Dewa Surya dan ibu biologisnya adalah putri kerajaan Kuntibhoj) menjadi semakin "cling" atau kinclong dan berkilau.

Beberapa versi menggambarkan bahwa sosok Karna tidak kalah yummy dan crunchy dibandingkan Arjuna (adiknya se-ibu tapi beda bapak), yang selama ini dikenal sebagai ksatria paling tampan di jagad Mahabharata.

Ada yang menarasikan bahwa Karna adalah lelaki berperawakan gagah, berwajah tampan dan penuh senyum. Selain itu dia juga dikenal sangat dermawan dan murah hati. Siapapun yang meminta kepadanya, tak pernah dibiarkannya pergi dengan tangan hampa. Wajahnya bercahaya karena kilau anting yang melekat ditelinganya sejak lahir. Anting itu (beserta baju zirah yang menyatu ditubuhnya) adalah hadiah dari ayahnya, Dewa Surya, pada saat kelahirannya.

Khrisna, dalam sacred text Mahabharata menggambarkan Karna dengan penuh pujian ;

"Hear in brief, O son of Pandu. I regard the mighty car-warrior Karna as thy equal, or perhaps, thy superior. In energy he is equal to Agni. As regard speed, he is equal to impetuosity of the wind. In wrath, he resembles the Destroyer himself. Endued with might, he resembles a lion in the formation of his body. He is eight ratnis in stature. His arms are large. His chest is broad. He is invincible. He is sensitive. He is a hero. He is, again, the foremost heroes. He is exceedingly handsome. Possessed of every accomplishment of a warrior, he is dispeller of the fears of friends..."


Penasaran? Nah, seperti inilah penampakan Karna dan Arjuna dalam Mahabharata versi Starplus India ;

Angraj Karn  (sumber : @Aham Sharma FC)


Arjuna  (Sumber : Starplus)


Suatu ketika, raja negara Panchala mengadakan sawyamvar (sayembara) atau kompetisi untuk memilih calon suami bagi putri raja yang bernama Drupadi.

Adapun kompetisi diadakan di sebuah lokasi mirip ampitheatre. Para pangeran dan raja yang diundang diharuskan memanah mata boneka ikan yang berputar dan digantung di atas kolam. Pemanah tidak diperbolehkan melihat langsung ke arah boneka ikan itu, melainkan hanya melalui bayangan yang terpantul di air kolam. Rumit kan? Belum lagi busur yang disediakan oleh raja Panchala adalah busur istimewa yang beratnya minta ampun. Tidak semua ksatria dan prajurit mampu mengangkat busur itu, apalagi merentangkan talinya untuk memanah. Tak heran jika Krishna, avatar Dewa Wisnu, mentor dan penasehat Pandawa yang serba tahu, sebelum kompetisi dimulai sudah mengatakan kepada Raja Panchala dan Drupadi bahwa nantinya yang sanggup mengangkat dan menggunakan busur itu hanya Arjuna dan Angraj Karn.

Nah, Duryudhana sebagai pangeran mahkota Hastinapura tentunya juga mendapat undangan untuk ikut sawyamvar. Secara, Hastinapura adalah kerajaan besar di kawasan India kuno waktu itu. Tapi pangeran mahkota yang satu ini tampaknya kurang pede dengan keahliannya menggunakan busur sebagai senjata, karena major-nya semasa menjadi murid Guru Drona adalah senjata gada. Maka kemudian dia mengajak Karna yang spesialis memanah untuk mewakili dirinya mengikuti kompetisi memperistri Drupadi.

Padahal dibalik layar panitia sawyamvar, sebenarnya kompetisi ini hanya formalitas untuk mengundang pangeran impian Drupadi yaitu Arjuna. Oya, waktu itu Arjuna bersama empat saudara dan ibunya sedang dalam masa penyamaran sehingga dipandang perlu untuk menarik keluar dirinya - agar menampakkan batang hidung, mata dan telinganya di depan Drupadi - lewat cara ini.

Heran juga ya, tega-teganya panitia sawyamvar membuat kebohongan publik. Mereka mengundang para pangeran dan raja untuk berkompetisi padahal sudah tahu bahwa yang kompeten untuk itu hanya Arjuna dan Karna, confirm dengan sabda Khrisna sebagai penjelmaan Dewa Wisnu... Apakah panitia ini belajar politik dari suatu negeri di Asia Tenggara? Entahlah.

Selanjutnya, pada hari H jam J menit M, berdatanganlah para pangeran dan raja ke kerajaan Panchala. Mereka disambut dengan meriah dan penuh hormat. Para undangan VVIP dan VIP duduk di tribun yang berdekatan dengan Raja Phancala dan Drupadi yang sudah berdandan extravaganza selayak toko emas berjalan (maklum, kan nanti mau bertemu dengan Arjuna si pangeran impian...).

Acara pun dibuka oleh ketua panitia, dalam hal ini adalah kakak lelaki Drupadi, yaitu Pangeran Dristadyumna. Berpidatolah kemudian sang pangeran dan juga sang Raja Panchala dengan memakan waktu sekian menit. Pidatonya tanpa teks lho...Hebat ya? Padahal jaman dulu kan belum ada kursus public speaking...

Diutarakannya ucapan terima kasih atas kehadiran para tamu dan penonton dari kalangan rakyat akar rumput, serta segala hal yang berkaitan dengan kompetisi. Termasuk tata cara dan aturan kompetisi yang berlaku. Pokoknya mirip dengan gaya para panitia acara di salah satu negara Asia Tenggara itu deh... Bisa dibayangkan sendiri kan? Hehe...

Setelah itu, mulailah satu persatu para pangeran dan raja mencoba peruntungannya di depan busur sakti yang diletakkan di samping kolam di tengah arena.

Dan benar, tak ada satu pun pangeran yang bisa mengangkat busur dari tempatnya. Malah ada yang terpelanting dan jatuh terjengkang karena begitu ngotot mengangkat busur tanpa mengukur kekuatan.


Giliran Duryudhana tiba. Sebelumnya dia mengatakan kepada publik bahwa untuk event kali ini, ia akan diwakili oleh karibnya, Karna yang menjabat sebagai raja Angga. Tentu saja ini ditolak mentah-mentah oleh ketua panitia. Masa' ikut sawyamvar pakai perwakilan?

"Masbro, emangnya ini parlemen?" Tanya Pangeran Dristadyumna si ketua panitia dengan agak bete.

Setelah melakukan diskusi kecil dengan timnya (rada terpaksa sih, daripada tengsin), Duryudhana akhirnya memutuskan bahwa Raja Angga a.k.a. Karna dalam kesempatan ini akan berkompetisi untuk dirinya sendiri. Jadi kalau ternyata nanti dia bisa memanah target dengan tepat, dia yang akan memperistri Drupadi.

Pikir Duryudhana, tak apalah, sekali lagi memberi hadiah kepada sahabat karibnya yang raja sakti mandraguna kebal senjata, tapi masih menjomblo. Disamping itu, kemungkinan Duryudhana juga tidak merasa kena setrum ketika melihat Drupadi. Jadi, no hurt feeling kalau akhirnya nanti Drupadi menjadi istri Karna.

Setelah sedikit shock dengan perubahan mendadak itu, akhirnya Karna menyetujui solusi dari Duryudhana. Matanya beberapa kali memandang tajam ke arah Drupadi yang cantik tapi arogan dan judes mulutnya. Apakah ada kejut-kejut listrik dalam diri Karna ketika memandang Drupadi? Tak ada yang tahu. Wong tak ada satu orang pun yang menemukan artefak diary Karna. Itu pun kalau dulu Karna biasa menuliskan curahan hatinya. Kan waktu itu belum ada diary bergambar jantung hati atau Hello Kitty...hihi...

Tapi ternyata ada versi yang menyebutkan bahwa sebenarnya Karna tidak peduli (bahasa halus dari "tidak tertarik") pada Drupadi. Ia mengikuti sawyamvar ini hanya untuk menyenangkan hati Duryudhana yang telah bermaksud baik kepadanya. Jika pun ia nantinya berhasil memenangkan Drupadi, kemungkinan ia akan kembali menghadiahkan Drupadi kepada Duryudhana... Yaelah, bolak balik kayak main pingpong...

Justru dalam versi lain yang beredar di India pada abad ke-18, Drupadi lah yang sebenarnya tertarik pada Karna. (Tentang ini dapat dibaca lebih lanjut di bagian khusus Drupadi di  bawah ini). Yup, sepertinya perbedaan kasta-lah yang menyebabkan Drupadi menampik Karna.

Drupadi pun resah ditatap sedemikian rupa oleh Raja Angga yang gagah, tampan yummy crunchy, berkharisma... High quality jomblo yang belum pernah mengenal cinta dari cewek selain ibu (angkat) nya, dan punya kans besar untuk menang. Sementara pangeran impiannya, Arjuna, belum tampak sedikitpun ujung jempol kakinya...haddeeuww...

Apa jadinya kalau nanti Raja Angga yang menang? Padahal sawyamvar ini kan sebenarnya dibuat untuk menarik Arjuna dari persembunyiannya, pikir Sang Putri arogan ini.

Maka kemudian, Raja Angga pun turun dari tribun untuk mengambil kesempatan. Langkahnya tenang dan percaya diri menuju tempat busur diletakkan. Sekali dia melayangkan tatapan mata elang ke arah Drupadi yang hatinya kebat-kebit.

"Oh, Arjuna, pangeran impian, cepatlah muncul... Bagaimana mungkin Raja Angga yang akan memenangkan diriku padahal sawyamvar ini dibuat khusus untukmu. Lebih buruk lagi, aku khawatir hatiku luluh oleh tatapan Raja Angga yang sama berkualitasnya dengan dirimu," keluh hati Drupadi.

Sementara, Raja Angga telah berdiri mengamati busur sakti. Menatapnya sejenak seakan berbicara membujuk si busur agar bersikap koperatif dengannya. Dan, voila...! Raja Angga pun mengangkat busur sakti itu dengan satu tangan. Satu tangaaan, saudara-saudara pemirsaaah...! What a great...! Penonton pun terkesima. Padahal sebaliknya Drupadi dan ayahnya, Raja Panchala, sudah mencapai kegalauan sekaligus kecemasan level tinggi. Mana Arjuna? Manaaa...?!!! Sementara Khrisna sang maha tahu tersenyum mengamati.

Di bawah tribun, Raja Angga sangat tenang melanjutkan kegiatan sesuai SOP, dengan mulai mengikatkan tali pada busur. Sekali lagi ia melayangkan tatapan tajam kearah Drupadi. (Btw, kalau ekke yang berada di tempat Drupadi, pasti ekke sudah pingsan berkali-kali bcoz of diliatin terus sama lekong yang macho bingits macam doski... Ihiiiikkk... *mukul-mukul tembok*).

Angraj Karn lalu mengambil anak panah yang diletakkan di tempat berkalang bunga. Sang raja berkasta sudra itu melakukannya dengan  elegan seakan sedang menjalani sebuah ritual suci. Selanjutnya ia melangkah ke pinggir kolam, menatap bayangan ikan berputar yang terkaca di permukaan kolam. Ia pun mengambil posisi dengan menekuk sebelah kaki, merendahkan tubuh. Sebelah tangannya mengangkat busur yang mengarah keatas, tempat tergantungnya boneka ikan yang menjadi target. Sedangkan tangan lainnya menarik anak panah yang melekat pada tali busur. Disaat yang sama, pandangannya terkonsentrasi penuh pada bayangan ikan di kolam. Suara busur yang berderit, meregang karena ditarik dengan kekuatan batin dan fisik membuat penonton semakin terpaku dan terdiam. Mereka menantikan Raja Angga melepaskan anak panah. Mereka yakin boneka ikan itu akan kena anak panah tepat di sasaran, dan Raja Angga lah yang akan menjadi suami Putri Drupadi.

Versi asli, the sacred text of Mahabharata, pun menggambarkan situasi Karna saat itu dengan dahsyat :  "Uprose Karna, peerless archer, proudest the archers he. And he went strung the weapon, fixed the arrow gallantly. Stood like SURYA in his splendour and like AGNI in his flame..."

(Thanks to Starplus yang mem-visualisasikan ini lewat casting yang definitely match dan ajib bingits,  membuat para penonton perempuan beralih perhatian kepada tokoh Karna dan melupakan Arjuna... *peluk Aham Sharma*)

Seperti inilah visualisasi Raja Angga saat berada di arena, yang dikembangkan oleh Starplus :  

sumber : @Aham Sharma FC
Sumber : @Aham Sharma FC

Tapi tidak demikian halnya dengan Drupadi dan Raja Panchala. Mereka cemas. Karena jika Raja Angga berhasil memanah ikan dengan tepat, maka rusaklah semua yang sudah di-skenariokan oleh Khrisna, inisiator dan penggagas perhelatan sawyamvar ini. Berkali-kali Drupadi memanjangkan leher melihat kearah pintu masuk. Siapa tahu pangeran impiannya muncul dari sana. Raja Panchala gelisah, berulangkali mengepalkan tangan dan memandang kepada Khrisna, meminta solusi... Sebaliknya Khrisna masih tersenyum dengan tenang mengamati Raja Angga yang berkonsentasi pada target.

Namun apa yang terjadi selanjutnya adalah diluar dugaan. Sesaat sebelum Raja Angga melepaskan anak panah, tiba-tiba Drupadi berteriak,

"Berhenti! Aku menolak bersuamikan seorang suthputr...!" (OMG, this is such a rude by someone called Princess...)

Semua yang berada di ampitheatre  itu tercengang  (Tolong dicatat : disini penonton tidak berbarengan meneriakkan "Waww, aku tercengaaanggg..." ala Fitrop sambil meletakkan dua telapak tangan dibawah dagu. Mohon, jangan membayangkan seperti itu yaaa.... Plisss....).

Pun Raja Angga yang kemudian berhenti mengarahkan anak busurnya ke target. Wajah yang semula tenang penuh konsentrasi, seketika berubah. Ekspresi campur aduk antara marah, terhina, kecewa dan putus asa. Rahangnya mengeras menahan emosi, hingga urat lehernya terlihat jelas. Untuk kesekian kalinya ia menerima penghinaan karena kasta. Dan kali ini ia dihina oleh seorang wanita! Di depan umum pula! Well, sangat menyakitkan. Dan itu bisa dipahami. Ada yang bilang, bagi seorang lelaki penghinaan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepadanya, jauh berlipat-lipat sakitnya daripada hinaan yang dilontarkan oleh sesama lelaki. Is that right, brother?

Dengan wajah menahan emosi, Karna lalu menatap matahari yang tengah bersinar cerah hari itu. Oya, Karna hingga saat itu belum tahu bahwa ia adalah anak Dewa Surya. Hanya saja, mungkin karena ikatan batin, Dewa Surya menjadi dewa yang selalu mendapatkan pemujaan darinya di tepi sungai Gangga.

Ketika Karna menatap matahari dengan mata telanjang itu, tiba-tiba kemudian matahari bersinar dengan sangat terik, menampakkan bola api yang berpijar garang di angkasa. Semua yang hadir berupaya menghindar dengan menutupi wajah dan mata masing-masing, berbeda halnya dengan Karna. Rupanya kali ini Dewa Surya amat marah karena anaknya dihina dengan kasar di muka umum.

Susah membayangkan wajah Aham Sharma, eh, Raja Angga yang sedang emosi tapi tetap unyu? Nih, ada pict-nya... Silakan dipandangi ;  






Tips :  Untuk merasakan "nafas" dan suasana cerita ini, saya sarankan untuk menonton visualisasi versi terkini di tayangan yang dikembangkan oleh Starplus. Disana akan terasa ketegangan suasana ketika Karna menarik anak panah. Suasana kecewa saat Drupadi memutus konsentrasi Karna, saat Karna menahan emosi sambil menatap matahari, dan ketika Dewa Surya menunjukkan amarahnya. Dijamin anda akan diam tak bergerak sambil bengong menatap layar... Trust me!

Dikemudian hari, di peristiwa perjudian yang di-arrange oleh Duryudhana dan saudaranya para Kurawa, Karna membalaskan sakit hatinya dengan menghina Drupadi di depan majelis yang hadir. Sangat emosional, dan itu menjadi penyesalan bagi Karna diujung hidupnya. Beruntung, ia masih punya kesempatan meminta maaf kepada Drupadi melalui Khrisna.

Selanjutnya? Sudah bisa diduga. Arjuna lalu muncul dari penyamaran sebagai brahmana. Menunjukkan keahliannya memanah, berhasil, lalu membawa Drupadi sebagai calon pengantinnya. As simple as that. Bukankah itu yang dimaui oleh Drupadi dan direstui oleh Khrisna yang avatar Dewa Wishnu?

Tapi ternyata kisah selanjutnya tidak sesederhana itu bagi Drupadi. Dikemudian hari, ia sempat mengeluh dan menyesali nasibnya kepada Khrisna. Pingin tahu? Nah, baca bagian selanjutnya di bawah ini.

TENTANG DRUPADI


Alkisah, setelah dirinya dimenangkan oleh Arjuna, maka Drupadi pun dibawa pulang oleh Arjuna diiringi oleh saudara-saudara Arjuna : Yudhistira, Bhima, Nakula dan Sahadewa. Pada masa itu para Pandawa dan ibunya, Kunti, sedang dalam masa pelarian dan penyamaran setelah istana mereka dibakar oleh Kurawa.

Jadi karena mereka menyamar sebagai brahmana miskin, maka Drupadi pun dibawa ke rumah mereka, sebuah gubuk sederhana. Iyalah. Nggak cucok dong, kalau mereka menyamar sebagai orang miskin tapi rumahnya berupa bangunan bertingkat bergaya minimalis dan carport cukup untuk dua mobil...


Di gubuk itu, Kunti - ibu para Pandawa, sedang bersemedi sambil memejamkan mata. Konsentrasinya pecah ketika anak-anaknya datang dan membawa berita ;

"Ibu, lihatlah, hari ini kami mendapatkan hadiah...," kata anak-anaknya.

Tanpa membuka mata, Kunti langsung menjawab, "Ibu telah mengajarkan kalian untuk selalu berbagi. Bagilah hadiah itu dengan rata..."  

Jedheeerrr... Bumi gonjang ganjing langit kerlap kerlap... (kata dalang Ki Timbul Hadiprayitno). Pandawa, terutama Arjuna tentu saja kaget setengah mati. Lha, ini hadiahnya seorang putri raja, kok disuruh bagi lima?! Dia kan sama sekali tidak mirip dengan seloyang lapis legit yang bisa dibagi dan masing-masing mendapat seperlima bagian ?!  Pandawa terdiam, tak bisa berkata apapun.

Kunti akhirnya curiga juga. Kok tiba-tiba terjadi kesenyapan dalam waktu cukup lama? Ia pun membuka mata menghentikan meditasi. Saat membuka mata, tampaklah olehnya seorang putri cantik dengan pakaian glamour yang bling-bling abis... Syahrini kalah deh... Hihi...


sumber : Starplus



Sekarang giliran Kunti yang terkejut berat (untung nggak memegang dada kiri, lalu jatuh kena serangan jantung ala sinetron Indonesia). Ibu ini hanya menutup mulutnya dengan mata membelalak menyesali kesalahan dalam memberi perintah kepada anak-anaknya. Akan halnya Drupadi, bling-bling nya langsung padam seperti bara api unggun disiram air dua gentong...

Setelah itu, bisa diduga, terjadilah kegalauan di gubuk sederhana itu. Kunti menangis menyesali kecerobohannya. Arjuna bingung, secara dia yang sebenarnya paling berhak atas Drupadi, tetapi kemudian harus berbagi dengan empat saudaranya. Sedangkan Yudhistira, Bhima, Nakula, Sahadewa juga kusut ; Masa iya sih, yang berhak Arjuna tapi kita-kita juga ntar ikutan kebagian?

Tapi diluar semua itu, yang paling bikin galau adalah ; bahwa setiap kata Ibu adalah sabda dan atau perintah. Jadi wajib hukumnya buat dijalankan. Lalu, kalau pun itu nantinya dijalankan, apa kata orang? Seorang perempuan bersuami lima, itu adalah tidak normal dan bisa dianggap aib. Beda halnya dengan seorang pria yang beristri lebih dari satu. Itu mah, jamak...

Terlebih lagi Drupadi. Hatinya tidak rela. Suami impiannya cuma Arjuna, lha kok ini ditambahi empat orang lagi? Repot euy, membagi waktu apalagi membagi hati... Belum lagi nanti urusan dapur, tiap hari harus masak beras berapa kilo, ayam berapa ekor, tempe berapa papan? Mana harga cabe keriting tidak stabil pula... Apalagi Bhima itu... makannya banyak banget. Iyuuuhh... Ampun deeehhh... (Maklum di jaman itu belum ada warung padang atau warung tegal, apalagi katering).

Akan hal ini,  pada suatu waktu, Drupadi menumpahkan perasaannya kepada Khrisna, sahabatnya : "Wahai Khrisna, bagaimana mungkin aku seorang wanita harus bersuamikan lima orang? Apakah Dewa sedang mengutukku?"

Lalu Khrisna menjawab,  "Tapi kau telah menolak Raja Angga dan memilih Arjuna, mbak sist. Ya, itulah konsekuensi yang harus kau terima..."


Mengapa Khrisna menjawab demikian? Ternyata ada latar belakangnya. Ini merupakan salah satu dari sekian banyak versi yang berkembang dari Mahabharata. Begini ceritanya :


Duluuu...sebelum ber-reinkarnasi, jiwa Drupadi berada dalam tubuh seorang gadis cantik, putri seorang brahmana. Namun karena dia telah menolak dengan kasar perintah seorang Resi yang telah menolongnya, ia pun menerima kutukan. Sang Resi mengutuk gadis itu menjadi buruk rupa dan tidak akan memiliki suami. Dua hal yang sangat ditakutkan oleh seorang gadis kan?

Menyesal dan takut jika kutukan itu terjadi, maka si gadis langsung melakukan meditasi (pemujaan) untuk Dewa Shiva, dengan duduk diatas api. Alih-alih membakarnya, api itu justru  menjadikan wajahnya lebih cantik dari hari kehari.


Dewa Shiva pun kemudian terkesan dengan kegigihan si gadis, hingga akhirnya berkenan menemui si gadis dan bertanya,

"Wahai gadis, upaya dan kegigihanmu patut dihargai. Sekarang, apa sebenarnya yang kau inginkan?"

"Dewa Shiva yang agung, aku menginginkan suami. Tapi dia haruslah yang bermoral, dan memiliki fisik yang kuat. Selain itu dia juga harus ahli dalam ilmu perang, tampan dan cerdas...," pinta si gadis. 
Weleh...weleh... Tidak tanggung-tanggung, lima kriteria lelaki terbaik diminta sekaligus oleh si gadis.

Dewa Shiva tersenyum mendengar permohonan itu, "Baik, permintaanmu akan terkabul. Engkau akan memiliki lima orang suami seperti yang kau minta," katanya.

"Tapi Dewa, seorang wanita yang bersuami lebih dari satu adalah hal yang buruk...," si gadis berusaha menganulir permintaannya. Dewa Shiva tidak menjawab, hanya tersenyum dan berlalu. Tinggallah si gadis dalam kebingungan karena telah salah mengajukan permintaan.

Dengan berlalunya waktu, pada kehidupan berikutnya, jiwa si gadis itu lahir kembali dan mengisi tubuh Drupadi.

Demikianlah. Jiwa dari kehidupan masa lalu telah membawa nasib yang tak biasa bagi Drupadi. Ia menjadi istri dari lima orang ksatria Pandawa bersaudara.

Hal yang tidak normal itu pun menjadi pergunjingan dikalangan kerajaan, para sosialita tanah India kuno, dan rakyat akar rumput... Untungnya di jaman itu belum ada channel teve dan tabloid infotaintment, sehingga Drupadi dan para suaminya tidak repot dikejar-kejar wartawan, dimintai waktu wawancara sepanjang hari dan dikuntit oleh paparazzi...

Terkait dengan suami-suaminya, Drupadi tidak menyangka bahwa keinginan dan keputusannya untuk memilih Arjuna ternyata membawa kepada nasib yang kurang mengenakkan. Dengan menjadi istri dari lima lelaki, ia kerap mendapat cibiran. Puncaknya adalah peristiwa penghinaan terhadap dirinya dalam perhelatan permainan dadu yang dimenangkan oleh Kurawa.

Di depan para petinggi kerajaan dan bangsawan (termasuk Karna) ia dijadikan obyek taruhan judi, dicaci dan direndahkan. Malang, tak satupun dari lima suaminya - yang semuanya ksatria - mampu menghentikan drama itu dan menolongnya. Ini yang selalu disesalkan oleh Drupadi, lalu menjadi dendam yang menyulut perang Bharata.

Salah satu versi lagi : Dibalik semuanya itu, sebenarnya Khrisna - yang tahu segala - telah berusaha menolong Drupadi dengan menciptakan alternatif pilihan. Dengan kemengertian dan kuasanya sebagai avatar Dewa Wishnu, ia menyusun suatu keadaan untuk memunculkan Karna sebagai kompetitor Arjuna dalam sawyamvar di kerajaan Panchala.

Khrisna tahu, hanya Karna yang memiliki lima kriteria sekaligus yang diinginkan oleh Drupadi untuk menjadi suaminya (Yihaaa...paket komplit, cuy...). Sementara pada Pandawa, kriteria-kriteria itu terbagi pada Yudhistira (untuk moral dan kebenaran), Bhima (untuk kekuatan fisik), Arjuna (keahlian berperang), Nakula (ketampanan) dan Sahadewa (kecerdasan).

Bukankah sebelum sawyamvar dilaksanakan, Khrisna telah mengatakan kepada Drupadi dan Raja Panchala bahwa hanya ada dua orang yang sanggup menggunakan busur itu. Yaitu Arjuna dan Angraj Karn... Sayang seribu sayang, Drupadi tidak menangkap sasmita (clue) yang diberikan oleh Khrisna.


Dan sayang sekali lagi, pada sawyamvar itu Drupadi langsung menolak dan menghina Karna hanya karena Karna berkasta sudra.

"Nggak level, ah. Masa aku putri raja bersuami seorang suthputr..." Itu mungkin yang ada dipikiran Drupadi yang sombong saat itu. Padahal, siapa yang menyangka bahwa Raja Angga yang dihinanya itu adalah anak Dewa Surya dan Kunti yang juga anak raja, sama level dengan dirinya?

Jauh dikemudian hari, saat Drupadi tahu dari Khrisna bahwa Karna adalah anak Kunti yang berarti adalah saudara tertua dari Pandawa, ia berkata,

"Andai dulu aku tidak menghina dan menolak Karna. Andai ia adalah suamiku. Aku tidak akan menerima penghinaan sebagai perempuan tidak bermoral karena bersuami lima orang, seorang istri yang dipertaruhkan di meja judi oleh suaminya sendiri..."

(Mbak sist, makanya sebelum menjatuhkan predikat pada orang lain, cari info yang valid dulu, dong. Browsing, kalau perlu stalking-stalking juga... Biar nggak menyesal di belakang hari).

Kekecewaan Drupadi kepada lima suaminya itu, menurut versi yang beredar di Benggala, India pada abad ke 18, ternyata semakin mengentalkan ketertarikan dan hasrat terpendam Drupadi terhadap Karna. Dalam cerita versi ini, tergambar betapa Karna memiliki tempat khusus di sudut hati Drupadi. Begini ceritanya :

Ketika Pandawa dan Drupadi sedang menjalani masa pembuangan di hutan. Mereka sedang berjalan menuju suatu tempat dan berhenti sejenak untuk beristirahat.

Di tempat itu Drupadi melihat pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Lalu dengan sedikit mengajuk manja, dia meminta Arjuna untuk memetik buah mangga paling ranum yang berada di ranting teratas pohon itu. Tak tahan mendapat rengekan dari istri tercinta yang cantik jelita dengan mata mengerjap-ngerjap memohon, Arjuna pun seketika melontarkan anak panahnya hingga buah mangga yang tak bersalah itu terputus dari ranting dan jatuh ke tanah.



Saat itu pula, muncullah Khrisna. Ia tahu bahwa pada diri Drupadi saat itu ada kesombongan dan kejumawaan yang mesti diruntuhkan. Drupadi merasa bahwa ia adalah istri yang paling hebat. Paling setia, paling tahan menderita mengikuti lima suaminya berkelana di hutan... Dan ia ingin semua orang tahu dan memuji pengorbanannya.



Menemui Pandawa dan Drupadi, Khrisna menegur mereka yang telah lancang mengambil mangga tanpa ijin. Menurut Khrisna, mangga itu adalah milik Resi Sandipan yang terkenal pemarah dan suka mengutuk. Jika sang Resi tahu ada yang mengambil mangga miliknya tanpa ijin, sang Resi akan mengutuk orang yang mengambil menjadi abu. Mendengar itu, Pandawa dan Drupadi menjadi jiper juga (Ksatria juga manusiaaa, punya rasa punya hatiiii, punya juga rasa takuuutt.... *nyanyi lagu Jamrud*).  Mereka meminta solusi dari Khrisna bagaimana caranya mengembalikan mangga yang telah terpetik itu kembali ke rantingnya.



Khrisna, dengan senyum penuh rahasia mengatakan : Buah mangga itu bisa kembali ke tempat asalnya jika seluruh pelaku (Pandawa dan Drupadi dianggap satu kesatuan) bisa mengatakan dengan jujur apa yang terlintas di pikiran mereka saat itu. Semuanya setuju. (Daripada jadi abu...iihh... Ntar abunya dipakai nggosok kuali pula... Ogahlah yaauww... *Olga style mode on*)



Sesi kejujuran dan pengakuan kali ini dimulai dari Yudhistira, dilanjutkan oleh Bhima, Arjuna, lalu Nakula dan Sahadewa. Setiap kali mereka selesai bicara, buah mangga itu naik ke ranting secara bertahap menuju ke ranting teratas. Saat giliran Drupadi tiba, mangga itu dalam posisi tinggal setingkat lagi untuk kembali ke tempatnya semula. Drupadi mengatakan, bahwa yang ada dipikirannya adalah : Setiap saat ia bermimpi semua Kurawa akan dibunuh oleh Bhima dan istri-istri mereka akan menangis dalam kesedihan. Dia sendiri akan melakukan Yajna dan menjaga semua teman dan kerabatnya.

Begitu Drupadi selesai bicara, mangga itu kembali terjatuh ke tanah. Tanda bahwa Drupadi tidak mengatakan yang sebenarnya.



Pandawa terkejut tidak menyangka. Mereka memohon agar Drupadi mengatakan yang sebenarnya ada dalam pikirannya, agar mereka tidak dikutuk menjadi abu oleh Resi Sandipan. Drupadi hanya diam. Namun setelah Yudhistira desperately memohon, Drupadi mengungkapkan hal yang mengejutkan  (jreng... jreng... jreeenggg ...) :  Ia berpikir, kalau saja Karna juga adalah putra Kunti, maka ia akan memiliki enam suami.



(OMG, Princess... Dulu dirimu menolak Karna dengan kasar. Lalu kenapa sekarang kau begitu terobsesi pada anak kusir itu?  Betul kata ungkapan bahwa "hati wanita sedalam samudra, tak ada yang tahu apa yang ada di dasar samudra itu".

Tapi, BTW, siapa juga perempuan yang nggak bakal termimpi-mimpi, jika sosok Karna benar-benar seperti yang divisualisasikan oleh Starplus kali ini? Prikitiuww...  *peluk Aham Sharma sekali lagi*)



Setelah Drupadi selesai bicara, mangga itu terangkat dan kembali melekat di ranting tertinggi tempat asalnya. Pertanda bahwa apa yang dikatakan Drupadi itu benar adanya. Mendengar itu, Yudhistira terdiam, sedangkan Bhima menjadi marah. Karena dibanding empat Pandawa lainnya, Bhima lah yang memiliki cinta terbesar dan sangat care kepada Drupadi. Arjuna? So so lah... Konon karena dia kecewa harus "membagi" Drupadi dengan saudara-saudaranya, maka ia mengalihkan cinta terbesarnya kepada Subhadra. Istri keempat yang berstatus sebagai adik Khrisna, dan memberinya seorang putra dan cucu yang akan meneruskan tahta Hastinapura.



Khrisna akhirnya menenangkan dan menengahi mereka. Meminta Pandawa agar berhenti menyesali Drupadi. Khrisna tahu mengapa Drupadi tertarik kepada Karna, tapi ia merahasiakannya dari Pandawa. Khrisna pun, seperti biasa, tersenyum misterius. Rencananya untuk meruntuhkan kesombongan Drupadi telah berhasil. Mission's complete. 

Maka dengan demikian, cerita ini pun menjadi complete. Selesai.

(Jempol pegeeelll. Lihat jam dinding ternyata sudah lewat jadwal ngobrak-ngabrik dapur untuk dinner nanti... Haddeeuuww... *gubrakk*)


Pondok Gede - 20082014

*) Diceritakan kembali, dengan sumber dari tayangan Mahabharata versi Starplus, berbagai artikel di page Mahabharata dan buku "The Queens of Mahabharata" oleh Kavita A. Sharma.