Rabu, 21 Maret 2012

Pemimpin yang Mengeluh



 

Sunardi Rinakit, seorang peneliti dari SSS, dalam tulisannya di Kompas mengatakan ; Untuk urusan berkeluhkesah ini, saya hormat kepada Sultan HB X. Beban berat apapun yang dipikul, ia tidak pernah terdengar mengeluh. Ketika hal itu saya tanyakan tiga tahun lalu, jawaban Sultan sederhana saja, "Kalau saya mengeluh, rakyat mengeluh ke siapa? Rakyat butuh rasa tentram dan pemimpin harus menjadi sandarannya."

Betul itu! Pada hakekatnya seorang pemimpin adalah orang yang menjadi panutan dan sandaran bagi orang yang dipimpinnya. Apabila pemimpin mengeluh dan pesimis, bisa jadi akan menyurutkan semangat dan optimisme 'kawula' nya. Seyogyanya seorang pemimpin adalah tempat kawula mengadu dan berkeluhkesah (bukan sebaliknya.....).

Kadangkala pemimpin seyogyanya mengambil alih tanggungjawab yang tidak bisa dipikul oleh kawulanya, bukan mengorbankan bawahannya untuk keselamatan dan keuntungannya......Itu tadi seyogyanya, idealnya. Sayangnya di negeri nan gemah ripah loh jinawi ini, justru banyak pemimpin yang menggunakan kawulanya sebagai batu-batu pijakan untuk menggapai ambisinya....bukan merangkul dan mendukung kawulanya...

Tidakkah mereka ingat, bahwa sekecil apapun skala mereka sebagai pemimpin, akan diminta pertanggungan jawabnya di akhirat kelak????


*) Sungguh mengherankan dan menggemaskan, seorang Pemimpin negeri "besar" berkali-kali mengeluh jiwanya terancam menjadi target pembunuhan, target kudeta....... Bukankah itu salah satu dari sekian banyak resiko yang harus dihadapi oleh seorang Pemimpin?  Well, ternyata di negeri ini sudah tak ada "pemimpin" dalam arti sebenarnya. Yang ada hanya sekedar "pejabat".......



Pondok Gede - 26012011 & 21032012

Senin, 19 Maret 2012

Langit Menanti Awan


Langit bercengkerama dengan bayang-bayang.....

Senja kala, mentari telah jingga warnanya. Berada digaris cakrawala, berbatas Awan abu-abu tua, seperti jajaran kain-kain perca. Udara senja ini sejuk. Angin berjalan tak tergesa, ia berlalu lambat. Tapi tak urung kelebatnya mampu menggoyangkan ujung mahkota Langit yang terurai tanpa kait.

Langit diam menatap mentari yang seperti bola api dengan besar tak terperi. Matanya sayu seperti kerlip bintang yang terlambat sembunyi dipagi hari. Sebenarnya ia disini bukan tanpa arti. Ia tengah menanti sebuah hati yang telah berbilang purnama  setia menemani. Tapi dimana hati itu kini?

Dulu, hati itu Awan  yang punya. Sebuah jiwa yang telah mengisi kalbunya, dengan aneka rona warna. Langit percaya saja. Walau beribu depa jarak mustahil akan mengecil. Ia percaya, bahkan ketika dua raga mereka tak kunjung bersua. Ia percaya, bahwa Awan akan selalu ada untuknya kapan saja. Bak bayang-bayang yang bersitumpu dekat padanya. Langit punya asa, Awan akan begitu sepanjang masa.

 
Langit berduka dengan bayang-bayang.....

Dewa malam. Senja kala telah menepi pasti, ketika mentari benar-benar telah kembali. Malam senyap, bintang lenyap, bulan menyelinap. Dan jagad jiwa Langit beranjak gelap. Dalam gulita Langit menatap angkasa, mencari kalau saja Awan ada disana. Bawakan ia seribu warna pemberi bahagia. Seperti dulu kala.

Langit menunggu Awan. Dengan jiwanya yang pilu berkalang sendu. Pernah suatu waktu dulu, Langit begitu rindu dan Awan pun begitu. Tak bosan Awan menyambangi Langit diketinggian angkasa. Langit pun gembira menerima hadirnya. Mereka punya rasa yang sama, cerita yang tak beda dan begitu mudah tawa  menggema. Hanya mereka berdua. Langit bahagia,  menggenggam asa sepanjang masa.

Awan ada dimana? Telah lama kutunggu dirimu dengan sapa pertama, Langit berkata. Tapi Awan tak jua menerima bahasa rasa yang ia kabarkan dengan desir tak bernama. Langit setia menunggu Awan. Dia ada disitu setiap waktu, dengan rona biru, kadang abu-abu. Biar hanya bayang-bayang yang singgah menyapa, cukuplah untuk selalu ada dijiwa penuh cinta. Langit mengerti, ia takkan bisa menahan  Awan dalam rengkuh selamanya. Karena Awan akan selalu berpencar dan berpendar seiring udara mayapada. Bahwa jauh adalah niscaya, yang ia sendiri tak ingin itu meraja.

Langit menunggu. Awan berlalu. Mungkin baginya singgah tak lagi perlu.

Pondok Gede - 19032012

Jumat, 16 Maret 2012

Suatu Siang di Sekolah

Pada suatu siang, hari tengah minggu, sang mentari bersinar terik meskipun hujan deras baru saja selesai lewat. Cuaca yang berubah drastis dan ekstrem, membuat suhu udara seperti roller coaster ;  sebentar sejuk, sebentar panas menggigit kulit. Halaman sekolah tempat aku berada masih menyisakan genangan air disana sini, meskipun pelataran sekolah ini sudah tertutup rapat oleh paving block. Tapi rupanya karena pemasangan yang tidak sempurna, pada beberapa titik paving block mengalami penurunan permukaan sehingga air hujan menggenang tak mengalir.

Aku duduk diam dibawah pokok bugenvil setinggi kira-kira dua setengah meter yang sedang tidak berbunga. Batangnya yang keras tampak berpilin menyangga daun-daun yang tumbuh lebat. Karenanya tempat teduh ini menjadi favorit ibu-ibu yang rutin mengantar dan menjemput buah hatinya menuntut ilmu. Kali ini aku enggan ikut mengobrol. Panas yang menggigit kulit ditambah rasa gerah menghambat keinginanku untuk menimpali obrolan ibu-ibu di kiri dan kananku. Alhasil, aku hanya mendengarkan suara mereka membicarakan berbagai hal.

"Baru setengah dua belas ya, Bu? Saya tadi buru-buru berangkat, sampai lupa angkat jemuran. Pasti basah kuyup tuh, cucian saya.....," suara seorang Ibu disebelah kiriku dengan nada sesal.
"Iya...saya tadi juga buru-buru. Belum selesai masak. Kata pak Satpam pagi tadi, guru-guru mau rapat, jadi mungkin pulangnya lebih cepat," sahut Ibu lainnya.
"Laahhh.... ini sudah setengah dua belas, belum ada tanda-tanda mau dipulangkan....," timpal yang lain, setengah menggerutu. "Tahu begini, saya nggak usah cepat-cepat kesini..."

Nah, siapa bilang ketepatan waktu hanya milik para pekerja kantoran? Ternyata para ibu rumahtangga pun butuh itu kan? Apalagi jika waktu itu menyangkut kesinambungan  ritme pekerjaan rumahtangga lainnya. Seorang Ibu didalam rumahnya bisa diibaratkan sebagai mesin produksi. Bila salah satu komponennya mengalami gangguan force majeure, bisa dipastikan akan terjadi malproduk..... Entah dalam bentuk masakan yang tak jadi atau baju seragam yang belum kering saat dibutuhkan. Aku tersenyum sendiri mendengar obrolan itu. Menertawakan diri sendiri dan memaklumi, karena aku juga seringkali mengalami hal seperti itu.

Matahari masih terik, sinarnya masih menggigit kulit. Pandanganku mengarah ke pintu gerbang sekolah. Seorang Ibu berjalan terseok-seok dengan menggendong anak lelakinya yang berumur sekitar tiga tahun. Aku sering melihat Ibu itu berjalan menggandeng anak lelakinya, dibuntuti dua orang anak perempuan berseragam usia kira-kira delapan dan sembilan tahun. Kadang ia menggendong anak lelakinya yang tertidur dengan posisi seperti saat ini. Tapi tampaknya baru kali inilah aku punya kesempatan untuk bertegur sapa dengannya, karena ia mengambil posisi duduk disebelah kananku.

Aku memberi senyum sambil memandangnya yang sedikit repot mengatur posisi duduk agar si kecil tetap nyaman dalam tidurnya.
"Ketiduran si kecil ya, Bu?"
"Iya... Sebenarnya dia agak demam. Tapi bagaimana lagi, dirumah tidak ada siapa-siapa, jadi terpaksa dibawa begini....," jawabnya sambil mengulas senyum. Kulihat bintik-bintik keringat bertebaran didahinya yang dinaungi kerudung warna kuning muda.
"Kakaknya kelas berapa, Bu?" Tanyaku. Pertanyaan klasik bila bertemu dengan ibu-ibu disekolah.
"Kelas tiga dan kelas empat..."
"Ooh, kalau anak saya kelas dua.....," kataku kemudian.
Akhirnya obrolan kami bersambung keseputar masalah sekolah. Tentang Bu Guru A yang galak dan membuat stress murid-muridnya, tentang komite sekolah dan sumbangan ini itu. Sampai kemasalah domestik rumahtangga, tak terkecuali tingkah laku Angga, Anggi dan Dimas, anak-anaknya.

"Ibu tinggal dimana, Bu?" Tanya Mama Angga. Seperti itulah hukum yang berlaku dilingkungan sekolah. Nama si Ibu tak pernah disebut, berganti dengan nama anaknya. Jika anaknya bernama Angga, maka si Ibu akan dipanggil Mama Angga. Kalau si Anak bernama Dina, ibunya dipanggil Mama Dina. Begitupun aku, disekolah aku dikenal dengan nama Mama Ariq.

Aku menjawab pertanyaannya dengan menyebutkan nama komplek tempat kami sekeluarga tinggal. Dan setelah itu aku baru tahu, bahwa Mama Angga tinggal di komplek perumahan baru yang berjarak sekitar limabelas kilometer dari sekolah. Setiap hari ia melakukan perjalanan antar jemput Angga dan Anggi dengan menggunakan jasa angkot. Tak heran jika dalam perjalanan, Dimas, si bungsunya selalu tertidur pulas. Paling tidak dalam sehari dia melakukan perjalanan dua kali pulang pergi. Belum lagi dia harus menyelesaikan sederet pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan pembantu.

Aku menghela nafas mendengar penuturan Mama Angga. Seperti itulah memang tipikal kami, para ibu rumah tangga yang memiliki anak-anak usia sekolah. Siapa bilang ibu rumah tangga adalah pekerjaan ecek-ecek yang bisa diselesaikan sambil lalu dengan mata terpejam. Salah sekali orang yang beranggapan demikian. Jam kerja seorang ibu rumah tangga bahkan mencapai 24 jam sehari. Seorang ibu rumah tangga adalah manajer operasional, manajer keuangan, humas, merangkap sebagai guru dirumah, koki, petugas antar jemput anak sekolah, tukang laundry...... Bahkan kadang-kadang juga bertindak sebagai satpam bagi anak-anaknya.... Terlebih dalam kondisi sekarang yang mulai sulit mencari tenaga asisten rumah tangga, karena para 'mbak-mbak' itu sekarang lebih memilih menjadi pekerja pabrik, penjaga counter, atau malah menjadi TKI dengan resiko mendapat majikan yang bengis dinegeri asing.

Tak terasa jam sekolah telah usai. Dua anak perempuan berseragam datang menghampiri Mama Angga yang segera berpamitan. Kupandangi sosoknya yang berjalan terseok-seok ditengah hari dengan menggendong Dimas yang masih pulas digendongannya, sementara Angga dan Anggi berjalan beriringan membuntuti. Matahari masih terik, sejuk dari hujan yang turun tadi sudah habis tak bersisa.

Dan aku berkata dalam hati ; Wahai anak-anak yang sudah terlahir kedunia, ketahuilah betapa merawat dan membesarkan kalian bukanlah hal yang mudah. Seorang ibu bahkan harus berjibaku melawan waktu, melawan lelah lahir batin, kadang harus mengorbankan kepentingannya sendiri untuk kalian.

"Bu.....,"  suara Ariq menyapa pendengaranku. Aku menoleh. Anakku memandangku dengan wajah memohon seperti biasanya jika meminta sesuatu.
"Sudah pulang, Ariq? Ada pe-er nggak?" Tanyaku sambil menduga-duga hari ini apa yang dimintanya.
"Ariq haus banget, Bu. Boleh beli minuman soda dingin, ya?"  Pinta anakku dengan wajah dipasang se-memelas mungkin.
"Ariq kan tadi Ibu bawain air putih? Minum itu saja ya...?" Kataku membujuk.
"Air putih nggak ada rasanya....Nggak enak..." Ariq mulai cemberut.
"Ariq kan masih batuk, jangan minum es dulu..."
"Nanti Ariq minta sama penjualnya, pakai es sedikit saja. Boleh ya, Buuuu....," wajahnya disetel memelas lagi.
"Tidak, Ariq...... Tidak ada minuman dingin apalagi minuman soda selama batuk Ariq belum sembuh," kataku tak mau luluh oleh wajah memelasnya.
"Aaaaa.......,"  sekarang ia merengek dan menghentakkan kaki.
"Tidak sekarang, sayang..... Ayo kita pulang. Ibu belum masak.....," kataku. Kali ini aku berperan sebagai satpam anak-anak. Dan setelah sampai di rumah nanti, aku akan segera bertukar peran menjadi koki.


Pondok Gede - 16032012







Kamis, 15 Maret 2012

Komunikasi yang Tidak Efektif


Ini adalah salah satu contoh komunikasi yang tidak efektif karena dilakukan dalam situasi dan kondisi yang tidak kondusif. Ditulis berdasarkan kejadian yang benar-benar terjadi.



Deskripsi
Lokasi : Di dalam mobil dalam perjalanan Yogya-Denpasar, di sekitar daerah Situbondo.
Waktu : Sekitar jam 14.00 WIB
Kondisi : Matahari sangat cerah, kelima personil yang terlibat belum makan siang (lapar).
Personil : Ayah, Ibu, Irvan, Ariel, Rifki




Rangkaian percakapan 
Ariel : "Rifki suka yangko?"
Rifki : "Yangko siapa sih?" (Kondisi bangun tidur dan belum 100% 'on')
Ariel : "Itu makanan, Rifkiii....!" (nada agak meninggi)
Rifki : "Chitato....???" (dengan wajah innocent dan masih belum 'on' juga)
Ariel : "Aaaahh....malas ah, ngomong sama Rifki!" (langsung bete)
Ayah : "Jangan malas, Ariel.....harus rajin..." (sambil menyetir, konsentrasi mau mendahului truk di depan)
Ibu & Irvan : ?????.....!!!!....????....!!!!!

Note :
Yangko : makanan kecil khas Yogyakarta
Chitato : merek dagang kripik kentang

Senin, 12 Maret 2012

D i a m


Aku akan diam
seperti pualam
disenja temaram
ada rupa
tapi tak berjiwa
bermata ia punya
tapi tak kenal rasa


Aku akan diam
walau perih jiwa
bukankah percuma
bila bicara
karena ternyata
aku tak istimewa
meski aku punya cinta


Pondok Gede - 12032012


Camar Itu


Burung camar itu,
cantik dengan putih bulunya,
anggun dengan bentang sayapnya. 
Ia lincah melayang lalu menyambar ikan.
Camar itu sahabat lautan. 
Karenanya ia tak bosan menyambangi samudera,
kala pagi datang dan senja menjelang. 
Ia setia selalu, 
meski suaranya tak bisa dibilang merdu

Tapi apakah dia pernah tahu, 
bahwa laut selalu merindukan kepak sayapnya.
Tahukah camar itu, 
setiap saat laut membaca kenangan, 
ketika camar terbang merendah 
 ujung sayap dan paruh hampir menyentuh riaknya? 
Laut biru masih bergolak,
sesekali membuang ombak.
Bahkan ketika angin tenang 
dan purnama tak datang mengundang.


Pondok Gede - 12032012

Sabtu, 10 Maret 2012

Kepak Sayapmu


 
Segala sesuatu tentangmu, indah untuk dikenang. 
Tapi sekaligus menyakitkan. 
Ketika aku sadar tak mungkin mengharap itu akan terulang. 
Aku hanya bisa meniti kata demi kata yang pernah kurangkai, 
dengan sepenuh hati tentang kita. 
Aku menitinya dengan rasa indah tapi perih, 
beriring airmata. 
Betapa kata ternyata sekedar deretan aksara, 
yang hanya bisa dikenang dan tak bisa diulang kejadiannya.

Aku tahu, 

aku tak pernah mampu sepenuhnya, 
menggenggam rasa dan hatimu. 
Maka begitu mudah ia lepas meluncur dari  celah jemari. 
Yang kupikir telah cukup rapat menampungnya, 
dengan segenap  rindu dan cinta yang aku punya

Sekali, dua dan tiga kali, dulu, 

aku pernah begitu yakin. 
Tapi saat  ingin kuteguhkan kembali, 
kau telanjur mengepakkan sayap. 
Dan aku tak sanggup  menahanmu, 
untuk tetap tinggal di dunia kecil yang kita punya. 
Mungkin dunia kita memang terlalu sempit, 
untuk menampung bentang sayapmu......


Pondok Gede - 14022012

Jumat, 09 Maret 2012

Kehilangan dan Kenangan




http://www.bursalagu.com/download-mp3/NHNoYXJlZC5jb20.-eXEwZ3FlR2QvRHJpdmVfLV9CZXJzYW1hX0JpbnRhbmc.-drive_,_bersama_bintang.mp3.html


Kalimat-kalimat itu masih terbuka. Sunyi tahu itu sudah terbaca, dan semestinya dalam kondisi biasa saat ini sudah ada sederet aksara yang menjawabnya. Tapi tidak. Hingga detik ini, masih seperti semula. Terbuka tanpa jawab, meskipun beratus kali dalam sehari ia membuka dan membaca lagi. Dan sejak saat itulah, Sunyi memiliki rasa itu ; Kehilangan.

Sesungguhnya Sunyi benci menuliskan perasaannya saat ini dan ingin melupakan semua. Mengapa? Karena kehilangan, adalah rasa yang mengerikan. Menyatakan yang semula ada tapi berikutnya menjadi tak ada. Jika sebelumnya ada sesuatu berharga yang terasa dalam genggamannya, tapi dalam sekejab genggaman itu kosong menyisakan ruang kecil hampa udara disela jemari. Seperti bulan yang semula bulat terang benderang menerangi kelam malam, serta merta menghilang karena awan hitam menghalangi pancaran sinarnya.

Sunyi terpaku dalam diamnya. Menekuri huruf-huruf terjajar rapi yang entah sudah beratus kali dilihatnya, sekedar menanti suatu keajaiban. Ya, ia berharap tiba-tiba saja muncul deretan aksara baru yang menjawab penantiannya selama ini. Tapi tidak. Huruf-huruf itu beku tak menghasilkan apapun. Membuat Sunyi bertanya dalam hati, akan seterusnyakah begini? Tak terasa setetes air bening meluncur dari sudut matanya, memberikan rasa dingin yang membelah pipinya.

Sunyi mengangkat wajah menatap langit. Tak ada warna cerah biru yang ia suka, karena yang ada dalam pandangannya hanya awan putih separuh abu-abu yang menghalangi langit biru.Warna abu-abu itu seakan sepakat dengan rona hatinya saat ini. Dan perempuan berwajah duka itu menebah dada, terasa masih ada sakit yang menyengat. Ia ingin segera melupakan, tapi entah kapan bisa.

Dalam beberapa waktu terakhir, Sunyi mengalami sekian kali kecewa. Yang pertama, ketika ia menemukan kenyataan bahwa rasa percaya yang ia miliki ternyata tak selengkap yang diharap. Ia merasa rasa percayanya telah cedera. Membuatnya ternganga tak menyangka, sehingga ia tak tahu apakah ia harus marah atau menangis. Atau menangis dan marah dalam waktu bersamaan. Sunyi merasa harus menelan pahit karena ketidaksempurnaan yang ia temui, membuat kerongkongannya sakit karena menahan marah dan tangis. Lalu yang kedua, saat ia mengharapkan kata dan kalimat penjelas yang mungkin bisa memperluas wacana dan meredakan kecewanya. Tapi jajaran aksara tak pernah muncul menemuinya, membuatnya putus asa dan memunculkan rasa yang ia benci itu.

Andai ia beroleh sedikit saja kata yang bisa membuatnya mengerti mengapa ketidaksempurnaan itu terjadi. Mungkin ia bisa menyilih luka hatinya dengan sebesar mungkin pemahaman, dan ia tak perlu merasakan ini. Tapi itulah...... Ternyata Sunyi hanya mengharap sesuatu yang kosong. Seseorang yang diharapkan tak pernah memberinya sederet kata tentang pengertian. Seseorang itu, ternyata lebih diam dan lebih bisu dari yang diperkirakannya.

Sunyi akhirnya menyusut bening yang mengalir dipipinya ; "Biarlah aku tinggal disini. Menanti setiap huruf dan kata yang hadir, berharap ada sedikit yang tercecer untukku. Meskipun sakit, aku akan menunggu sambil mengenang adamu dan hadirmu. Kunikmati kenangan tentangmu, walau untuk itu aku harus menggigil menahan perih yang  mengiris rasaku."  Dan Sunyi seketika menyadari, bahwa ternyata ada satu lagi yang jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namanya kenangan.


Pondok Gede - 09032012