Jumat, 16 November 2012

Intrapersonal

 
Dalam beberapa hari ini media nusantara disemarakkan dengan berita tentang seorang artis senior. Artis itu, yang meng-klaim dirinya memiliki banyak penggemar, rupanya mengajukan dirinya menjadi petinggi negara RI. Terang saja, ke'pede'an Bapak ini mengundang berbagai komentar dari publik. Baik komentar yang simpatik, mendukung, maupun yang "menghibur" karena bermuatan canda.

Bagaimana tidak? Disaat publik masih terpesona dengan kemunculan "duo media darling" di pilkada ibukota, tiba-tiba artis senior ini menyeruak dengan yakin. Padahal dalam hajatan pilkada ibukota yang lalu, beliau sempat dinobatkan menjadi tokoh antagonis 'penganiaya'  tokoh protagonis yang disandang oleh 'duo media darling' tadi.

Membaca sedemikian banyak komentar dan celetukan mengenai artis senior ini, aku jadi ingat kata-kata Bapakku sekian waktu yang lalu. Menurut Bapakku, ada 4 jenis orang dilihat dari kemampuan intrapersonal-nya ;

Pertama ; orang yang tahu bahwa dirinya bisa. Dalam bahasa gaul disebut "pede".

Kedua ; orang yang tahu bahwa dirinya tidak bisa. Orang menyebut ini dengan istilah "sadar diri" atau "tahu diri".

Ketiga ; orang yang tidak tahu bahwa dirinya bisa. Kalau yang ini, bahasa populernya adalah "nggak pede" atau "minder".

Keempat ; orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak bisa. Ini parah, karena orang sering menyebut kondisi ini dengan kalimat "lo nggak punya kaca ya?" Hiks....

Ngomong-ngomong, kalau dibawa kedalam empat kategori ini, artis senior itu masuk ke kategori yang mana ya....? (Jangan salah sangka, ini benar-benar bertanya....).


Pondok Gede - 16112012

Kamis, 15 November 2012

Sihir Kata Sanie B.Kuncoro


Buku setebal dua sentimeter, bergambar sampul awan, burung berbulu merah biru coklat dan rumpun bunga ini kutimang-timang.*) Kadang kubuka lagi halamannya secara acak, kubaca beberapa paragrafnya, dan mataku terasa panas lagi.

Entah apa yang sedang dirasakan oleh Sanie B.Kuncoro ketika menulis novel dengan judul "Memilikimu" ini. Sungguh, karya penulis asal Solo sanggup mengaduk-aduk perasaanku. Seperti menyihir dan memaksaku untuk berkali-kali menghapus airmata sepanjang membaca novel ini. Bukan sekali! Bahkan ketika untuk kedua kalinya aku mengulang membacanya, aku masih "mbrebes mili" mengikuti alur kata-kata dalam cerita yang mengharu biru.

Bicara soal isi cerita, sebenarnya tidaklah berbeda dengan beberapa novel lainnya. Inti cerita adalah tentang cinta dan pengkhianatan, meskipun pengkhianatan dalam cerita ini bukanlah sesuatu yang sangat "hitam". Melainkan untuk suatu alasan yang bisa dipahami dengan perasaan, bukan dengan logika.

Garis cerita seperti itu dituturkan dengan cara yang sangat halus oleh mbak Sanie. (Mungkinkah karena dia seorang perempuan dan bersinggungan dengan kota Solo yang dikenal dengan kehalusan tuturnya?). Kelembutan kata dalam novel ini, bagiku sangat menghanyutkan. Kadang menimbulkan rasa mencekam, mengiris hati, dan akhirnya mendesak hingga mengalirkan air mata. Seakan aku benar-benar bisa merasakan kesakitan hati Samara yang dikhianati oleh suaminya. Aku bisa larut dalam ambigu Anom ; antara keinginan hati dan menjaga janjinya pada Samara.

Cobalah simak penuturan mbak Sanie ketika menggambarkan Samara  meng-ikhlaskan Anom pergi untuk selamanya: "..... Jauh di dalam benak Samara tak hendak melepaskan Anom, tapi ada kesadaran bahwa sesungguhnya dia tak lagi memiliki laki-laki itu sepenuhnya. Pengkhianatan itu telah merenggut Anom darinya. Aku tidak tahu siapa diantara kami yang membuatmu bertahan, gumam Samara kemudian. Tapi, yang terutama adalah dirimu. Bila luka ini justru menyiksamu, maka lepaskanlah kami. Teruskanlah perjalananmu..... " (halaman 182-183).

Terlalu panjang untuk dikutip. Chapter "Doa Terakhir" halaman 199-202 juga membuat mata cengengku ini kian deras mengalirkan air. Bagian ini adalah ketika Anom meminta maaf kepada Samara atas pengkhianatannya dan memohon agar Samara sudi menerima kehadiran anaknya.

Juga pada akhir cerita, saat Samara hampir kehilangan Magenta : ".... Barangkali tidak bisa kulupakan pengkhianatan ayahmu kepadaku, tapi aku bisa memaafkan. Demi dirimu akan kumaafkan pengkhianatan itu dengan ikhlas, dan keikhlasan yang sama akan kuajarkan padamu suatu hari nanti sehingga dengan itu akan kau maafkan ayahmu, ibu yang melahirkanmu dan aku yang pernah mengingkarimu..." (halaman 280).

Dari banyak novel-novel yang pernah kubaca, ada tiga judul yang membuatku selalu ingat, bahwa aku pernah menangis membacanya. Adalah novel sastra "Hilanglah si Anak Hilang" karya Nasjah Djamin yang kubaca saat aku duduk di SMA. Lalu "Dalam Lindungan Ka'bah" karya tokoh besar Buya Hamka. Dan baru-baru ini "Memilikimu" karya Sanie B.Kuncoro.

Bila rasa sudah tersentuh, itulah yang terjadi. Tak peduli aku disebut cengeng, alay atau lebay... Rasa dan hati orang per orang tak pernah bisa sama, bukan?


Pondok Gede - 14112012

*) Novel "Memilikimu" karya Sanie B.Kuncoro, diterbitkan oleh GagasMedia, 2011.

Selasa, 13 November 2012

Biografi "Gelap"


Bicara mengenai biografi, biasanya aku akan langsung membayangkan sebuah buku setebal minimal dua sentimeter, dengan tampilan mewah dan sampul depan bergambar foto lelaki atau perempuan dengan senyum termanis yang dia punya.

Sementara menurut wikipedia, yang disebut  Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang. Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekedar daftar tanggal lahir atau mati dan data-data pekerjaan seseorang, biografi juga bercerita tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut. Dalam biografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya, dan segala hal yang dihasilkan atau dilakukan oleh seorang tokoh dijelaskan juga.

Dan sesuai dengan terminologinya, biografi pastinya akan bercerita tentang sejarah hidup si tokoh yang diceritakan, dari kecil (kalau perlu dari saat kelahirannya) hingga si tokoh beranjak menua dan kadang sampai saat meninggalnya. Tak lupa kisah hidup yang heroik pasti akan menjadi inti dari buku tebal nan mewah itu.
Dari biografi pula, setidaknya kita tahu bagaimana perjalanan hidup seseorang. Dengan harapan pengalaman hidup si tokoh itu akan meng-inspirasi langkah kita dalam mengarungi kehidupan.

Tapi kemudian terpikir olehku ; mengapa sepanjang yang kutemui, biografi yang beredar hampir selalu diisi dengan keberhasilan, kesuksesan dan pengalaman hidup yang 'baik-baik' dan berasal dari orang-orang yang dikenal 'baik'? Bukankah kita perlu juga memahami (misalnya) : mengapa Adolf Hitler menjadi seorang rasis, mengapa seorang Imam Samudra memilih jalan menjadi  pembuat bom dan teroris, mengapa seorang yang dimasa mahasiswa dikenal sebagai aktivis dan idealis bisa menjadi koruptor kelas kakap ketika memiliki jabatan?

Membaca biografi orang-orang sejenis Hitler, Imam Samudra atau seorang koruptor kelas kakap, kupikir tidak ada salahnya. Bagaimana kita bisa menyebut sesuatu adalah 'baik' jika tidak ada pembanding yang disebut 'buruk'? Setidaknya, dari biografi 'mereka yang dianggap mewakili sisi gelap manusia' itu kita bisa memagari diri dan lingkungan agar tidak menjadi seperti mereka. Kecuali jika kita memang ingin berbuat seperti orang-orang dari sisi 'gelap' itu. Semoga itu tidak terjadi.


Pondok Gede - 13112012

Jumat, 09 November 2012

Saat Pembeli Bukan Raja



Pernah dengar slogan  "Pembeli adalah Raja"? Aku yakin, bagi mereka yang berada di lingkungan bisnis, slogan ini wajib dihayati dan dijalankan. Tapi bisa jadi juga ini adalah pandangan lama yang sudah kuno dan basi. Kenapa? Karena dari berbagai laman yang ada dunia maya, aku banyak menemukan tulisan-tulisan yang menolak paradigma lama itu. Para penulis pembaharu itu lalu memperkenalkan paradigma baru yaitu "kesetaraan pembeli dan penjual". Mereka berkeberatan jika pembeli ditempatkan di posisi lebih tinggi daripada penjual.

Baiklah. Aku tidak membicarakan pertentangan paradigma lama dan baru tentang pembeli-penjual. Aku hanya ingin mengisahkan pengalamanku sebagai pembeli (= pengguna jasa) salah satu laundry.

Gerai laundry yang kumaksud ini terletak di jalan utama di lingkungan tempat tinggalku. Dengan lokasi yang mudah dilihat dan dijangkau, tak heran banyak yang menggunakan jasanya. Sebenarnya pun aku baru empat kali menggunakan jasa laundry ini, karena gerai laundry lain yang biasa kugunakan tutup untuk sementara.

Kali pertama, dijanjikan selesai dalam waktu 3 hari. Ketika hari yang ditentukan tiba, mereka bilang "belum selesai" tanpa permintaan maaf. Okelah, saat itu aku maklum, karena memang masih dalam suasana lebaran dan sebagian pekerjanya belum kembali dari mudik.

Kali kedua. Mereka menjanjikan waktu 3 hari (mungkin itu memang standar layanan mereka). Sengaja aku mengambilnya pada hari keempat, dengan pemikiran "siapa tahu mereka tidak bisa memenuhi deadline pada hari ketiga". Benar saja, ketika aku sampai disana, order belum diselesaikan. Alasan mereka, karena order sedang banyak. Walaupun mereka tidak meminta maaf dan sedikit kecewa dengan pelayanan yang diberikan, aku masih memaklumi.

Kali ketiga. Masih dengan pemakluman penuh, aku kembali menggunakan jasa mereka dengan harapan kali ini mereka bisa tepat waktu. Aku datang pada hari keempat, lewat sehari dari yang mereka janjikan. Ternyata sama dengan sebelumnya, orderku belum diselesaikan. Kali ini aku mulai jengkel (untunglah pada kesempatan ini mereka meminta maaf). Tapi herannya, kenapa aku dengan bodohnha masih mau balik lagi kesitu untuk order yang keempat kalinya?

Kali keempat. Dengan pengharapan bahwa mereka akan memperbaiki layanannya, aku kembali memakai jasa mereka dengan janji akan selesai dalam waktu 3 hari. Seperti biasa, aku datang dihari keempat. Ternyata seperti yang kemarin-kemarin, kedatanganku disambut dengan jawaban "belum selesai".

Untuk kali keempat ini, kekecewaanku sudah memuncak sampai ubun-ubun, ditimpali lagi dengan perasaan jengkel karena berulangkali mendapatkan layanan seperti ini. Apalagi mengingat bahwa pakaian akan dipakai esok hari. Dan inilah dialogku dengan salah satu pekerja di outlet laundry itu.

(+) Mbak, padahal ini sudah saya lebihkan sehari lho. Janjinya kan selesai hari Kamis kemarin."

(-) Ini lagi banyak banget ordernya, Bu. Yang janji hari Selasa aja belum selesai. (Tanpa wajah menyesal, apalagi permintaan maaf)

(+) Mbak, kalau memang nggak bisa selesai dalam 3 hari, kenapa diawal nggak disebutkan saja 'selesai dalam 5 hari'. Jadi pelanggan nggak kecewa. Saya sudah tiga kali lho, mengalami seperti ini disini... (Aku mulai mangkel melihat si Mbak itu menjawab seolah hal ini wajar-wajar saja).

(-) Iya, bu. Ini memang ordernya lagi banyak. Tenaga pekerja tambahan baru akan datang besok... Bla...bla...bla... (Jadi aku harus maklum terus nih...?! Pikirku jengkel)

(+) Jadi kapan order saya bisa selesai, mbak? (Aku bertanya sambil menyabarkan diri)

(-) Besok ya, bu.  (Si Mbak menjawab cuek sambil terus mengerjakan pekerjaannya).

(-) Aduuhh... Mbak ini janjinya kenapa meleset terus?  (Aku mulai bete)

(+) Yaa...kalau disini sih, orang sudah biasa, Bu. Mereka sabar aja. Kalau sudah nggak sabar biasanya mereka nggak datang lagi. (Whaaatt...??!!! Beginikah cara mereka berbisnis? Tidak me-maintenance pelanggan??)

(+) Nanti sore bisa nggak? Baju itu mau dipakai besok.... (Darahku mulai mengalir ke kepala)

(-) Nggak bisa, bu. Kita lagi kekurangan tenaga nih... Soalnya...bla...bla...bla.... (Aku berteriak dalam hati : Heiiiii...!!! Aku ini customer, masa harus ikut mikirin kendala-kendala yang kalian hadapi??! .... Arrgghhh.....@?!!!#&*$*+@##)

Mungkinkah si Mbak pekerja laundry itu juga membaca tulisan-tulisan tentang perubahan paradigma dari 'pembeli adalah raja'  menjadi  'kesetaraan pembeli-penjual', hingga ia bisa bersikap seperti itu pada pelanggan? Entahlah. Yang pasti, ini adalah terakhir kali aku menggunakan jasanya. Lain kali aku akan cari gerai laundry yang tepat waktu dan tulus meminta maaf jika tidak bisa menepati janji.


Pondok Gede - 09112012

MENJADI BENAR


 
Aku dan sahabatku. Pada suatu waktu ditengah hujan yang tak terlalu deras, berada disebuah tempat. Kami duduk berseberangan. Dia dengan cangkir kopi dihadapannya, dan aku menghadapi semangkuk wedang ronde, yang masih kutunggu agar panasnya sedikit menguap.

Kami masih bicara tentang apa saja sekedar menunggu hujan reda, ketika ponsel sahabatku tiba-tiba membunyikan nada pesan masuk. Sahabatku menjangkau benda segiempat itu dari sisi cangkir kopi. Memencet salah satu tombol, lalu matanya terpaku pada layar kecil ditelapak tangannya. Sesekali alisnya terangkat bergantian dengan dahinya yang berkerut. Masalah serius tampaknya. Beberapa saat kemudian jarinya memencet keypad gadgetnya, membuat pesan balasan.

"Roby,"  katanya setelah menutup kembali gadgetnya, sambil menyebut nama salah seorang teman yang juga kukenal.
"Kenapa dengan Roby?" tanyaku
"Dia curhat," katanya lagi.

Aku baru ingat kemudian bahwa sahabatku ini adalah seorang pendengar yang baik. (Tak banyak orang yang mau dan mampu mendengarkan orang lain kan? Sebagian besar orang malah lebih senang bicara daripada mendengarkan). Karena itu banyak teman-teman yang mencarinya ketika membutuhkan seseorang untuk curhat. Termasuk aku dan Roby.

Tanpa kutanya lebih lanjut, sahabatku lalu bercerita betapa sulitnya "menjadi benar" di tengah iklim sosial yang sebagian besar tidak benar. Ia memberi contoh dengan kondisi "sosial politik" di tempatnya bekerja, yang berarti juga tempat  bekerja Roby.
Ia katakan bahwa seorang yang berusaha menjadi benar, seringkali malah dianggap melawan arus. Tak jarang dipandang aneh atau menghambat suatu proses. Dan ternyata itu yang sekarang tengah dialami oleh Roby.

Disaat ingin mendudukkan sesuatu pada rel dan koridornya, Roby malah dianggap menghambat prosedur, tidak fleksibel, kaku... Akibat lanjutnya, sebagai orang yang duduk di level middle management, Roby sering di "fait accompli" dan tak jarang diabaikan dari proses kerja. Itu yang membuat Roby tadi curhat kepada sahabatku itu.

"Menjadi benar, itu sulit ya...?" Tanyaku kemudian setelah ia selesai bercerita.
"Itulah... Jaman sekarang, di Republik ini kebenaran sudah terjungkir balik. Yang salah bisa menjadi benar, yang benar malah dianggap salah," sahabatku menanggapi kata-kataku.
"Lalu dengan kondisi semacam itu, apa yang kau lakukan?" Tanyaku. Aku tahu benar, sahabatku ini ber'mazhab' sama dengan Roby. Dia diam dengan pandangan jauh, sebelum menjawab pertanyaanku.
"Yah, aku akui, aku memang belum bisa berbuat banyak untuk mengubah kondisi yang sudah tersistem seperti sekarang. Kau tahu kan, dengan level yang kududuki sekarang, paling aku hanya bisa secara paksa menularkan 'mazhab'ku kepada beberapa orang yang ada di bawah supervisiku." Sahabatku mengambil jeda sebentar dan menghela nafas. "Atau di lingkungan rumahku, aku bisa menyuntikkan semangat moral kebenaran itu kepada anak-anak dan istriku," lanjutnya.
"Dengan kata lain, kau yakin, bila berada di posisi puncak, kau akan mampu merubah ketidakbenaran yang sudah tersistem itu?"
"Jika ada niat baik, tentunya akan diberi jalan dan kemudahan olehNya, kan?" Katanya lagi tanpa keraguan.
"Yakin?" Tanyaku lagi setengah meragukan. Tapi sungguh, aku kagum dengan keoptimisan dan keyakinannya.
"Kau pernah dengar tamsil yang ini?" Tanya sahabatku.
"Tamsil apa?" Aku penasaran.
"Bahwa ikan membusuk selalu dimulai dari kepalanya..."
"Haahh...??"  Aku terperangah.
"Makanya aku yakin, jika posisi puncak dipegang oleh ikan yang tidak berkepala busuk, sampai level bawah pun tidak ada yang berani berbuat busuk," Lanjut sahabatku kemudian.

Aku mengangguk-angguk membenarkan tamsil yang dikemukakan olehnya tadi. Dalam hati aku bertanya, sekarang di negeri ini ada berapa banyak ikan yang tidak berkepala busuk? Jangan-jangan hanya ada dua ; sahabatku dan Roby...?? Semoga tidak. Semoga masih banyak ikan sehat lainnya yang sedang berenang di kedalaman dan menunggu waktu yang tepat untuk berenang di permukaan...


Pondok Gede - 09112012