Minggu, 22 Mei 2016

Baby Blues

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10205047094570862&id=1647807330

Baby blues atau depresi pasca melahirkan, menurut penelitian, dialami oleh 80% perempuan yang baru saja bersalin.
Dan saya mungkin termasuk dalam 80% itu. Tiga kali melahirkan, tiga kali pula saya mengalami baby blues.

Masih terbayang ketika si Sulung belum genap 3 bulan dan waktu tidurnya belum teratur ; Malam sampai subuh dia melek, pagi sampai sore malah tidur. Saya begadang, menggendongnya semalaman.  Saat dia menangis, saya ikut menangis berurai airmata sambil menahan kantuk, karena tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk menenangkannya.
Kadang pula saya merasa betapa tidak mampunya saya menjadi seorang ibu sejati yang sempurna, karena ASI yang tidak melimpah sehingga si Sulung juga harus diberi tambahan sufor. Oh, lengkap  rasanya penyebab depresi saya.

Kelahiran si Tengah, tiga tahun berikutnya? Ah, jangan berpikir hal yang seharusnya terhadap perempuan yang baru melahirkan. Karena meskipun disebut "sudah berpengalaman melahirkan" pun tidak menghapus kemungkinan seorang ibu untuk tidak terkena baby blues.
Saya masih ingat hari itu. Suatu siang, adikku tersayang menyambangi saya di rumah, menengok keponakannya yang baru lahir. Sekian waktu setelah mengobrol ini itu, tiba saatnya dia berpamitan, saya merasakan kesedihan luar biasa yang saya tidak tahu sebabnya apa. Pokoknya, saya hanya ingin menangis sekerasnya dan sekejer-kejernya. Begitulah. Saya mengantarnya ke pintu pagar dengan airmata meleleh dipipi. Dan setelah dia menjauh, saya pun menangis tersedu-sedu sendirian. Apa sebabnya? Sampai sekarang saya tidak tahu.

Melahirkan untuk ketiga kalinya, dua tahun kemudian pun ternyata tidak membuat saya menjadi tahan banting dan anti cengeng.
Hadirnya kembali seorang bayi yang sangat tergantung pada saya, membuat saya merasa lelah. Setiap kali menghadapi si Bungsu yang sedang rewel, saya merasa betapa lelahnya saya. Betapa jauhnya waktu yang harus saya jalani untuk kelelahan ini. Saya pun kembali menjadi cengeng, sering menangis. Dan lebih gawat lagi, saya menjadi pemarah. Padahal dibanding kedua kakaknya, si Bungsu ini tergolong bayi yang manis dan relatif jarang rewel.

Barangkali seorang teman kantor (waktu itu saya masih bekerja dan dalam masa cuti melahirkan), mbak Darni Nani, masih ingat ketika saya menelponnya sambil menangis tersedu-sedu pada suatu siang. Saya pun tidak tahu apa yang harus saya katakan kepadanya waktu itu, selain hanya ingin menangis saja. Hingga dia  pun agak kebingungan menanggapi.
Saya ingat, waktu itu dia bertanya, “Mbak, kenapa mbak? Baby nya nggak apa-apa kan? Sehat kan?”
Saya hanya menjawab sekenanya, “Nggak apa-apa, mbak Nani…”
“Lha, terus kenapa mbak?”
“Nggak tahu… Pingin nangis aja…,” jawab saya sambil melanjutkan sedu sedan.
Tapi herannya, setelah menangis dan “memberitahukan tangisan” saya kepada orang lain, saya merasa lega.

Inti ceritanya ; Saya hanya ingin mengingatkan. Jangan biarkan seorang “ibu baru” menjalani hari-harinya sendirian. Temani, bantu… atau setidaknya dengarkan keluhannya. Jangan hadapkan dia dengan sederet aturan dan nasehat tentang ibu dan bayi yang ideal. Jangan hujani dia dengan kata-kata “harus begini harus begitu” karena itu akan membebani perasaan dan pikirannya. Manjakanlah dia untuk beberapa waktu sampai hilang lelah dan letih fisik dan mentalnya, setelah menjalani 9 bulan 10 hari kehamilan dan persalinan yang penuh perjuangan.
Hanya beberapa waktu… Dan selebihnya dia akan menjadi seorang ibu yang menemani dan menopang hari-hari dalam keluarganya hingga selesai usianya. Berapa tahun? Mungkin berpuluh tahun kemudian. Tidak banyak bukan, waktu yang dimintanya dibanding puluhan tahun yang akan diberikannya dimasa mendatang?

Pondok Gede - 07052016

Literasi Media

Saran saya, jangan mudah percaya, nge-like dan nge-share berita dari situs berita abal-abal... Salah-salah kita malah terjebak dalam bisnis e-hate ; Pemilik situs yang dapat duitnya, kita malah dapat pengurangan hitungan pahala... karena tanpa sadar turut menyebarkan berita kebencian, fitnah dan berita yang di-spin.

Ada yang bilang, media alternatif diperlukan, karena media mainstream, konon kabarnya sudah "dibeli" oleh penguasa... Tapi mbok iyao... jangan media alternatif macam begini yang diikuti dan dipercayai.

Jaman sudah bergerak makin cepat dan makin "terbuka". Informasi mengalir makin deras dari mana saja. Akses internet juga makin mudah. Seharusnya kemudahan seperti ini membuat kita makin rajin berwisata ke dunia informasi. Sehingga kita makin tercerahkan, makin bisa memiliki sedikit pengetahuan untuk membedakan dan membuat komparasi, melakukan check dan recheck, mana berita yang benar dan mana berita abal-abal yang disebar sekedar untuk cari duit.

Jamannya sudah berbeda. Duluuuu.... sebelum era reformasi, memang kita haus berita alternatif. Karena dulu yang boleh tampil di permukaan hanya berita yang bagus-bagus dan baik-baik saja. Melenceng dari pakem yang dibolehkan, siap-siap saja media itu dibredel... Atau pengelola media dijemput paksa. Yang paling pahit ya pulang tinggal nama.

IMHO, pada jaman pra reformasi, berita dari media alternatif memang berita yang bernas, karena penulis dan penyebarnya punya idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi".
Berbeda dengan sekarang. Segala bentuk dan jenis berita boleh tampil dimana saja. Dan idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi" pun sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Yang ada sekarang hanya fakta bahwa berita fitnah, berita hoax, berita hasil spin bisa mendatangkan uang. Begitu. Sederhana kan? Ujung-ujungnya hanya duit ternyata. 😐

Pondok Gede - 09042016

Sabtu, 02 April 2016

Hati Perempuan Sedalam Samudra

Suatu siang di sebuah kamar tidur ;

Istri       :   Iiihh... sesekali aku nggak ikut pergi kenapa sih?
*bersungut-sungut, membereskan tas yang akan dibawa pergi*

Suami  :    Kenapa?

Istri       :    Emang aku harus ya, ikut pergi?

Suami   :   Ya udaaah, nggak apa kalo nggak mau ikut. Aku sama anak-anak pergi berempat. Ibu dirumah aja...  
*wajah cool agak cuek*
*sambil tetap menyisir rambut di depan cermin*

Istri        :    Aaa... nggak segitunya juga kaliiiiii... Jadi aku nggak boleh ikut nih??!
*cemberut agak emosi*

Suami   :    Lhooo... katanya tadi nggak mau pergi..??     
*bingung*

Istri        :    Tapi aku kan udah dandan. Masa' nggak jadi pergiiii... ??     
*nada meninggi*

Suami    :    Oooo...
*melongo, lalu gigit-gigit sisir*

Ternyata hati perempuan sedalam samudra... Dan para lelaki harus menyelam jauh ke dasar laut agar benar-benar tahu apa yang dimaui para perempuan.

Tahu tidak, apa yang sebenarnya diharapkan oleh Istri? Dia hanya ingin Suami membujuk dan merayunya untuk ikut pergi. Karena Suami demikian "lurus"nya, maka Istri jadi kesal dan Suami pun bingung.

😊😀😁


Pondok Gede -  24012015

Jumat, 01 April 2016

Tak Ada Yang Abadi

Melihat foto ini jadi tersenyum sendiri. Hehehe... yang namanya Pemilu di negara tercinta ini duluuuuu... cukup diikuti oleh 3 partai. Irit kertas kan? Tidak seperti sekarang yang kertas pemilunya selebar koran dan perlu perjuangan khusus untuk mencoblosnya di bilik pemilu yang sempit tanpa terlihat dan diintip oleh tetangga sebelah... hihi.

Bedanya lagi, kalau pemilu sekarang melibatkan lembaga survei dengan bayaran yang maut, dulu semua itu tidak perlu (lagi-lagi irit toh?). Karena toh pada pemilu waktu itu, sejak awal sudah diketahui siapa yang bakal menang. Alhasil sudah pasti dua peserta pemilu lainnya hanya sekedar pelengkap 'penderita'.

Bicara tentang partai yang selalu menang dimasa lalu, dulu siapa yang berani mengira bahwa era itu suatu waktu akan berakhir?
Jadi ingat, duluuuuu... semasa penataran P4 dan sejenisnya masih marak dan dianggap sesuatu yang sakral, aku pernah mengalami kejadian "menegangkan" ;

Dalam forum diskusi sebuah penataran P4, seorang peserta dengan cueknya melemparkan pertanyaan yang 'menodai' kesakralan forum,
"Pak, kita kan tidak pernah tahu apa yang terjadi dimasa depan kan? Bagaimana pak, kalau ternyata nanti partai *sensor* ini tidak lagi berkuasa. Lalu apa yang akan terjadi, pak?" 

Serentak para peserta menolehkan kepala kearah peserta yang 'lancang' itu. Kami melihat wajah bapak penatar agak kaget dan terdiam sebelum menjawab dengan hati-hati (maklum dimasa itu, dindingpun punya telinga)... heuheu.
 "Kita harus yakin bahwa kita akan tetap begini. Oleh karena itu diperlukan peran dari setiap kita untuk menjaga agar .... bla....bla....bla...." 
Klasik.
Dan ternyata apa yang ditanyakan oleh seorang peserta yang nyleneh itu menjadi kenyataan di tahun 1998. Tak ada yang abadi.

Kenapa aku ingat insiden yang terjadi di tahun 90-an awal itu? Ya iyalah.... karena si peserta yang lancang bertanya itu sekarang adalah ayahnya anak-anakku... 😊

Bibit Unggul Tak Berlanjut

Pelajaran dari sejarah bangsa ; Jangan menyia-nyiakan bibit unggul dan talenta yang sudah dikaruniakan pada suatu bangsa.

Enam hingga tujuh dekade yang lalu, satu bangsa memiliki banyak bibit unggul. Anak-anak bangsanya tampil ke permukaan menjadi pemikir, politikus, negarawan, sastrawan, dan bentuk-bentuk keunggulan lainnya. Tapi sayang, beberapa dekade kemudian, bibit-bibit unggul tadi tak berlanjut, mata rantainya seperti terputus tak berbekas. Kemana rupanya generasi penerus bibit unggul tadi? Hanya beberapa saja yang mau dan mampu tampil melanjutkan keunggulan mereka. Selebihnya, banyak yang memilih menjalani profesi yang dengan cepat bisa mendatangkan materi ; pengusaha tanggung, artis, selebriti...
Kemana bibit unggul yang mereka miliki dulu? Bahkan sekarang bangsa sebelah yang sebelumnya tak pernah mereka perhitungkan lebih mampu tampil ke permukaan.

Pelajaran lainnya ; Jangan hanya cemburu kepada bangsa lain, dengan dalih bangsa lain punya keuntungan populasi, demografi dan politis.
Untuk bisa tampil menjadi yang terdepan bukan hanya bermodal keuntungan populasi, demografi, media dan politis. Perlu niat, kemauan, usaha dan kerja keras.

Kalau memang tak punya niat, bagaimana keunggulan bisa datang dengan sendirinya? Kalau alasannya karena populasi, mengapa tak memperbanyak jumlah keturunan (untuk sementara lupakan dulu program KB dan sejenisnya). Kalau karena demografi, bukankah bangsa ini terkenal dgn etos merantau? Kalau karena media, mengapa tidak membuat media yang sudah ada menjadi lebih me-nasional untuk memperkenalkan bibit-bibit unggulnya?
Kalau karena alasan politik, mengapa tak berusaha masuk ke area politik untuk mengubah nasib bangsa? Jangan-jangan hilangnya bibit unggul itu karena memang tidak ada niat untuk merawat  keunggulan mereka.

29102011

Pembalut Stres

Membaca berita di media mainstream yang marak sejak kemarin tentang pembalut khusus perempuan ;

IMHO, rasanya kok lembaga konsumen itu kurang bijak merilis hasil penelitiannya diwaktu sekarang. Hasil penelitian terhadap consumer goods yang sangat dekat dan sangat penting bagi kaum perempuan itu, tentu saja membuat resah.... Yang jika dibiarkan bisa menimbulkan stres dan depresi karena kekhawatiran dan ketakutan.

Bayangkan, disaat kaum perempuan di bulan-bulan belakangan sedang sibuk berpikir keras menghadapi tahun ajaran baru anak sekolah,  disusul dengan "hura hura konsumtif festival lebaran" .... dicampuri lagi dengan "kampanye" akan terjadinya kebangkrutan negara (mentang-mentang ada negara nun jauh disana yang bangkrut karena hutang), naiknya harga ayam, daging, telur, kelapa dan sejenisnya.... Ehh, tetiba pula harus mendengar berita tentang pembalut khusus wanita yang mengandung klorin dan berbahaya buat kesehatan... Dan celakanya, itu menyangkut merek-merek yang dikenal luas dan digunakan oleh banyak kaum wanita... Beuhh, lalu yang aman apa dong? Masak harus kembali ke cara jaman baheula yang merepotkan itu dan menghabiskan banyak air untuk mencucinya? Hellowww..... air bersih di jaman kekinian kan menjelang langka dan mahal yak?

Nahh, lembaga konsumen yang merilis hasil penelitian itu...Tidakkah mereka memikirkan dampak emosional kaum perempuan (terutama kaum ibu) ketika mendengar berita itu? Tidakkah mereka memperhitungkan kekhawatiran dan ketakutan yang diderita kaum perempuan atas dirinya? Terlebih ketika pembicaraan tentang bahaya benda ini dibarengi dengan "promo" merek tertentu yang diklaim aman (karena berbahan dasar dari alam), daaannn.... tentu saja berharga mahal? 😮😯
Tapi... eehh... jangan sampai setelah ada berita ini.... kaum perempuan terdorong untuk membuat solusi ekstrem dan jalan pintas dengan beramai-ramai mendatangi bidan atau dokter kandungan untuk meminta pil atau suntikan penunda haid.... Yang pada  gilirannya akan mempengaruhi hormon tertentu pada tubuh perempuan..... Iih, semoga tidak ada yang berpikiran demikian... ☺

Pondok Gede - 08072015

Bila Kelak Lanjut Usia

Selama ini, dalam pandanganku, Ibuku yang tahun ini akan berusia 73 tahun adalah seorang perempuan yang tegar. Lebih kuat dan tegar dibanding Bapakku, yang tahun ini akan menginjak usia 74 tahun, yang selama ini kupandang lebih emosional dan mudah mencucurkan airmata dibanding istrinya...
Tapi kemarin, melalui percakapan di telepon, aku sadar bahwa setegar-tegarnya seorang perempuan, Ibuku tetap membutuhkan seorang pelindung dan teman berbagi menghabiskan masa lanjut usianya. Dialah suaminya. Bapakku.

"Bapak sudah sepuh. Ibu juga. Kadang Ibu merasa trenyuh melihat Bapak. Kadang juga Ibu berpikir, kalau misalnya Bapak dipanggil olehNYA duluan... Apa Ibu bisa sendirian nantinya, ya?"

Aku mendengarkan kata-kata Ibu, dengan airmataku yang mengalir begitu saja tak tertahan. Lalu sambil menata suara agar tak terdengar bahwa aku menangis, aku menghibur Ibu. Kukatakan, "Bu, kan banyak orang bilang, istri itu lebih bisa dan lebih kuat jika ditinggal duluan, daripada seorang suami yang ditinggal istrinya..."
Ibuku menjawab, "Ah, ya nggak juga kali....  Ibu sudah bersama Bapakmu sejak 50 tahun yang lalu. Sekarang kemana-mana cuma berdua. Apalagi sejak Bapak dan Ibu pindah ke Yogya. Nggak kebayang kalau Ibu harus sendirian... Ah, tapi kan belum tentu juga ya... Siapa tahu malah Ibu yang pergi duluan...."

(Saat itu juga aku teringat cerita Ibu. Ketika suatu hari Ibu pergi sendiri untuk suatu keperluan. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Karena cemas kalau Ibu kehujanan, Bapak kemudian tergopoh-gopoh menjemput Ibu. Berjalan kaki hampir sejauh setengah kilometer sambil berpayung dan menenteng satu payung yang lain untuk Ibu).

Aku nggregel lagi mendengar kata-kata Ibuku... Kembali sadar bahwa Bapak dan Ibuku sekarang melewatkan masa lanjut usia hanya berdua, jauh dari anak dan cucunya. Bahwa Ibuku yang selama ini kupandang sebagai perempuan yang tegar, juga memiliki kegamangan jika suatu saat harus ditinggalkan oleh pasangan hidupnya. Satu hal yang mungkin akan juga terjadi pada diri kami kelak... Menjadi tua berdua saja adalah niscaya.

Pondok Gede - 12052015

Penerus Jabatan




Membaca berita politik di medsos akhir-akhir ini, mendadak saya merasa ada setitik harapan dalam hidup saya. Harapan untuk satu perubahan dalam keseharian saya yang berkutat dengan aneka kegiatan domestik. Ya, sudah hampir sepuluh tahun saya menjalani hidup seperti ini, sebagai ratu rumah.

Tapi seandainya fenomena dunia politik akhir-akhir ini bisa juga berlaku pada diri saya, pasti bakal menyenangkan sekali.
Bayangkan. Saya akan kembali menjadi wanita bekerja eight to five. Berangkat dari rumah dengan pakaian kerja modis, sepatu  hak sedang (karena saya tidak bisa pakai stiletto), tas tangan yang cantik, ditambah aksesoris khas perempuan pekerja metropolitan.
Apa lagi? Oh yaa… tiap pagi saya akan memasuki kantor disalah satu gedung jangkung di pusat Jakarta. Turun dari mobil, saya akan langsung disambut oleh hawa segar wangi dari pendingin udara… yang pasti beda aromanya dengan aroma asap di dapur saya. Seharian, pastinya, saya akan bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang rapi dan wangi, berbicara penuh ilmu dan inteligensi. Beda dengan pak sayur, pak sampah, atau mbak laundry yang saya temui setiap hari sekarang.

Aihh… harapan (atau khayalan) saya pun membuncah. Dan karenanya saya tidak tahan lagi untuk membaginya dengan orang tercintah saya pada suatu malam, saat dia tengah serius menatap layar gadget.

*Foto hasil dari Google search

“Hun…” (Menyentuh lengannya)
“Hmmm…” (Menoleh sedikit)
“Engg… mungkin nggak ya, nanti. Nantiii… setelah jij pensiun, kerjaan dan jabatan jij itu eike yang lanjutin?”
“Maksud jij?” (Menoleh lagi. Sedikit)
“Iyaa. Jij kan nanti pensiun. Terus eike yang gantiin... “
“Ah. Mana bisa begitu.”
“Bisa dong. Kan sebelum eike married dengan jij, eike pernah kerja juga di kantor jij. Eike kan terpaksa keluar kerja gegara married sama jij..!”
“Hmmm…?” (Mulai serius)
“Bisa kan?!”
“Mana ada jabatan bisa dilungsurkan gitu?”
“Ahh… tapi kok kalau gubernur bisa? Dia bakal mencalonkan istrinya jadi penggantinya?”
“Haahh?”
“Iyaa…. Belakangan malah pak mantan presiden naga-naganya bakal mengajukan istrinya jadi capres. Jij bisa toh, seperti itu?”
“Hmmm…” (Geleng-geleng kepala)
“Bisa kan? Tanda cinta jij ke eike… seperti pak gubernur dan pak mantan itu…”
“Ishh… jangan norak! Itu kemaruk namanya!”

Mendengar kalimat terakhirnya, saya pun terdiam. Percakapan berakhir, karena saya enggan disebut norak dan kemaruk.

Harapan dan khayalan saya pun punah.


Pondok Gede - 16032016

Kekuatan Yang Tersembunyi



*Foto hasil dari Google search


 “You never know how strong you are. Until being strong is only your choice”


Kalimat itu pernah saya baca disebuah foto yang lewat di beranda medsos saya. Saya suka kalimat itu. Karenanya saya ingat benar esensi yang dimaksud oleh penulis kalimat, yang sayangnya tidak disebutkan namanya dalam foto itu.



Selama ini, saya merasa bahwa saya bukan seorang yang “strong” atau “tough”, yang dalam pengertian saya berarti “tahan banting”.

Tapi semua menjadi berbeda. Ketika keadaan memaksa, ketika tak ada orang lain yang bisa dan pantas dimintai tolong, ternyata saya bisa menjelma menjadi seorang yang kuat. Setidaknya “kuat” dalam ukuran saya sendiri.



Tak terbayangkan. Saat tengah malam terbangun, saya harus melihat orang tercinta menekap hidung yang mengucurkan darah. Hal yang tak pernah saya alami sebelum ini, bahkan sebisa mungkin akan saya hindari untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri.



Tapi itulah yang harus saya hadapi saat itu.Menemaninya berdiri sekian menit di depan bak cuci… yang otomatis juga harus melihat darah yang menetes-netes jatuh menimpa bak cuci, sambil berkali-kali mengangsurkan kapas dan menarik berlembar-lembar tisu dari kotaknya.

Khawatir? Takut? Pasti. Ditambah lagi dengan bermacam pertanyaan yang simpang siur di kepala. Berbagai dugaan dan seribu kata “mungkin” yang berseliweran dipikiran. Juga seribu penepisan, lalu harapan bahwa semua akan berakhir. Semua akan baik-baik saja seperti semula. Seiring suara batin, “Ya Allah, mohon tolonglah suami saya. Ya Allah, hanya Engkau yang bisa menolong…”

Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan saat itu. Saya lupa bahwa sebelum itu saya adalah seorang yang mudah galau dan kadang meragu.



Entah dari mana saya mendapatkan ketenangan seperti itu. Padahal di rumah saya dijuluki “Mrs Panic” karena seringnya saya nervous menghadapi hal-hal yang terjadi di luar rencana dan kebiasaan. Tengah malam itu, hanya saya yang harus menolongnya. Tak mungkin berteriak dengan panik dan histeris, lalu membangunkan anak-anak untuk membersihkan tetesan-tetesan merah di lantai atau menjumput gumpalan darah yang tidak bisa melewati saringan pembuangan di bak cuci. Juga mengemasi kapas dan tisu bernoda darah yang hampir sekantong plastik penuh, kemudian mengucek kausnya yang terciprat noda merah darah. Sungguh tak terbayangkan saya bisa melakukan itu tanpa rasa jijik atau miris. Padahal dilain waktu, untuk melihat video operasi caesar yang berdarah-darah di medsos pun saya tidak sanggup.



Kekuatan yang tidak saya sangka bahwa saya punya, terasa lagi keesokan harinya. Itu ketika berada di ruang praktek dokter, saat darah kembali mengucur dari hidung orang yang saya cintai.

Haruskah saya ikut menangis melihat seseorang yang menjadi tumpuan selama ini menitikkan airmata menahan sakit manakala dua buah tampon disurukkan ke lubang hidungnya demi menghentikan pendarahan? Tidak mungkin. Jalan satu-satunya, saya harus lebih kuat daripada dia saat itu… Sampai setelahnya, terpikir oleh saya bahwa saat itu saya bagaikan makhluk tanpa perasaan. Saya ketika itu, bukan saya yang biasanya…



Itukah yang disebut inner strength? Seperti yang berkali-kali dia katakan saat memotivasi tiga jagoan kami? Bahwa seringkali kemampuan sejati manusia itu seperti fenomena gunung es di tengah laut. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan air, padahal ada bongkahan yang jauh lebih besar yang tersembunyi dan tak terlihat di bawah permukaan laut… Dan dalam keadaan terpojok dan terpaksa, sebagian orang  mampu mengeluarkan kemampuan sejatinya. Lalu setelah semua terjadi dan berlalu, orang pun baru menyadari bahwa “ternyata saya bisa”... “ternyata saya lebih kuat dari yang saya kira selama ini”. Inner strength.


Pondok Gede -  25022016