Senin, 24 Februari 2014

Saat Terpisah



Kepalaku sesekali menoleh ke belakang, berusaha mencarimu. Diantara ribuan manusia yang padat saling berhimpit seperti ini, mustinya kau akan lebih mudah terlihat karena posturmu yang bertinggi diatas rata-rata...Tapi mengapa tak kutemukan sosokmu? Sekian menit yang lalu aku masih melihatmu diarah kiri barisanku...

Di akhir prosesi pertama ini, kehilanganku kunyatakan kepada seorang yang kupikir bisa menjawab. "Mungkin memisahkan diri mengikuti rombongan lain. Nanti kita akan bertemu lagi diawal prosesi kedua," jawabnya. Dan aku sedikit terhibur, ada harapan aku akan bertemu dan bersamamu lagi.

Tapi... Ah, di ujung awal jalan aku tak juga melihatmu. Dimanakah engkau gerangan? Apa yang terjadi padamu? Ada banyak orang disekitarku, tapi aku merasa sendiri... Sendiri! Di alam yang jauh dari kebiasaanku selama ini. Lalu apa jadinya jika kau mengalami sesuatu yang tak seharusnya?

"Nanti ada saatnya kita akan benar-benar sendiri. Tak kenal orangtua, suami atau istri, anak-anak...." Suatu waktu dulu, kau pernah berkata begitu. Aku membenarkanmu kala itu. Bukankah begitu yang dijanjikanNYA? Tapi sekarang, saat ini, aku membenci, mengapa dulu kau berucap seperti itu. Sekarang aku ingin bersamamu menempuh jarak di tanah penuh rahmah. Bukankah perjalanan ini adalah impian kita berdua?

Prosesi selanjutnya kuikuti dengan hati berkecamuk. Bibirku membunyikan kata dan kalimat indah mulia... Tapi hatiku bertanya bertalu-talu : "Dimanakah engkau?"
Aku mengerti, tak selayaknya aku begitu saat berada di tanah yang paling dimuliakan ini... Dan kau pun pasti tak setuju dengan lakuku. Tapi, aku bermohon ampun kepada Pemilik Alam... Karena rasa kehilangan ini tak bisa kuhempaskan dengan mudah...

Sepanjang langkah prosesi kedua, masih kugenggam asa... Semoga aku bisa melihat dirimu. Mungkin, walaupun di jalan yang berbeda... Sekali langkah perjalanan, dua, tiga kali, hingga tujuh... Tetap tak kulihat kau. Atau mataku yang tak awas memindai sosokmu? Aku lupa masih ada dua selasar lainnya ; di bawah dan di atas selasar yang kulalui. Kembali hati bertalu, "Dimanakah dirimu?" Dan kurasakan lagi, betapa ciut diriku tanpamu. Sendiri di tengah ramai. Sungguh, aku bukan seorang berhati perkasa...         

Maka untuk kali yang kedua, aku tak ingin jauh darimu. Aku enggan merasakan seorang diri lagi ditengah ramai. Kupegang erat ujung kain putihmu sepanjang perjalanan. Kemana pun. Aku berada lekat di belakangmu. Bersamalah kita, seperti anganku yang semula...

Pondok Gede - 22022014

#Untuk separuhku

Minggu, 23 Februari 2014

Catatan Perjalanan



Bandara King Abdul Aziz - Jeddah

Rabu 12 Februari 2014. Setelah sembilan jam berada di ketinggian, pesawat 'flag carrier' Republik Indonesia yang membawa kami dari Jakarta mendarat di Jeddah. Waktu setempat menunjukkan pukul lima sore. Alhamdulillah.

Cukup lama kami menunggu tahap pemeriksaan imigrasi sebelum kami diperkenankan menuju bis yang akan membawa kami ke Madinah. Kami melihat loket-loket imigrasi masih kosong dari kehadiran petugas. Berbaik sangka saja. Mungkin para petugas sedang melaksanakan shalat maghrib disambung isya... Benar saja, setelah waktu isya akhirnya tampak petugas sudah berada di loket masing-masing. Disini loket jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan. Tapi meskipun begitu, ada juga jamaah pria dari RI yang bandel tetap mengantre di loket khusus perempuan. Petugas bandara yang sudah berusaha menegur dan mengarahkan pun tidak digubris. Akhirnya mereka hanya mengembangkan tangan, mengangkat bahu, dan berlalu. Beberapa jamaah RI (bukan dari rombongan kami) yang berada di belakangku pun berceloteh dengan sesamanya, merasa senang karena telah berhasil 'menaklukkan' petugas bandara Jeddah. Astaghfirullah...
Atap bandara King Abdul Aziz, Jeddah

Menjelang giliran menuju loket, aku teringat pesan yang disampaikan oleh pembimbing pada saat manasik ; Jamaah perempuan jangan bersikap seperti saat berada di Indonesia. Jangan bersikap ceria ramah menggoda kepada petugas imigrasi di Jeddah yang semuanya laki-laki. Bisa berabe akibatnya. Hingga aku pun memutuskan untuk berekspresi 'poker face'... Alhamdulillah, lancar saja... Kulihat si petugas memeriksa dokumen sambil memencet-mencet dua gadgetnya yang berada disamping keyboard komputer imigrasi.
Lega setelah lepas dari imigrasi, kami pun sudah ditunggu oleh bis-bis yang akan membawa kami ke Madinah. Perjalanan malam Jeddah - Madinah kami lalui dengan nyaman. Tidak ada macet, tidak ada ajrut-ajrutan karena jalan rusak.

Madinah al Munawarah

Dinihari ketika kami tiba di Madinah al Munawarah, kota tujuan hijrah Rasulullah... Dari jendela bis tampak menara masjid Nabawi yang dihiasi cahaya lampu... Bersinar ditengah gelap. Indahnya...

Ustadz melalui mikropon mengajak kami semua ber-shalawat kepada Rasulullah... Ada rasa haru menghampiri, tak terasa mata terasa panas. Teringat kisah Rasul dalam menegakkan Islam... Lalu terbersit keinginan, seandainya RI punya pemimpin yang sedikit saja mewarisi sifat dan keteladanan Rasulullah...

Masjid Nabawi, Madinah

Masjid Nabawi - Madinah, diwaktu Ashar
Shalat subuh pertama di masjid Nabawi. Udara subuh di Madinah masih dingin, ditambah angin yang cukup kencang. Membuat tubuh menggigil. Berjalan dari tempat menginap sejauh sekitar 70 meter, kami sudah bisa mencapai pelataran masjid Nabawi. Di sepanjang jalan menuju masjid, dalam gelap pagi buta, pedagang kakilima sudah menggelar dagangannya. Beberapa diantara mereka menawarkan dagangannya dengan menggunakan bahasa Indonesia...

Raudhah

Bukanlah mudah mencapai Raudhah, demi menjejakkan kaki dan mendekat ke makam Rasulullah. Kami hanya bisa melihat dari jauh  penanda makam Rasul, bekas kediaman Rasul, mimbar dan kubah hijau yang menaungi makam Rasul. Seribu kesabaran yang mesti mengendap dalam hati... Menanti giliran masuk Raudhah, beringsut-ingsut bergeser, ditambah suara perintah tegas askar-askar perempuan... Alhamdulillah, dengan bimbingan ukhti Azizah yang cantik, kami serombongan berhasil lebih dulu mencapai Raudhah.... Diatas karpet warna hijau, tempat yang dipercayai menjadi tempat berdoa yang mustajab... Subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar... Kami berhasil menegakkan shalat dua rakaat ditengah riuh kaki-kaki jamaah yang berdesakan berebut melangkah keluar dengan perintah tegas para askar.

Ah, berhasil mencapai Raudhah dan melakukan shalat disana sudah merupakan anugerah besar bagiku. Sungguh besar kemurahanMU. Airmata bercucuran disaat shalatku... Sehingga aku kehilangan kata-kata. Aku lupa apa yang akan aku pinta padaNYA. Aku hanya bisa berulang mengucap syukur... Dan doa yang ada di kepalaku adalah permintaan agar aku menjadi manusia yang selalu mengingatNYA, dekat padaNYA dan selalu bersyukur. Aamiin ya rabbal alamin.

Maghrib pertama di Madinah

Shalat maghrib pertama di masjid Nabawi, Madinah al mukaramah... Udara sejuk, langit bersih, cahaya lampu masjid, menara masjid tegak berkilau membelah langit ... Ada bulan, bulat emas menggantung.... Subhanallah, indahnya... Terima kasih kepada Allah SWT, yang mengijinkan kami menjejakkan kaki di tanahNYA...
Dan saat tanganku menengadah dalam doa, dua butir kurma diletakkan di pangkuanku oleh seseorang... Alhamdulillah...

Jabal Uhud

Tengah pagi saat rombongan kami tiba di Jabal Uhud. Bukit batu itu tegak dibawah sinar matahari. Panas mentari tidak terasa terik karena tersamarkan oleh angin yang bertiup sejuk.
Bukit dimana Rasul pernah mempertahankan diri dari serangan kaum Quraisy itu tidak berwarna hitam seperti layaknya batu... Pada permukaannya ada nuansa kuning kemerahan. Menurut muthawwif, warna kemerahan itu adalah jejak darah yang tertumpah dari para tentara pembela Islam yang gugur dan dimakamkan di bukit itu.

Jabal Uhud
Begitu beratnya perjuangan para pemeluk agama Allah SWT dimasa awal tegaknya Islam dulu kala. Sementara saat ini, disaat panji-panji Islam telah berkibar, mengapa begitu sulit menegakkan nilai-nilai Islam yang merupakan rahmat bagi alam? Berapa banyak mereka yang mampu istiqomah di jalanNYA, dibanding mereka yang mengaku Islam, tapi perilakunya jauh keluar dari tuntunan luhur ini? Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah...
Dan jabal Uhud akan tetap diam di tempatnya. Menjadi saksi perjalanan sebuah keyakinan yang disampaikan oleh RasulNYA pada 1500 tahun yang lalu. Hingga kini, bukit Uhud pun menjadi saksi, betapa kemajuan teknologi  telah menjajah sejarahnya... Lebih dari satu menara pemancar jaringan seluler berdiri tak elok di puncaknya...

Makkah al Mukaromah - Masjidil Haram

Inilah inti dari umrah yang sebenarnya. Alhamdulillah, tempat penginapan rombongan kami berada di seputaran Masjidil Haram. Hanya dengan berjalan kaki sejauh sekitar 50 meter, kami sudah bisa mencapai pelataran yang melingkari Kaabah.

Menara Mesjid Haram - Mekkah al Mukaromah
Subhanallah, alhamdulillah... Kaabah yang selama ini hanya kulihat di lukisan, di media cetak dan elektronik, kini ada di depan mataku... Dalam udara tengah malam yang sejuk, kami melakukan thawaf yang pertama, setelah miqat di masjid Bir Ali siang tadi. Meskipun saat itu tengah malam, tapi para peziarah tetap mengalir seperti tak kenal waktu. Berjalan berjejal dengan putaran arah melawan jarum jam, kepala ini rasanya selalu ingin menoleh ke kiri. Bangunan berselimut kain hitam itu memang tak layak untuk diabaikan dari pandangan.

Sebelum thawaf, pembimbing kami berpesan ; "Jangan berusaha memotong arus untuk mendekati Kaabah dan Hajar Aswad. Karena tubuh jamaah-jamaah Indonesia yang kecil akan sulit bertahan dari dorongan jamaah Timur Tengah dan Afrika yang relatif lebih besar. Sebaliknya, biarkan arus yang mendorong kita menuju kedekat Kaabah dan Hajar Aswad. Jika memang itu hak kita, insyaAllah, kita akan sampai kearah sana."  Tapi rupanya memang aku belum diberi hak berada di sisi Kaabah untuk menyentuh kiswahnya dan ke depan Hajar Aswad untuk menciumnya... Akan tetapi, aku sangat bersyukur, ketika dalam himpitan jamaah lain yang bertubuh besar-besar, aku diberi kesempatan untuk menyentuh kaca Maqom nabi Ibrahim, dan melongok jejak kaki beliau di dalamnya... Alhamdulillah... 

Lepas tujuh putaran, kami berkesempatan melakukan sholat sunnah Ihrom, dilanjutkan dengan doa yang dibacakan oleh Ustadz pemimpin rombongan dan di-amin-kan oleh jamaah. Doa yang kami lantunkan saat Kaabah berada di depan mata. Tanpa bisa ditahan, hati ini terharu dan tumpah menjadi airmata... Begitu banyak kupinta darinya, sementara baru sedikit yang bisa kuberikan untukNYA... Astaghfirullah...

Sa'i, berlari-lari kecil dari bukit Safa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali. Rukun haji-umroh ini adalah untuk mengingat saat Siti Hajar, istri nabi Ibrahim harus berlari bolak-balik antara dua bukit itu untuk mencari air bagi putranya ; nabi Ismail . Jika dihitung, total jarak yang harus dilalui adalah sekitar 4000 meter. Jarak sejauh itu tidaklah terasa jauh, karena padang pasir yang dulu dilalui oleh Siti Hajar, kini telah diubah menjadi lorong berlantai marmer penuh, berlampu terang, dan berpendingin udara... Sehingga rasanya seperti berjalan-jalan di mall saja. Apalagi "track"  untuk sa'i kini dibuat hingga 3 lantai.

Shalat pertama kami di Masjidil Haram adalah shalat Subuh. Waktu subuh masih satu setengah jam mendatang. Tapi ketika kami tiba di masjidil Haram, jamaah sudah meluber sampai di pelataran masjid. Dini hari itu, penunjuk temperatur di dinding depan masjid menunjukkan angka 22,6 derajat Celcius. Tapi angin yang lebih dari sepoi-sepoi membawa udara dingin itu menjadi lebih tajam menggigit. Angin dingin terasa menampar kulit wajah... Suatu hal yang jarang ditemui di Jabodetabek, misalnya. Dan ketika kami selesai shalat subuh pada jam 6.00 (waktu KSA), suhu malah turun ke angka 22,2 derajat Celcius. Sementara matahari belum muncul.

Sebelum benar-benar menginjak tanah suci ini, aku memiliki gambaran bahwa Kaabah akan mudah dilihat dari sudut manapun di kawasan ini. Tapi ternyata gambaran itu salah total. Kini untuk melihat Kaabah jemaah harus benar-benar mendekat di area thawaf. Karena dengan perluasan gedung, Kaabah menjadi suatu titik di tengah lingkaran bangunan masjid. Saat jemaah melakukan shalat di dalam gedung masjid pun, tidak semuanya dapat melihatnya  karena terhalang oleh bangunan... Entah nanti jika proses renovasi telah selesai...  Dan, ah, entah mengapa (aku  berharap aku salah), berada di pelatarannya, aku melihat bangunan bagian depan masjid malah mirip istana dan kastil-kastil di Eropa sana. Aku berpikir, apakah Mekkah sedang berusaha menyandingkan dunia spiritual dengan dunia konsumerisme ala barat. Bayangkan, setelah melakukan shalat, thawaf, sa'i, lalu kita kembali ke penginapan. Dan untuk itu kita harus melewati shopping centre dan mall gemerlap dengan brand-brand dari dunia belahan barat...


Penunjuk arah di lantai dasar Mekkah Tower

Jabal Rahmah

City tour Mekkah, salah satu acaranya adalah mengunjungi Jabal Rahmah... Bukit batu yang terletak di luar kota Madinah, yang merupakan tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa.

Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa

Pemandu tur mengatakan ; Tempat paling romantis di dunia ini bukanlah Eiffel atau Venezia, tapi Jabal Rahmah. Mengapa? Karena disitulah tempat nabi Adam dan istrinya Siti Hawa bertemu. Setelah sebelumnya mereka saling mencari keberadaan masing-masing begitu diturunkan secara terpisah ke bumi oleh Allah SWT. Karena waktu itu, nabi Adam diturunkan di tanah yang sekarang disebut India dan Siti Hawa di daerah Mekkah. Tahukah, berapa lama mereka saling mencari? Ternyata 200 tahun lamanya... Masyaallah...

Jabal Nur

Di Jabal Nur inilah terletak gua Hira'. Sebuah tempat sunyi dimana Muhammad bin Abdullah, pada usianya yang ke-empat puluh, menerima wahyu Allah SWT melalui malaikat Jibril.
Sungguh menakjubkan perjalanan spiritual sang 'al amin'... Disaat telah meraih kesuksesan sebagai pedagang, beliau memiliki waktu untuk menyepi di gua yang hening di atas gunung batu yang gersang untuk mencari jawab atas  kegelisahan batinnya melihat keadaan di jaman jahiliyah saat itu.
Pantaslah jika sebagian orang mengatakan, bahwa keimanan seseorang ditentukan di usianya yang ke-40 (usia saat Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul). Jika pada usia itu ia belum terlihat tertarik pada hal-hal yang menyangkut keimanan, maka bisa diperkirakan ia akan "kosong" hingga ujung masanya... Wallahua'lam...

Sayang sekali, rombongan kami hanya dapat menyaksikan Jabal Nur dari jendela bis. Dari balik kaca bis, terlihat gua Hira' terletak di tempat yang cukup tinggi. Tentunya dibutuhkan niat yang kuat untuk mendaki bukit batu itu, demi sebuah niat untuk menyepi dan membersihkan batin... Dan itu dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW, insan pilihan, kekasih Allah...

Arafah, Mina, Jamarat, Muzdalifah

City tour juga meliputi empat kawasan yang berkaitan dengan ibadah haji. Subhanallah... Di alam yang gersang ini, dalam pelaksanaan ibadah haji, tentulah dibutuhkan kondisi fisik yang mumpuni. Tak heran jika sebagian orang menyarankan ; pergilah berhaji saat usia muda dan fisik masih kuat, jangan menunggu hingga usia renta... Wallahu'alam...
Semoga pada waktu mendatang Republik kita dianugerahi pemimpin-pemimpin yang baik dan benar, amanah dan istiqomah... Sehingga kita bisa berharap padanya agar antrean daftar tunggu haji tidak selama 8 tahun lebih seperti yang terjadi saat ini... Aamin ya rabbal alamin...

Thawaf dan Sa'i yang kedua

Alhamdulillah, panitia ternyata menjadwalkan rombongan untuk melakukan umroh yang kedua.
Jika umroh pertama dua hari yang lalu dilakukan pada tengah malam, kali ini umroh dijalankan setelah shalat Dhuhur dengan miqat di masjid Jiranah. Perbedaan waktu umrah, tentu saja membawa kesan yang tak sama dalam hal yang terlihat kasat mata.

Safa - Marwa

Umroh pada malam hari dalam sungkupan udara jelang dini hari dengan suhu sekitar 21 derajat Celcius, tentu saja tak membuat tubuh kepanasan dan berkeringat. Tapi disiang hari,dengan suhu 27 derajat Celcius (masih lebih sejuk daripada suhu Jakarta), tak ayal membuat gerah dan mengalirnya keringat.
Namun demikian, nuansa batin yang terasa tetap sama... Kepala yang selalu berpaling ke kiri... Lalu airmata yang tiba-tiba saja meluncur tanpa tertahan setiap saat melambaikan tangan ke arah Kaabah : "Bismillahi allahu akbar...", perasaan bahwa aku punya DIA... Allah Subhanahu Wata'ala, Sang Maha Besar dan Maha Segala... subhanallah alhamdulillah allahuakbar...

Dhuhur di Masjidil Haram

Langit biru abu-abu... Bersih tak ada awan. Puluhan burung dara terbang bebas... Kadang tinggi, lalu menukik dengan riang diantara menara masjid yang gagah menatap angkasa. Kadang pula terbang rendah di atas kepala ribuan jamaah di pelataran Masjidil Haram... Cericit burung dara itu jelas terdengar disela suara gumam para jamaah yang sedang menunggu adzan tiba... Jauh lebih tinggi, ada tiga burung bersayap lebar terbang dengan anggunnya. Mereka sedang bertasbih pada Sang Penciptanya dengan caranya sendiri... Subhanallah... Jika hewan saja bertasbih, mengapa manusia - ciptaanNYA yang sempurna, lupa bertasbih...?

Masjidil Haram waktu Dhuhur

Dhuhur ini adalah shalat dhuhur terakhir sebelum kami meninggalkan tanah suci ini besok siang... Ada rasa sedih menaburi perasaan... Enggan untuk beranjak dari suasana seperti ini. Ya Allah, ijinkanlah kami kembali ke tanahMU diwaktu yang akan datang...

Thawaf wada'

Rabu 19 Februari 2014. Karena siang nanti kami harus berangkat ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke tanah air, maka thawaf wada' dilakukan pada pagi hari sebelum waktu Subuh. Thawaf perpisahan atau pamit... Seperti thawaf-thawaf sebelumnya, selalu menyembulkan getaran di hati yang lalu berujung dengan airmata. Ada kesedihan karena harus meninggalkan rumahNYA. Tapi sedikit tersilih oleh harapan akan kembali lagi ke tanah ini, selarik doa yang kumohonkan di depan Kaabah...

Jeddah

Bis yang kami tumpangi melaju selama sekitar dua jam menempuh jarak Mekkah ke Jeddah. Sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan yang berbeda dengan landscape di tanah air. Padang pasir luas, dengan warna kecoklatan ada di depan mata... Lengkap dengan segala tanda-tanda bahwa negara ini ini sedang giat membangun 'fisik'nya.


Jeddah adalah kota pusat bisnis di kerajaan Arab Saudi. Layaknya kota baru, kota ini juga sedang giat membangun fisiknya. Disana-sini terlihat proyek real estate dengan 'landed house'. Di jantung kota, gedung high rise bertebaran... Pun di kawasan al Balad. Kami dimampirkan di sebuah toko oleh-oleh bernama "Ali Murah", yang semua pekerjanya fasih berbahasa Indonesia, dan disana jamaah bisa membayar dengan mata uang Rupiah. Sungguh suatu kehormatan bagi jamaah yang berasal dari RI. Di meja kasir bahkan tertempel foto-foto pemilik toko bersama para pesohor asal Indonesia... Diantaranya Deddy Mizwar, Rano Karno, Jokowi... Hal yang menjadi pertanyaan bagiku ; Bagaimana pemilik toko itu tahu dan membedakan mana wajah orang  Indonesia yang merupakan orang biasa dan mana yang pesohor? Apakah mereka secara teratur mengakses berita dan foto tentang Indonesia? Sayang aku tidak sempat bertanya...

Di pedestrian pertokoan Corniche kami juga menemui kantin yang menjual bakso bernama "Sari Raos"... Bakso berikut mie halus dan pangsit goreng, ditemani sambal dan kecap bermerek asal Indonesia, juga teh dalam kemasan kotak asal negara kita, cukup memenuhi keingintahuan kami, seperti apa sih rasa bakso Jeddah... (Kesimpulan akhirnya, bakso Jeddah ternyata mirip 'bakwan malang' di tanah air).

Bakso di pedestrian Corniche - Jeddah
Sebelum melanjutkan perjalanan ke bandara, kami berkesempatan mengunjungi Laut Merah (yang ternyata airnya berwarna biru abu-abu)dan melakukan shalat di masjid Siti Rahma yang disebut sebagai masjid terapung karena  fondasinya berada di laut...

Masjid Siti Rahma di tepi Laut Merah
Di sepanjang perjalanan menyusuri Jeddah, kami disuguhi pemandangan kota yang cantik dan bersih. Tanaman peneduh seperti akasia pun tumbuh disana. Juga bunga perdu semisal bunga kuning yang kusebut 'kembang kenikir', kembang kertas (zinnia) dan bugenvil berbunga merah ungu. Pohon peneduh lain yang banyak dijumpai disini adalah "pohon Sukarno" yang konon bibitnya berasal dari Indonesia, dan kulihat sekilas mirip pohon asam. Tapi ternyata pohon itu bernama asli pohon mimba atau mindhi. Disebut pohon Sukarno disini, karena penanaman pohon mimba tersebut diusulkan oleh Presiden Sukarno waktu itu, dan disetujui oleh Raja Fadh. Boleh dikata, Jeddah adalah kota yang hijau di jazirah Arab. Dan menurut Ustadz yang duduk di bangku depan kami, Rasulullah pernah mengatakan ; Jika jazirah Arab telah banyak ditumbuhi pepohonan hijau, maka itulah salah satu tanda dekatnya akhir zaman... Wallahu'alam...

Bandara King Abdul Aziz

Bandara di kota Jeddah adalah persinggahan kami yang terakhir di perjalanan umrah ini.
Setelah menunggu sekitar tiga setengah jam, akhirnya kami pun mengangkasa membelah langit malam di atas jazirah Arab. Lepas sembilan jam di udara, kaki pun kembali menjejak tanah air. Ah, Jakarta gerah dan panas. Mungkin dalam seminggu ini hujan sudah tidak turun lagi?

Menyusuri jalan tol yang alhamdulillah tidak macet... Aku membuka kembali gadget yang lebih sering off selama berada di tanah suci. Terbaca olehku bermacam artikel, berita dan status bernuansa negatif... Ya, Allah... Begitu 'kemrungsung' kehidupan di tanah airku ini...

Kembali aku terkenang betapa tenangnya delapan hari di tanah suci. Jika hidup ini berlalu hanya untuk mengingat, menyembah dan beribadah kepadaNYA seperti delapan hari itu... Betapa teduh, betapa damai...  Terbayang lagi olehku masjid Nabawi, masjidil Haram, Kaabah, bulan purnama di Madinah, burung-burung di langit masjidil Haram, lantunan adzan yang indah... Ijinkan aku kembali lagi ya, Allah. Tak bisa ditahan, airmataku mengucur lagi... Allahu rabbi, hatiku seperti tertinggal di rumahMU... 


#Perjalanan Umrah 12-20 Februari 2014#