Minggu, 27 April 2014

Anak-anak dan Politik

*foto dari hasil searching Google*

Baru membaca di link Facebook  ;  Seorang anak kelas 4 SD, berusia sekitar 10 tahun, menangis ketika menyaksikan proses hitung suara dan partainya (harap dibaca : partai ortunya) tidak meraih suara terbanyak.

Jika muatan link itu benar, aku jadi  bertanya-tanya. Begitukah cara sebuah partai mengembangkan diri? Pikirku, tak mungkin seorang anak kecil menangis kalau tidak ada suatu hal yang benar-benar sudah menetap dalam pikiran atau perasaannya.
Apakah patut menanamkan dan membebani anak-anak (yang dunianya adalah dunia bermain) dengan hal-hal berat semacam partai politik dengan segala ke-hipokritan-nya? Ah, anak-anak usia sekolah sudah cukup repot dengan PR, tugas sekolah, UN dan kurikulum yang berganti-ganti. Sudah cukuplah itu. Tak usahlah para orangtua menambahi benak anak-anak dengan pikiran tentang partai dan politik. Pada masanya nanti, mereka akan matang sendiri sejalan dengan bergantinya waktu...

Sebelum aku membaca link dan menulis status ini, anakku yang kelas 6 SD bertanya kepada ayahnya :
"Yah, kata temanku, capres *sensor* itu *sensor*, ya? Yang bagus itu partai *sensor* karena *sensor*"
"Kok temanmu ngomong gitu? Dia tau dari mana?" Tanya kami yang cukup kaget, bahwa ternyata anak-anak sekarang pun sudah dititipi banyak pesan-pesan politik.
"Katanya, orangtuanya ngomong gitu....," jawab anakku dengan wajah tak bersalah.

Wahai orangtua, bijaksanalah... Biarkan anak-anak tumbuh dengan dunianya... Jangan paksakan mereka mengunyah dan menelan dunia manusia dewasa... Semua akan ada waktunya... Bersabarlah... 




Pondok Gede - 13042014

Jumat, 04 April 2014

Ketika Hujan





Sejak itu
Setiap kali titik hujan pertama muncul, selalu aku menerka-nerka
akan seperti apa hujan kali ini.
Apakah hujan deras gemuruh yang menciutkan hati
Apakah hujan berirama lembut yang ramah membuai
Apakah sekedar rinai bagai airmata bidadari menangis

Sejak itu
Selalu aku percaya bahwa hujan adalah karuniaNya
Agar pohon terus bertumbuh, air senantiasa mengalir, dan ia bukan bencana

Sejak itu
Adalah saat seorang berkata "Mengapa takut pada hujan? Bukankah hujan adalah rahmatNya untuk umat yang dicintaiNya?"

Sejak itu
Adalah ketika aku bertanya, entah dimana dia berada...


Pondok Gede - 04042014
*Senja ketika hujan berangin menampar bumi*

Rabu, 02 April 2014

Gori Euphoria



Sebenarnya eforia gori (nangka muda) ini bermula pada suatu pagi, ketika aku menahan kedongkolan hati pada Pak Sayur. Pak Sayur yang tanpa merasa bersalah dan tak menunjukkan penyesalan, apalagi mengeluarkan kata maaf dalam versi yang paling sederhana sekalipun... Hadeeuhh...

Karena mendadak terbayang gudeg yang semi pedas dengan taburan krecek (krupuk kulit) disana sini, dibalut dengan santan yang gurih, aku pun memutuskan akan memasak gudeg esok hari. Maka pada pagi menjelang siang pada H-1 aku menemui Pak Sayur, memesan bahan-bahan gudeg itu untuk dibawakan besok pada hari H.

Seingatku, aku sudah bicara dengan jelas. Bahwa aku besok akan membuat gudeg. Untuk itu aku memesan sejumlah 'ingredient'nya yaitu : gori (nangka muda), santan kental, cabe rawit, krecek (krupuk kulit), petai, daun salam, lengkuas. Bumbu lain seperti bawang merah, bawang putih, ketumbar, gula jawa memang tidak kupesan karena aku masih punya persediaan di dapur.Pak Sayur pun kulihat mengiyakan dengan sungguh-sungguh. Lagipula, saat aku bicara itu bukanlah "peak season", kondisi sudah sepi dari ibu-ibu yang biasanya mengerumuni gerobak Pak Sayur. Jadi aku berprasangka baik, dia pasti akan mengingat pesananku itu dengan 'cermat dan seksama'... *jadi ingat pidato-pidato jaman orba*

Keesokannya di hari H, apa yang kudapat? Pagi-pagi dengan semangat gudeg, aku mendatangi Pak Sayur. Kutagihlah pesananku. Santan kental, krupuk kulit, cabe rawit, petai, bumbu-bumbu ada di gerobagnya... Tapi,
"Lho, pak, gorinya mana...?"
Dengan santainya Pak Sayur menjawab, "Waah, lupa Bu..."  Wajahnya tak menunjukkan penyesalan.
"Lho, piye to, pak... Kan kemarin saya pesan bahan untuk gudeg? Masa gori-nya malah nggak ada? Masa isinya nanti cuma krecek sama cabe rawit?" Aku mulai sebal.
"Saya pikir ibu mau bikin sambel goreng krecek... Ini saya bawain kreceknya banyak sama kacang tolo-nya sekalian..."

Ealaaahh... Kenapa Pak Sayur ini jadi berinisiatif dan kreatif tapi ngeselin? Aku dari kemarin mau bikin gudeg, kok malah sekarang disuruh masak sambal goreng krecek kacang tolo...?? Aku menghela nafas. Sabaaaarr... Sabaaaarrr....
Akhirnya dengan sedikit terpaksa dan agak tidak rela, kubayar juga pesananku itu. Paling-paling kalau tidak dapat gori, bahan-bahan itu kusimpan saja di kulkas sampai timbul ide baru mau dimasak apa.

Selanjutnya dengan penuh harap, aku kembali berjalan menjelajahi lapak sayur yang ada disekitar komplek. Yang di dekat masjid, si Ucok bilang, katanya gori sekarang mahal, jadi dia hanya menjual kalau ada yang memesan. Kecewa aku. Tapi masih ada harapan. Berjalanlah aku ke lapak sayur yang sedikit di luar komplek.
"Nggak ada, Bu. Gori jarang ada yang beli, makanya saya juga nggak jual itu setiap hari," kata si Mbak pemilik lapak. Oalaaahh.... Susah betul ya, mencari bahan utama gudeg ini.

Sepertinya, mau tak mau, aku harus menjelajahi pasar tradisional demi nangka muda, atau santan kental yang di kulkas itu basi dan harus dibuang. Sayang... Kan belinya bukan pakai daun atau pecahan genteng, tapi pakai uang dari hasil jerih payah suami ngantor "five thirty to eight thirty" karena jalanan yang macet ... hehehe...

Maka pada pagi menjelang siang itu, aku pun berangkat ke pasar, sekitar 3 km dari rumah. Pertama aku mengitari pasar tumpah yang berada di tepi jalan. Tak satu lapak pun yang kulihat memajang nangka muda. Kutanya salah satu ibu penjual sayur. "Di dalam sana ada, Bu" katanya sambil menunjuk bangunan pasar di seberang jalan.

Dan sekali lagi, demi gori yang akan menjadi gudeg, demi santan kental agar tidak keburu basi dan terbuang... Maka aku menyeberang jalan memasuki pasar yang jarang sekali kujejak, karena selama ini aku mengandalkan Pak Sayur keliling atau lapak sayur yang ada di sekitar komplek.

Dengan clingak-clinguk melongok kiri kanan, aku menyusuri los sayur mayur di pasar tradisional yang tidak becek karena berlantai keramik. Tak satu pun kulihat gori yang terpajang, sama dengan kondisi di pasar tumpah di luar tadi. Aku hampir putus asa, sebelum akhirnya bertanya pada seorang ibu pedagang tomat dan wortel.
"Di sebelah sana ada, Bu. Dekat yang jual rempah-rempah dan bawang merah," jawabnya. Bergegas aku mengikuti arah yang ditunjuk oleh ibu tadi.

Alhamdulillah... Pencarianku berakhir. Aku menemukan onggokan nangka muda di atas meja batu berlapis keramik putih. Aku seperti menemukan emas!!  *lebay*
Dengan penuh semangat, aku lalu mengambil beberapa potong gori yang dalam pandanganku waktu itu bagaikan bongkahan emas kuning kemilau  *haiyaaa, lebay lagi*.
Kutaruh potongan gori itu di depan bapak penjual yang sudah siap dengan pisau ditangannya untuk mencincang emas, eh, gori itu.
"Tolong dipotong ya, pak. Untuk gudeg," pintaku. Bapak penjual gori pun kemudian memotong-motong nangka muda itu dan menuangkannya ke timbangan.
"Satu kilo, Bu?" tanyanya kepadaku.
"Ya, bungkus pak," jawabku tanpa berpikir lagi, saking senangnya dengan pencarianku yang berhasil. Well, that is called "euphoria". Isn't it?

Setelah membayar harga gori tadi, maka melangkahlah aku dengan riang gembira menuju tempat parkir. Tapi, diatas motor, dalam perjalanan pulang, aku baru berpikir. Satu kilo gori....? Hei, bukannya selama ini takaranku membuat gudeg adalah setengah kilo gori?? Eh, sekilo atau setengah kilo ya? Aku jadi ragu-ragu karena daya ingat yang semakin menurun.

Begitu sampai di rumah dan merebus potongan gori tadi... Ya ampyuunn... Panciku hampir tidak bisa menampung bongkahan emas, eh gori "gudeg wanna be" tadi... Namun, apa boleh buat. Sekali berlayar, pantang surut ke daratan  *eaaa*.  Kujalani juga proses memasak gudeg yang "over size" itu dengan sepenuh hati.

Seperti inilah penampakannya ;


 Saat anakku datang dari sekolah dan melongok wajan di atas kompor, dia mengerutkan hidung,
"Ibu kok masaknya banyak banget sih?"
"Wah, kayaknya dua minggu bakal makan gudeg terus nih...," sambung si Sulung dari belakang si Tengah.
"Aah, kalian kan nggak tahu, bagaimana perjuangan Ibu demi sewajan gudeg ini...?" Kataku agak masygul.
Lalu mereka pun segera berlalu dari dapur... Mungkin khawatir kalau kata-kataku berlanjut dengan "lagu irama rap" (= ngomel)... Hmmm...


Pondok Gede - 01042014