Kamis, 13 Juni 2013

Quality Time



Seringkali aku membaca tulisan tentang profil manusia-manusia sukses dalam karirnya. Ketika ditanya tentang keluarga (jika si tokoh sudah menikah), sebagian besar selalu mengatakan kurang lebih begini :  "It's okay. Saya selalu berkomunikasi dengan istri/suami dan anak-anak. Yang penting adalah quality time, bukan quantity time..."

Setelah membaca kalimat-kalimat dengan inti seperti itu, dengan berbagai variasi pemilihan kata-katanya, biasanya aku langsung nyengir. Sambil bertanya-tanya sendiri, apa iya? Hehehe...

Lalu aku membayangkan seorang CEO, eksekutif, business man/woman, politikus, selebriti yang bekerja dengan tujuan dan target tertentu, yang tinggal di kawasan Jabodetabek.  Semakin tinggi kedudukan dan ketenaran mereka, maka akan semakin tinggi tuntutan untuk berpikir dan bekerja lebih keras. Artinya akan semakin banyak permasalahan yang harus diselesaikan, dan berarti mereka dituntut untuk lebih banyak lagi mengalokasikan waktu untuk membereskan pekerjaannya.

Kemudian situasi seperti inilah yang terjadi dalam keseharian ; 
- Bertemu di pagi hari dengan tergesa-gesa dan komunikasi seadanya, terburu-buru berangkat kerja untuk menghindari macet  yang menggila di seputar Jakarta.
- Amat sangat sibuk selama office hour, sehingga tak sempat berkomunikasi, bahkan untuk sekedar membalas sms atau Bbm.
- Tiba di rumah diatas jam 10 malam dengan sisa tenaga yang telah terkuras karena pekerjaan dan kemacetan Jabodetabek. Itu pun harus buru-buru berangkat tidur, dengan alasan agar tidak bangun kesiangan esok hari. Seakan rumah pun berubah fungsinya hanya sebagai tempat untuk tidur.
- Week end yang seharusnya menjadi hak keluarga pun kadang harus mengalah karena keharusan acara-acara yang terkait dengan pekerjaan. Belum lagi dengan business trip yang kadang bisa memakan waktu berhari-hari.

Begitulah siklus waktu yang bergulir hari demi hari. Hidup di Jabodetabek harus berpacu dengan waktu dan menaklukkan kemacetan lalu lintas, yang ujungnya juga memakan dan menghabiskan waktu.

Nah, dengan siklus seperti itu, yakinkah bahwa yang penting adalah quality time?  Padahal untuk membangun suatu kondisi yang baik dan berkualitas biasanya tidak bisa didapat dengan cara instan. Bagaimana mungkin waktu ke waktu yang seharusnya dijalani secara kontinyu, sedikit demi sedikit, dengan proses gradual hari per hari, tiba-tiba harus dihilangkan (atau dipersempit) lalu diganti dengan segepok waktu dalam sehari dua hari di akhir minggu?

Kalau pun ada diantara manusia-manusia unggul itu yang bisa eksis dengan kelebihannya dan mereka katakan "semua baik-baik saja", kemungkinan besar, kurasa ada salah satu sisi yang harus berkorban secara immateril. Baik dalam bentuk kesepian, kesendirian, keterabaian, bahkan keterasingan. Dengan begitu, apakah masih bisa disebut bahwa "semua baik-baik saja"?

Mudah-mudahan pemikiran dan persangkaanku ini tidak benar. Semoga masih banyak penduduk Jabodetabek yang jauh dari jenis-jenis makhluk 'mesin' seperti yang kutulis diatas...

Akhir kata, mohon maaf, beribu maaf jika ada yang tidak sependapat dengan pemikiran dan perkiraan yang kumiliki.


Pondok Gede - 13062013

Sabtu, 08 Juni 2013

Pejabat Bukan Selalu Pemimpin



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beranjak menua. Menjelang 68 tahun usianya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan usia yang setara dengan manula, adakah kita sebagai bangsa juga makin dewasa dan bijaksana? Semestinya demikian, karena itu adalah suatu kelaziman ; Makin bertambah usia, makin kaya pengalaman hidup, makin banyak pelajaran kehidupan yang didapat, maka makin bertambah pula kekayaan batinnya. Tapi pada bangsa kita, apakah demikian adanya?

 Maka bacalah berita di koran, di media cetak, di dunia maya. Tontonlah berita di televisi, dengarlah cerita dan keluhan bangsa (dan warganegara) tentang para pejabat dan pemimpin di sekitarnya. Tak usahlah pejabat atau pemimpin bangsa. Cukuplah pejabat di lingkungan tempat tinggal, di organisasi, di tempat kerja. Berapa banyak dari manusia yang mendapat amanah berupa jabatan, tapi jauh panggang dari api untuk bertindak dan bersikap sebagai pemimpin? Bukankah seorang yang kepadanya disematkan status pejabat pada suatu wadah, seyogyanya adalah juga orang yang menjadi pemimpin bagi kaum yang berada dalam wadah itu? Tak akan mungkin seseorang diberi suatu jabatan jika tak ada suatu kaum yang harus dipikirkan dan dipimpin bukan?

"Sesungguhnya seorang pemimpin merupakan perisai. Rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya"  (HR Muslim)

Betapa indahnya perumpamaan  tentang sosok pemimpin menurut hadist diatas. Betapa nyamannya para bawahan memiliki atasan seperti sosok dalam hadist itu. Seorang pejabat yang melindungi, memberi petunjuk, mengarahkan, memotivasi, kadang sanggup menjadi martir bagi kaumnya... Pokoknya 'someone to rely on, someone who can be a bridge over troubled water'.  Itulah seorang pejabat yang juga pemimpin. Adakah, masih adakah dimasa kini, di tengah 230 juta rakyat RI yang memiliki jiwa seperti itu... Jika ada, berapa persen, berapa orang kah?

Di tengah berita yang datang silih berganti tentang sosok berbagai pejabat di negeri ini, kadang pikiran menjadi pesimis dengan keberadaan 'pejabat yang pemimpin' itu. Karena bukankah sudah banyak bertaburan 'pejabat yang hanya pejabat'.  Mereka yang dibebani amanah tapi tak pandai memperlakukan kepercayaan itu. Sehingga yang muncul dari diri mereka adalah perilaku layaknya fir'aun model milenium ; menekan, mengancam, memikirkan diri sendiri, khawatir akan kehilangan citra diri, takut kehilangan jabatan, tidak mau mengambil resiko, takut mengambil keputusan, tidak tegas, ragu-ragu, acapkali menyalahkan kaum yang seharusnya diarahkan/dilindungi tanpa memberi solusi...

Coba, mari kita cari orang yang memiliki typical 'pejabat bukan pemimpin' seperti itu di sekeliling kita. Banyak. Maka tak heran jika banyak pengamat dan ahli yang prihatin, bahwa bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan. Aku jadi ingat salah seorang mantan kepala daerah yang mengatakan bahwa "menjadi pejabat dan pemimpin berarti menghibahkan diri pada warga, kaum dan atau masyarakat yang berada dalam naungannya".  Bukan malah berlaku seperti raja dan fir'aun yang harus selalu dilayani, di-emong dan menerima persembahan dari rakyatnya. Semoga masih ada pejabat-pejabat lain (dan calon pejabat) yang tiba-tiba mendapat hidayah untuk berprinsip dan berperilaku demikian.


Pondok Gede - 08062013