Minggu, 22 Mei 2016

Baby Blues

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10205047094570862&id=1647807330

Baby blues atau depresi pasca melahirkan, menurut penelitian, dialami oleh 80% perempuan yang baru saja bersalin.
Dan saya mungkin termasuk dalam 80% itu. Tiga kali melahirkan, tiga kali pula saya mengalami baby blues.

Masih terbayang ketika si Sulung belum genap 3 bulan dan waktu tidurnya belum teratur ; Malam sampai subuh dia melek, pagi sampai sore malah tidur. Saya begadang, menggendongnya semalaman.  Saat dia menangis, saya ikut menangis berurai airmata sambil menahan kantuk, karena tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk menenangkannya.
Kadang pula saya merasa betapa tidak mampunya saya menjadi seorang ibu sejati yang sempurna, karena ASI yang tidak melimpah sehingga si Sulung juga harus diberi tambahan sufor. Oh, lengkap  rasanya penyebab depresi saya.

Kelahiran si Tengah, tiga tahun berikutnya? Ah, jangan berpikir hal yang seharusnya terhadap perempuan yang baru melahirkan. Karena meskipun disebut "sudah berpengalaman melahirkan" pun tidak menghapus kemungkinan seorang ibu untuk tidak terkena baby blues.
Saya masih ingat hari itu. Suatu siang, adikku tersayang menyambangi saya di rumah, menengok keponakannya yang baru lahir. Sekian waktu setelah mengobrol ini itu, tiba saatnya dia berpamitan, saya merasakan kesedihan luar biasa yang saya tidak tahu sebabnya apa. Pokoknya, saya hanya ingin menangis sekerasnya dan sekejer-kejernya. Begitulah. Saya mengantarnya ke pintu pagar dengan airmata meleleh dipipi. Dan setelah dia menjauh, saya pun menangis tersedu-sedu sendirian. Apa sebabnya? Sampai sekarang saya tidak tahu.

Melahirkan untuk ketiga kalinya, dua tahun kemudian pun ternyata tidak membuat saya menjadi tahan banting dan anti cengeng.
Hadirnya kembali seorang bayi yang sangat tergantung pada saya, membuat saya merasa lelah. Setiap kali menghadapi si Bungsu yang sedang rewel, saya merasa betapa lelahnya saya. Betapa jauhnya waktu yang harus saya jalani untuk kelelahan ini. Saya pun kembali menjadi cengeng, sering menangis. Dan lebih gawat lagi, saya menjadi pemarah. Padahal dibanding kedua kakaknya, si Bungsu ini tergolong bayi yang manis dan relatif jarang rewel.

Barangkali seorang teman kantor (waktu itu saya masih bekerja dan dalam masa cuti melahirkan), mbak Darni Nani, masih ingat ketika saya menelponnya sambil menangis tersedu-sedu pada suatu siang. Saya pun tidak tahu apa yang harus saya katakan kepadanya waktu itu, selain hanya ingin menangis saja. Hingga dia  pun agak kebingungan menanggapi.
Saya ingat, waktu itu dia bertanya, “Mbak, kenapa mbak? Baby nya nggak apa-apa kan? Sehat kan?”
Saya hanya menjawab sekenanya, “Nggak apa-apa, mbak Nani…”
“Lha, terus kenapa mbak?”
“Nggak tahu… Pingin nangis aja…,” jawab saya sambil melanjutkan sedu sedan.
Tapi herannya, setelah menangis dan “memberitahukan tangisan” saya kepada orang lain, saya merasa lega.

Inti ceritanya ; Saya hanya ingin mengingatkan. Jangan biarkan seorang “ibu baru” menjalani hari-harinya sendirian. Temani, bantu… atau setidaknya dengarkan keluhannya. Jangan hadapkan dia dengan sederet aturan dan nasehat tentang ibu dan bayi yang ideal. Jangan hujani dia dengan kata-kata “harus begini harus begitu” karena itu akan membebani perasaan dan pikirannya. Manjakanlah dia untuk beberapa waktu sampai hilang lelah dan letih fisik dan mentalnya, setelah menjalani 9 bulan 10 hari kehamilan dan persalinan yang penuh perjuangan.
Hanya beberapa waktu… Dan selebihnya dia akan menjadi seorang ibu yang menemani dan menopang hari-hari dalam keluarganya hingga selesai usianya. Berapa tahun? Mungkin berpuluh tahun kemudian. Tidak banyak bukan, waktu yang dimintanya dibanding puluhan tahun yang akan diberikannya dimasa mendatang?

Pondok Gede - 07052016

Literasi Media

Saran saya, jangan mudah percaya, nge-like dan nge-share berita dari situs berita abal-abal... Salah-salah kita malah terjebak dalam bisnis e-hate ; Pemilik situs yang dapat duitnya, kita malah dapat pengurangan hitungan pahala... karena tanpa sadar turut menyebarkan berita kebencian, fitnah dan berita yang di-spin.

Ada yang bilang, media alternatif diperlukan, karena media mainstream, konon kabarnya sudah "dibeli" oleh penguasa... Tapi mbok iyao... jangan media alternatif macam begini yang diikuti dan dipercayai.

Jaman sudah bergerak makin cepat dan makin "terbuka". Informasi mengalir makin deras dari mana saja. Akses internet juga makin mudah. Seharusnya kemudahan seperti ini membuat kita makin rajin berwisata ke dunia informasi. Sehingga kita makin tercerahkan, makin bisa memiliki sedikit pengetahuan untuk membedakan dan membuat komparasi, melakukan check dan recheck, mana berita yang benar dan mana berita abal-abal yang disebar sekedar untuk cari duit.

Jamannya sudah berbeda. Duluuuu.... sebelum era reformasi, memang kita haus berita alternatif. Karena dulu yang boleh tampil di permukaan hanya berita yang bagus-bagus dan baik-baik saja. Melenceng dari pakem yang dibolehkan, siap-siap saja media itu dibredel... Atau pengelola media dijemput paksa. Yang paling pahit ya pulang tinggal nama.

IMHO, pada jaman pra reformasi, berita dari media alternatif memang berita yang bernas, karena penulis dan penyebarnya punya idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi".
Berbeda dengan sekarang. Segala bentuk dan jenis berita boleh tampil dimana saja. Dan idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi" pun sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Yang ada sekarang hanya fakta bahwa berita fitnah, berita hoax, berita hasil spin bisa mendatangkan uang. Begitu. Sederhana kan? Ujung-ujungnya hanya duit ternyata. 😐

Pondok Gede - 09042016