Minggu, 03 Juni 2012

Di Bawah Flamboyan





Waktu itu pagi, saat mentari belum lama terbangun. Karenanya sinar surya itu lembut menyentuh isi alam. Panasnya belum garang menerpa kulit manusia.
Disalahsatu sudut bumi, sebatang flamboyan sedang memamerkan kecantikannya. Menjelang musim hujan ini, hijau daunnya tak bersisa, digantikan oleh bunga merah jingga yang memenuhi semua ujung rantingnya. Merah flamboyan berkilau indah, seakan merekahkan senyumnya pada seluruh penghuni alam.

Dibawah merahnya flamboyan, seorang perempuan duduk memeluk lutut. Wajahnya cerah merona, secerah helaian flamboyan yang menaungi dirinya. Disampingnya seorang lelaki, juga duduk memeluk lutut. Matanya berkilau cinta memandang perempuan disisinya.

Perempuan itu adalah Bulan. Dan lelaki itu adalah Bintang.

"Aku suka flamboyan...."
"Kamu suka karena teduhnya?"
"Ya. Tapi aku lebih suka perubahan warnanya yang ekstrim."
"Dari hijau daunnya yang menghilang, dan digantikan oleh merah bunganya?"
"Meskipun sebenarnya aku tidak suka warna merah."
"Aku tahu, kamu suka kuning."
"Ya. Aku ingin berada dibawah pohon yang seluruh bunganya berwarna kuning. Atau, adakah flamboyan kuning?"
"Aku tak tahu pasti. Setahuku, semua flamboyan berwarna merah."
"Seperti dalam mimpiku. Bernaung dibawah juntaian bunga kuning diatas kepalaku."
"Kubayangkan. Pasti indah sekali."
"Tahukah kamu......"
"Tidak.... Aku tidak tahu...."
"Selama ini aku sering bermimpi. Tapi baru kemarin mimpiku jelas sekali penuh warna. Ada hijau daun dan kuning bunga diatas kepalaku."
"Apa bedanya dengan mimpimu yang dulu?"
"Mimpiku selalu buram, muram dan berwarna abu-abu....."
"Mimpi itu, adalah cerminan dari perasaan yang tersembunyi."
"Begitukah? Apakah karena hariku kini berwarna, maka aku bisa melihat warna didalamnya......"
“Bukankah pernah kamu bilang, bahwa sejak adaku, hidupmu jadi penuh pelangi?"
"Hariku penuh warna dari dirimu. Kamu tahu itu."
"Aku hanya bisa mencoretkan warna yang aku punya. Maafkan aku tak bisa menggunakan semua dari selusin warna yang tersedia."
"Bagiku itu sudah lebih dari cukup......"
"Seandainya aku tak terbatas. Jangankan selusin, empat lusin warna pun akan kusapukan dalam hari dan hidupmu."
"Tak usah berjanji...."
"Aku tidak berjanji. Tapi aku ingin melakukan itu, jika saja aku mampu...."

Angin sejuk bertiup, mendesir, menggoyangkan helaian merah jingga flamboyan. Sehelai kelopak luruh, jatuh di pangkuan Bulan. Seperti sepercik noda diatas gaun putih perempuan itu. Bulan memungut helai jatuh itu, lalu menimangnya dalam genggaman jemari tirusnya.

"Aku telah cukup dengan adamu sejauh ini...."
"Aku ingin memberi lebih dari sekedar ini...."
"Bukankah sejak semula sudah kita sadari keadaan ini? Aku punya batas, seperti halnya dirimu."
"Sampai batas mana kita mampu berjalan seperti ini?"
"Entah. Aku tak tahu. Tapi salahkah jika air mengalir mengikuti alur sungai, sedangkan ia tak tahu samudra mana yang akan dituju?"
"Tak ada yang salah, karena kita tak pernah meminta."
"Semua berjalan dan terjadi begitu saja. Dan aku tak percaya semua ini tak bermakna."
"Kutunggu sampai waktu memberitahu aku....."
"Adakah sesuatu yang belum kamu tahu?"
"Ya. Untuk apa aku bertemu dan mengenalmu."
"Absurd....."
"Memang...."

Angin telah berhenti berdesir. Alam seperti diam, kaku dibawah sinar mentari yang mulai hangat menyengat. Sepasang burung gereja meloncat berkejaran, cericitnya ribut mengiringi hentakan kaki dan sayap mereka.

Bulan dan Bintang pun bisu. Mereka saling memandang dalam diam, menatap wajah yang telah sekian purnama hadir dalam angan dan kenangan. Paras yang sigap menyengat hasrat dalam dunia kecil yang terkucil. Sengatan yang pedih dan perih, kadang menerbitkan setitik darah. Tapi mereka tak hendak hapuskan, malah menjadikan kenangan.

"Tak usah resah. Bukankah ini anugrah?"
"Anugrah untuk rasa yang membahagiakan aku."
"Juga membahagiakan aku, karena aku memiliki sebagian kecil dirimu."
"Akankah kita terus lalui jalan tak berujung ini?"
"Waktu akan menentukan dimana akhir jalan yang kita lalui......"
"Kapankah itu? Dua purnama lagi? Dua belas? Dua puluh?"
"Aku tidak tahu......."
"Aku ingin sepanjang hidupku."
"Terlalu agung untukku."
"Tak ada kata terlalu, jika rasa telah terjerat."

Dan hari telah tinggi, menghantarkan panas yang menyeret gerah dan memedihkan kulit. Langit pun dengan angkuh mempertontonkan birunya dan mengusir awan yang menghalangi wajahnya. Bulan dan Bintang kini berhadapan saling memandang.

"Aku harus kembali."
"Tinggalkan aku, bawa hatiku."
"Jangan ragu. Aku tak akan mengubah apapun."
"Aku percaya. Seperti kamu percaya aku."

Bulan dan Bintang melangkah kearah yang berbeda. Meninggalkan sekejab tatap dalam mata yang berkilau, berkaca-kaca karena rasa. Mereka melangkah makin menjauh. Pokok flamboyan diam menantang langit. Merah jingganya menatap langit biru, tak ada yang menghalangi.


Pondok Gede - 01062012