Rabu, 01 Februari 2012

Melawan Arus

Suatu siang menjelang sore, ditengah cuaca awal tahun yang dingin dan ramai dengan rinai hujan. Ponselku meneriakkan nada tanda pesan masuk. Ternyata seorang teman mengirim pesan curhat tentang perjalanan karirnya. "Aku gagal dalam kompetisi yang tidak fair. Ini sudah ketiga kalinya. Aku drop."

Aku tercenung membaca pesannya. Mencoba memahami perasaannya, walaupun sedikit bertanya-tanya. Selama aku mengenalnya, temanku itu adalah pribadi yang riang, optimis, rasional dan easy going. Ditambah lagi dengan sikap idealis dan tak segan menjadi 'berbeda'. Jika dengan pribadi semacam itu ia merasa 'drop', berarti masalah ini benar-benar sudah menohok hati dan semangatnya. Sudah diluar kebiasaannya selama ini.

Lama pesan itu kubiarkan tak berbalas. Aku memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya kusampaikan padanya. Apakah kalimat bernada menghibur, ataukah kalimat yang menantangnya untuk menyadari realita dan membuatnya bangkit lagi?

"Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain yang lebih baik buatmu," balasku menghibur.
"Mungkin. Tapi aku belum bisa menerima keadaan ini," tulisnya kemudian.
"Sabar.....," hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Aku sudah tiga kali bersabar untuk hal yang sama......," katanya lagi.
"Sabar tidak bisa diukur dengan hitungan bilangan."
"Kekecewaan dan sakit hatiku bisa dihitung berbilang-bilang......," tulisnya kemudian. "Aku tahu seperti apa hasil fit and proper-ku. Seharusnya aku bisa lolos dengan hasil seperti itu. Terlalu banyak yang bisa dipermainkan di republik ini."

Aku mahfum dan memahami kekecewaannya, hingga ia menjadi kepala batu dengan sakit hatinya. Kurasa kata-kata hiburan tak akan menyentuhnya, dan sepertinya aku harus mengubah gaya bicara dengan kalimat yang menantang.
"Syukurlah kalau kau sadar bahwa apapun di negeri ini bisa dipermainkan," balasku. "Dan seharusnya kau tidak usah kaget dengan apa yang terjadi padamu."
"Tiga kali.  Tiga kali aku mengalami ini. Aku  tidak mengerti."
"Tak usah dimengerti. Buka saja lebar-lebar hatimu untuk menerima kondisi ini."
"Republik ini benar-benar sudah rusak," gerutunya lagi.
"Dan kau tidak bisa ikut rusak, tak bisa ikuti permainan kotor mereka. Aku tahu itu."
"Ya.... Itulah masalahnya. Aku tidak bisa melawan nilai-nilai yang kupegang sejak dulu."
"Oleh karena itu kau ditendang keluar dari orbit kan? Karena kau tidak bisa diajak bermain seperti mereka...."
"Seharusnya aku sadari itu sejak dulu."
"Syukurlah kau sadar, walaupun agak terlambat," tulisku menanggapi kata-katanya.
 
"Mungkin aku harus mengubah profil-ku," ujarnya lagi setelah pembicaraan agak lama terhenti.
"Mengubah nature-mu? Supaya bisa masuk ke orbit?"
"Ya.... Kalau tidak, aku akan hilang dari orbit, meledak seperti meteor....."
"Artinya kau akan menjadi seseorang yang bukan dirimu? Kau pura-pura menjadi seperti mereka?"
"Kalau itu harus....."
"Apa kau tidak lelah nantinya, harus menjadi orang lain yang bukan sebenarnya dirimu?"
Percakapan kembali jeda beberapa waktu. Mungkin dia mulai memikirkan kata-kataku.

"Pilihanmu kan hanya dua. Masuk orbit dengan menipu hati nuranimu, atau keluar orbit tapi menjadi dirimu sendiri," kataku kembali membuka percakapan.
"Pilihan sulit....," akhirnya dia menjawab juga.
"Kalau sulit memilih, lebih baik kau hijrah sekalian.....," tantangku.
"Meninggalkan apa yang sudah kucapai selama ini?"
"Kenapa tidak? Daripada kau makan hati dilingkungan seperti itu. Dan lagi, apa sih yang kau cari disitu? Bukankan tanpa berada disitu pun sebenarnya kau bisa hidup?" Tanyaku kemudian, mengingat dia pernah mengatakan bahwa ia berada dilingkungan itu untuk menunjukkan dirinya bisa eksis tanpa campur tangan keluarganya yang berasal dari trah saudagar.

Sampai disitu pembicaraan kami kembali terputus. Dan aku pun tak berusaha menyambung kembali percakapan itu. Kupikir, mungkin dia memang perlu waktu untuk menenangkan hati.
Tiga hari setelah itu, aku kembali menerima pesan singkatnya. Pesan dengan kata-kata nyaris seenaknya, tapi seringkali membuatku tertawa. Sepertinya dia sudah mulai pulih dari galau dan sakit hatinya.

Sewaktu kutanya, apa yang terjadi selama tiga hari tanpa kabar? Dia menjawab : "Aku memikirkan kata-katamu, berusaha membuka hati untuk menerima keadaan itu. Betul katamu, lebih baik aku  menjadi diriku sendiri tanpa topeng pura-pura."
"Walaupun dengan resiko hilang dari orbit?" Aku bertanya.
"Ha..ha.. Asal kau tahu, sudah tiga hari ini aku kembali  menoleh ke  'ladang' keluarga. Sewaktu-waktu aku ingin hijrah, aku sudah tidak asing lagi dengan 'ladang' yang harus kugarap kan?"
"Bersyukurlah. Tidak semua orang yang  berkarakter seperti kamu bisa memiliki alternatif 'ladang'.  Dan mereka harus rela makan hati sepanjang usia hingga pensiun......," kataku lagi. Ia menjawab hanya dengan icon jempol dan wajah tersenyum lebar.


Pondok Gede - 01022012