Jumat, 18 Oktober 2013

Pungli itu Menjengkelkan



Pungli adalah kependekan dari "pungutan liar". Jika disebut 'liar', pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan. Tapi sebaliknya ; bikin mangkel, gondok, jengkel... Lebih menjengkelkan lagi, jika pungli itu terjadi di tempat yang tidak disangka-sangka. Seperti yang kualami hari ini di TPS (tempat pengumpulan sampah).

Ceritanya, akhir-akhir ini aku selalu menghindari meletakkan sampah di depan pagar rumah karena jadwal pengangkatan sampah oleh petugas komplek menjadi tidak teratur. Petugas pengangkut sampah itu layaknya hujan di akhir musim saja. Kadang datang dua kali seminggu, bisa juga sekali seminggu. Tapi kalau sedang rajin, dia bisa datang setiap hari dalam tiga hari berturut-turut. Ketidakteraturan jadwal angkut sampah itu bagiku menjengkelkan. Karena walaupun sudah dikemas dengan rapi, pemulung yang lewat selalu giat mengaduk isi kantong sampah dan enggan mengikatnya kembali dengan baik. Akibatnya, sampah yang sudah kupilah - mana yang organik dan mana yang anorganik - berceceran kemana-mana. Terlebih jika kucing-kucing tak bertuan juga ikut memilah sampah mana yang bisa dijadikan menu dinner-nya. Sungguh 'menyeramkan' menemukan sampah yang lolos dari kantong dan bertebaran dipagi hari.

Maka galaulah aku melihat kantong-kantong sampah yang masih teronggok pasrah, ditambah kekhawatiran jika malam nanti kantong sampah itu dicabik-cabik oleh "kucing-kucing punk". Ditengah kegalauan itu tiba-tiba aku ingat, diluar komplek aku pernah melihat sepetak tanah kosong yang diatasnya aku sering melihat gerobak pengangkut sampah parkir disana. Dan pada waktu-waktu tertentu, aku juga melihat truk dari pemkot  mengangkut sampah yang ditumpuk disitu.  Nah, daripada menunggu kedatangan petugas sampah yang tak menentu, maka aku pun berinisiatif mengangkut sendiri kantong sampahku ke TPS itu.

Tapi apa yang terjadi? Saat aku baru saja meletakkan kantong sampah disisi tumpukan sampah yang menggunung, seorang lelaki datang menghampiriku sambil setengah berteriak.

"Nggak boleh buang sampah disini, Bu!"  Teriaknya smbil mendatangiku.

"Lha, ini kan tempat penumpukan sampah? Kok nggak boleh?"  Tanyaku, setelah sempat heran dan terbengong.

"Ibu dari mana?"  Laki-laki lusuh bersepatu boot hitam itu malah balik bertanya.

"Saya tinggal disitu,"  jawabku sambil menunjuk arah komplek yang tak jauh dari lokasi.

"Nggak boleh buang sampah disini," katanya lagi.  Membuat aku mendadak jengkel melihat kedegilannya.

"Lho, ini kan memang tempat sampah? Lalu kenapa tidak boleh buang sampah disini? Di komplek saya ada petugas pengangkut sampah, tapi datangnya nggak teratur. Makanya saya antar sendiri kantong sampah saya kesini,"  ujarku panjang lebar sambil menahan dongkol. Apa sih, maunya orang ini? Memangnya sampah disini ekslusif dan istimewa, sehingga tidak boleh bercampur dengan sampah yang kubawa?

"Kalau mau buang sampah disini, saya bisa tolongin. Kasih aja saya seberapa buat beli rokok... Nanti saya bilangin ke orang-orang sini. Tuh, rumah emak saya yang sebelah situ,"  katanya sambil menunjuk sebuah rumah yang di halamannya bertumpuk karung - yang sepertinya- berisi barang bekas.

Oh, aku baru paham, rupanya dialah "penguasa" lahan ini sehingga dia merasa berhak melarang atau membolehkan orang beraktivitas disini. Dengan hati jengkel, aku merogoh kantong celana. Selembar uang yang tadinya sengaja kubawa untuk berjaga-jaga pun kuangsurkan ke tangannya. Sebenarnya hatiku tak rela. Bukan semata-mata masalah uangnya, tapi cara laki-laki itu "memalak" itulah yang kubenci.

"Tiap bulan muda aja Ibu kasih uang ke saya. Habis itu Ibu saya jamin aman buang sampah disini," katanya sambil tersenyum. Tapi sayangnya, menurutku senyum itu mirip senyum "lucifer".  No way! Cukup kali ini saja aku terpaksa pasrah "dipalakin" (daripada harus membawa kembali kantong sampah ke rumah). Aku menggerutu dalam hati sambil bergegas meninggalkan tempat itu.

Mau tak mau setelah ini, aku harus memikirkan cara agar kantong-kantong sampahku aman dari jarahan pemulung dan kucing-kucing tak bertuan, hingga saatnya diangkut oleh petugas sampah yang kehadirannya tak menentu. Mungkin dengan membuat bak sampah bertutup berikut gemboknya? Ckckck...


Pondok Gede - 16102013

Rabu, 16 Oktober 2013

"A shoulder to Cry On"





Dia pernah merasa bahwa semua baik-baik saja. Bahwa segala yang ada sama dengan yang diharapkannya. Dan ia berpikir ; Betapa Sang Maha Cinta telah begitu bermurah padanya. Maka sedikit jumawa tumbuh pada hatinya. "Hei, tidakkah kalian lihat... Sang Maha Cinta telah anugrahkan yang terbaik  bagiku. Aku bahagia. Tiada tara..."

Tapi tahukah ia. Bahkan sungai tak selalu mengalirkan air yang tenang, laut tak selalu diam menghanyutkan, angin tak selalu semilir menenangkan. Begitulah. Suatu waktu ia menyadari tidak semua yang ada baik-baik saja. Kali ini adalah saatnya ; Sungai menghantar airbah, gelombang laut geram menghantam, angin berpusar menggulung debu...

Maka airmata kini setia menyapanya. "Mengapa segenap percayaku tiba-tiba cabik disisi-sisinya,"  keluhnya. "Manalah pernah kusangka, kisah itu tertera juga dalam lembar hidupku?"  Sesak hari karena luka hati. Ia mengeluh dan lusuh.

Badai itu mendatanginya jua. Saat ia merasa segalanya telah sempurna. Lalu kemana harus dilarikankannya sedih, airmata, dan duka? Orang alim berkata, mengadulah kepadaNYA... Ya, ia memang menyertai doa-doanya dengan derai tangis pengaduan kepada Yang Maha Pencipta. Tapi, tetap ia pinta sedikit kata dan suara  yang mampu menguatkannya... Tempat terbuang sedikit laranya, seperti air sungai yang menghendaki muara tempat bersua dengan samudra ; Seseorang yang berhati untuk memberi simpati, bertelinga untuk dengarkan kisah duka, bersuara untuk berikan kata penegak jiwa.

Ia menemukan pencariannya, dan dengarlah ia berucap : 

"Tersengal tangis, terbata-bata aku tumpahkan semua duka, luka dan sesalku. Pun engganku menyongsong lagi esok hari. Ucapku tak jelas disela isak... Bersyukur aku, karena kau mendengarkan aku. Meskipun untuk itu aku harus mencuri waktumu, kau harus menyisih sejenak dari ruang yang meminta hadirmu... Lebih banyak hening ada padamu, karena kau berikan sepenuhnya pendengaranmu untuk tuturku yang tak teratur."

"Tak semua katamu sesuai untukku. Tapi untuk kau tahu, hadirmu saat mendengarkan aku dengan segala lara,kecewa dan putus asaku, adalah yang terindah kala itu. Sedikit saja kata-katamu, tapi membuatku merasa tak sendiri menanggung duka. Aku bersyukur atas adamu, walau dirimu hanya berwujud suara, kata dan sejuta telinga bagi pelabuhan resah rasa."

Dan hari ini, ia mampu tegak jalani hari karena yakin tak sendiri...

"... cause everyone needs a shoulder to cry on, everyone needs a friend to rely on... "
(Tommy Page)


Pondok Gede - 16102013

Selasa, 15 Oktober 2013

"Pulang ke Kotamu"


 

 Telah terbit di LeutikaPrio!!!

Judul : Pulang ke Kotamu *)
Penulis : R. Nindhita
Tebal : iii + 131
Harga : Rp. 33.200,00
ISBN : 978-602-225-751-6



Petikan Kisah :



Handi mengucap syukur, bahwa tanpa kehadiran Ranti pun dua pemuda yatim piatu itu tetap menjadi anak-anaknya. Merekalah yang mengabadikan jejak kenangan cinta kasih antara dirinya dengan Ranti di kota itu. Kenangan itu pula yang mengawal janjinya untuk selalu setia menjaga Alif dan Dio mengarungi hari hingga saatnya ia pergi menyusul Ranti ke rumah abadi. ("Pulang ke Kotamu")

"Almarhumah ibuku adalah istri kedua Papa, Vi. Aku tak bisa membayangkan, apa perasaan Mama Dewi jika beliau tahu apa yang terjadi antara kita berdua...," kata Alif kepada Devi pada suatu kesempatan. ("Cinta yang Tak Biasa")



PS : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox FB dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0819 0422 1928. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia. Met Order, all!! ^^v
 
*) Kumpulan Cerpen berisi 19 cerpen dan prosa. Semuanya adalah tentang cinta dalam berbagai jenis, bentuk dan warna cinta. Beberapa diantaranya pernah tampil di blog ini.  "Pulang ke Kotamu"  adalah cerpen utama dalam kumcer ini, dengan sequel-nya cerpen "Cinta yang Tak Biasa".