Sabtu, 12 Desember 2015

Ranah Seribu Bukit




Nagari sunyi. Desa ini amatlah indah. Sekelilingnya adalah gunung dan ngarai. Sejuk, meski kata ibu mertuaku sudah tak sedingin dulu. Pagi, aku masih melihat kabut mengambang diatas persawahan. Disisi lain, gunung Singgalang memancarkan warna keemasan pada tubuhnya karena curahan sinar mentari pagi. Sementara gunung Marapi lebih sering bersembunyi dibalik awan. Allahuakbar, lengkap sudah pemandangan dan suasana langka yang tak mungkin kami temui di Jabodetabek....

Di nagari ini, rasanya jarum jam berputar lebih lambat.... Hening. Sehening dan sediam rumah-rumah kayu yang sebagian besar ditinggalkan oleh pewarisnya merantau. Entah ke Padang, Medan, Jakarta.... bahkan kelain benua. Dan tinggallah rumah-rumah itu dalam sepi... Jendela kaca berbingkai kayu, berhias tirai putih itu mungkin hanya sesekali terbuka. Mungkin disaat liburan panjang atau kala dilaksanakan perhelatan adat... Setelah itu, jarum jam kembali bergulir pelan, tak secepat jarum jam dirantau.

Maka tinggallah desa ini bersama para penghuni. Datang dari sebelah, yang kadang pula tak berakar. Sementara pemilik akar telah menyebar kesegala arah... Tidakkah itu disayangkan? Nagari yang sepermai ini ditinggalkan dalam sepi... Sementara dibalik sana ada manusia lain yang begitu ingin berurat dan berakar disini....

Singgalang, Marapi, tebing-tebing ngarai... Mereka adalah saksi dan penjaga sebuah nagari sunyi... Indah permai, tapi ditinggalkan. Bersendiri dalam naungan dingin dan kabut...

Koto Gadang / 01062014