Kamis, 19 September 2013

Sepucuk Surat Tak Bernama



Ajaib....! Aku seperti menemukan harta karun ketika membuka bungkusan bawang merah yang pagi tadi kubeli dari tukang sayur langgananku. Kertas pembungkus bawang itu, kertas hvs putih polos, ada tulisan tangan dan banyak coretan diatasnya. Tulisan dengan tinta biru, berhuruf kecil-kecil rapi khas perempuan. Tapi sayangnya tak ada nama penulisnya.

Sayangnya lagi, surat itu seperti terputus, belum mencapai kalimat penutup. Alinea terakhir bahkan huruf-hurufnya tak serapi sebelumnya. Mungkin si penulis itu menulis dengan tergesa-gesa, atau sudah kehilangan konsentrasinya.

Mau tahu isi surat tak bernama itu? Ini dia ;

Adikku, setelah tadi aku bicara panjang lebar kepadamu. Aku punya harapan agar kamu mengerti dengan apa yang aku katakan. Tapi Mungkin melalui perantaraan suara ada banyak kata yang terlewat, terulang, tidak tersusun dengan baik. Karena itu aku akan mengulanginya melalui aksara, agar lebih jelas dan terang apa yang ingin kukatakan kepadamu.

Gadis, neng geulis..... Sangat tinggi harapanku kepadamu, agar sesama perempuan kamu bisa dan mau menempatkan diri, ber-empati ; Bagaimana jika suatu hari kelak ketika kamu sudah berumahtangga, kamu mengalami seperti apa yang terjadi pada diriku sekarang. Ketika tahu bahwa ada orang lain diantara kita dan suami kita. Bagaimana resah dan sakitnya hati kita...

Dik, kamu masih muda. Perjalanan kamu masih teramat panjang. Masih banyak hal dalam hidup ini yang belum kamu ketahui dan jalani. Dengarlah kataku ; Kamu membuang waktu jika kamu terpaku pada lelaki yang sudah berkeluarga, dan sudah jelas dia tidak bisa menjadikan kamu istri, sekalipun istri kedua seperti yang kamu minta padanya.

Gadis..., kamu muda. Kamu cantik dan pintar. Aku yakin jika saja kamu membuka hati, akan banyak lelaki lajang sebaya kamu yang mengharapkan hatimu jatuh padanya. Percayai itu! Hanya saja pesanku ;  Jangan sekali-sekali kamu membandingkan mereka dengan suamiku. Suamiku menjadi seperti apa yang kamu lihat sekarang, itu melalui proses yang panjang. Dia menjadi orang yang kamu kagumi dan cintai, dia menjadi lelaki yang matang, pasti sedikitnya karena ada peranku disitu.

Dan itu tidak akan kamu temui pada lelaki yang seumur kamu. Justru nanti, setelah lelaki muda itu menjadi suamimu, kamu yang akan membantunya dan berperan  menjadikannya lelaki  matang dan dewasa seperti suamiku sekarang. Jangan pernah berpikir bahwa suamiku, belasan tahun yang lalu, sama seperti dia saat ini. Semua butuh proses, Dik. Dan itu seharusnya yang kamu lalui.

Dengarlah saranku, Dis. Kamu harus move on. Lupakanlah suamiku. Lihatlah disekitarmu masih banyak lelaki muda lajang yang potensinya jauh melebihi suamiku. Salah satu dari mereka akan mampu menjadikan kamu sebagai perempuan satu-satunya di hatinya. Tidak seperti suamiku sekarang, yang sudah jelas beristri aku dan ada anak-anak di belakangku.

Gadis, aku tahu kamu sakit. Tapi apakah karena sakitmu itu, kamu harus dapat excuse untuk, maaf, 'mengharapkan cinta dari suami perempuan lain' ?  Aku rasa tidak seharusnya begitu. Sakit itu datang dari Tuhan..... Yang memberi kesembuhan juga pasti Tuhan.... Aku yakin kamu percaya itu, karena kamu rajin beribadah. Jadi bukan cinta dan perhatian serta ketergantungan dan kemanjaanmu pada  suamiku yang akan membuat kamu sembuh seperti  yang kamu kira selama ini. Sadarilah itu.

Neng geulis... Dengarkan aku. Kamu harus move on, Dik. Lupakan suamiku. Dia bukan masa depanmu...

Tak terasa mataku berkaca-kaca membacanya. Tapi siapakah gerangan penulis surat ini, yang begitu ceroboh membiarkan suratnya jatuh ke tumpukan kertas-kertas bekas yang dipakai untuk membungkus sayur? Salah satu istri yang tinggal di komplek inikah? Mungkin besok iseng-iseng aku akan bertanya kepada Pak Sayur, darimana dia mendapatkan kertas-kertas pembungkus sayur itu... (Haddeuuhh.... Kok jadi kepo ya...?).


Pondok Gede - 19092013