Jumat, 31 Mei 2013

"PINTAR"



Atas nama pendidikan, dimana keberhasilan pendidikan (atau pengajaran??), diwujudkan dalam bentuk nilai kuantitatif. Maka dengan keukeuh dan pongahnya pemerintah RI, yang pemangku jabatannya terdiri dari orang-orang 'pintar' ini memaksakan diri untuk melaksanakan UN. Tak peduli dengan sengkarutnya pelaksanaan UN, beban psikologis yang harus ditanggung oleh anak-anak karena ujian yang tertunda sekian hari, pemerintah dengan bangga menunjukkan angka-angka statistik tentang 'keberhasilan' UN yang diwakilkan dalam angka.

Sesungguhnya aku meragukan kebanggaan para pejabat itu. Apakah mereka bangga akan keberhasilan anak-anak didik dalam menjalani UN itu, atau sebenarnya mereka jemawa dengan diri mereka sendiri yang telah berhasil melaksanakan (atau memaksakan??) hajat UN?

Dan sesungguhnya pula, aku secara pribadi, tidak begitu terpukau dengan kepintaran yang diwakilkan dalam bentuk angka-angka absolut, dan terlebih lagi disematkan pada bidang ilmu tertentu. Dimana sejak dulu kala, yang disebut anak sekolah pintar adalah mereka yang mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran matematika dan fisika atau kimia. Begitu tingginya kasta pelajaran ini, sehingga jika seorang murid mendapat nilai 11 atau 12 pun (lebih dari 10) dalam pelajaran ekonomi, akuntansi, sosiologi, bahasa, ia tetap tidak dianggap sepintar mereka yang bernilai 10 dalam pelajaran eksakta.

Aku sebenarnya senang dengan penemuan teori "Multiple Intelligence" yang dilansir oleh Howard Gardner. Bahwa kecerdasan itu ada 8 macam, dan matematika hanyalah salah satu dari delapan jenis kecerdasan yang ada. Tapi sejauh mana dunia pendidikan di RI  mampu meng-adopsi hasil pemikiran Gardner ini? Jikalah tak ada suatu terobosan besar, maka tetaplah 'nilai absolut' yang menjadi 'tuhan' dalam dunia pendidikan. Padahal yang disebut  pendidikan adalah juga mencakup proses, yang termasuk didalamnya moral, perilaku dan budi pekerti. Jadi bukan hanya ber-orientasi pada hasil.

Ada baiknya jika kita baca tulisan seorang praktisi pendidikan tentang makna 'pintar' ;

REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
"Meluruskan Makna Pintar"

Andai masih hidup, Hoegeng Imam Santoso pasti merasa bangga menyaksikan aksi heroik 3 siswa SMP yang berhasil gagalkan aksi pemerkosaan. Mantan Kapolri yang terkenal jujur hidupnya itu pernah berujar, Jadi orang penting itu baik. Tapi yang jauh lebih penting adalah menjadi orang baik.

Aziz (15), Abdulrahman Assegaf (13), Ilham (13) tak punya posisi penting apapun. Mereka berani ambil risiko untuk menyelamatkan korban pemerkosaan. Alih-alih menerima uang suap dari pelaku untuk berdamai, mereka malah tolak mentah-mentah uang suap dan langsung menggelandang pelaku ke pihak berwenang. Kalau bukan karena nurani dan setia pada kebaikan, mustahil mereka ambil pilihan itu. Sikap hebat yang mestinya dilakukan orang-orang penting di negeri ini.

Apresiasi membanjiri mereka. Bahkan, beberapa lembaga, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kemdikbud, dan Kemenag memberikan beasiswa dan laptop. Mereka dielu-elukan sebagai sosok pahlawan. Jika ketiga anak muda ini diberi banyak penghargaan, itulah apresiasi, tak ada yang salah dengan situasi ini.

Kesalahan baru terjadi ketika inspirasi ini tak dikelola agar merangsang anak muda lain untuk melakukan hal serupa. Dan, inspirasi seperti ini mestinya disistematisasi dan dilembagakan lewat kerja pendidikan di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Mengapa demikian? Karena inilah tujuan pendidikan hakiki, melahirkan manusia cerdas bernalar dan berbudi pekerti. Tak boleh salah satunya, harus kedua-duanya, cerdas dan berakhlak mulia. Tak boleh ada kompromi.

Layakkah Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham digelari anak pintar? Saya bisa paham jika kita agak ragu untuk menyepakati bahwa mereka anak pintar. Karena pintar ini cenderung menjadi milik orang-orang tertentu. Orang pintar itu juara kelas. Orang pintar itu juara olimpiade matematika dan sains.

Tak ada yang keliru dengan gelar pintar itu, namun dimana ruang bagi anak-anak seperti Aziz, Assegaf, dan Ilham mendapat apresiasi tulus sebagai anak baik yang punya karakter kuat mau bermanfaat bagi sesama? Tak sekadar menjadi juara bagi diri sendiri. Tapi bersedia berbuat baik untuk sesama.

Orang tua mati-matian menyekolahkan dan mengikutkan anaknya les privat agar menjadi anak pintar. Guru elu-elukan anak pintar habis-habisan. Sekolah beri beasiswa hanya untuk anak pintar. Kita tak pernah kritis, untuk apa anak pintar dilahirkan?

Apakah anak pintar ini hebat untuk dirinya sendiri atau bersedia membagi kepintarannya agar bermanfaat bagi banyak orang? Pintar, makna katanya menjadi sangat sempit, khusus digelari bagi individu-individu yang encer otaknya saja. Soal budi pekertinya, itu persoalan lain, terkesan tak ada hubungan sama sekali. Tak terintegrasi, itu kata lainnya.

Andai kisah ini tak diekspos media, mungkinkah ketiga anak muda ini mendapat perhatian publik? Saya selalu merasa khawatir, kisah heroik seperti ini mudah dilupakan. Atas dasar apapun, melupakan nilai-nilai hidup dari kisah tiga anak muda adalah kekeliruan terbesar bagi kita semua. Institusi keluarga, sekolah, dan masyarakat hendaknya segera tergerak untuk merancang sistem untuk melahirkan anak-anak pintar semacam Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham.

Orang tua harus segera mengubah cara pandang tentang sosok anak pintar. Pintar itu bukan juara kelas saja, pintar itu bukan nilai matematika 9 di rapor, pintar itu bukan semata bisa jadi juara olimpiade, pintar itu berfokus pada kualitas nilai manfaat diri sendiri untuk orang lain. Bukan simbol-simbol semu (angka, prestise, dsb) yang merangsang keangkuhan dan tak melahirkan kebaikan dari si empunya kepintaran untuk banyak orang. Semakin pintar, semakin banyak manfaat bagi sesama. Bukan sebaliknya, semakin pintar tapi semakin ngakali orang lain. Sadarilah hal ini sejak dini.

Jika sekolah sungguh-sungguh hendak lahirkan sosok Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham lainnya, sekolah harus segera menyadari kelemahan dalam menilai siapa sebenarnya murid pintar itu. Jika pintar itu juara kelas, dan hanya satu orang saja yang layak duduk di singgasana, bagaimana perasaan anak lain yang tak pernah bisa duduk di singgasana?

Berikan ruang apresiasi bagi murid yang punya inisiatif untuk bersikap jujur, selalu tepat waktu masuk kelas dan mengerjakan tugas, dan segenap perilaku baik yang kadung selalu disepelekan. Praktikkan sikap tegas bagi para pelaku kecurangan dan tak disiplin di sekolah agar ada efek jera. Kepala sekolah, guru, dan orangtua musti kompak memberikan keteladanan.

Mari cermati secara seksama, berapa banyak sekolah yang memberikan penghargaan bagi anak jujur, anak disiplin, anak pekerja keras, dan anak yang punya karakter lainnya? Nol besar. Sebaliknya, hadiah istimewa selalu tertuju untuk anak juara kelas, juara olimpiade matematika, juara olimpiade sains, dan juara-juara yang mampu tunjukkan kehebatan kapasitas otak mereka.

Mereka selalu dielu-elukan karena menjadi kebanggaan orangtua, guru, dan sekolah. Spanduk dan baliho besar terpampang jelas di depan gedung sekolah, Selamat atas sukses menjadi juara... Sekali lagi, tak ada yang salah dengan semua ini. Namun ingat, ketika ada bahkan sebagian orang pintar yang tega berbuat korupsi dan manipulasi, bolehlah kita merenung sejenak, untuk apa orang pintar macam ini? Jangan sampai dunia pendidikan nasional melahirkan orang-orang pintar yang tak paham untuk apa dan untuk siapa kepintarannya.

Alih-alih menghargai perilaku baik, yang terjadi murid malah tak dicegah untuk mencontek dan berbuat curang. Disiplin untuk tak disiplin malah dibudayakan. Ujung-ujungnya sistem persekolahan ikut menghancurkan karakter anak-anak bangsa. Yang memilukan, jangan-jangan hal ini bukan tanpa disadari dilakukan, tapi direkayasa oleh pihak yang menghendaki sistem sekolah mandul untuk melahirkan anak-anak pintar nan berkarakter.

Pintar oh pintar, pilu hati ini karena maknamu telah direduksi oleh pihak-pihak yang merasa pintar.

Pintar itu harus lahir dari sistem pendidikan yang punya niat penuh kebaikan, dikelola dan berproses dengan spirit nilai-nilai kebaikan, dan melahirkan orang-orang baik yang menebarkan kebaikan untuk segenap makhluk di muka bumi ini.

Adalah kebaikan ketika kita menjadi orang pintar. Tapi kepintaran sejati adalah ketika kita menjadi orang baik, terkenang selalu pesan dari guru kehidupan saya.


Pondok Gede - 31052013

Kreativitas Dalam Sepotong Roti




Entah mengapa, dalam beberapa hari ini aku seperti 'ngidam' roti bakar. Mungkin karena lambung dan pencernaan yang agak kurang bersahabat akhir-akhir ini. Kegemaranku terhadap rasa pedas cabe dan harumnya kopi seperti harus dihentikan sementara. Dampaknya, aku kemudian mencari-cari satu jenis makanan yang mampu membangkitkan semangat mengunyah. Maklum dengan kondisi perut yang tak nyaman, tentunya membuat selera makan bermigrasi entah kemana.

Setelah berkali-kali menimbang dan memilih, seleraku mengarah pada makanan bernama 'roti bakar'. Yup....! Memikirkan roti bakar, membuat aku membayangkan setangkup roti bakar yang renyah berwarna coklat keemasan dengan olesan sarikaya yang manis... Amboi.... Dan aku tahu dimana mendapatkan makanan 'sophisticated' ini ; di sebuah gerai sarapan milik negeri tetangga sebelah. Dulu semasa aku masih berstatus sebagai 'perempuan kantoran' (hmm... Masa lalu!), aku beberapa kali pernah menikmati makanan ini. Tidak heran karena  letak kantorku dulu bersebelahan dengan arena food court yang banyak dihuni oleh gerai-gerai resto yang ekslusif dan expensive. Akan tetapi realitanya, kelas pekerja sepertiku lebih sering berkunjung ke gerai-gerai Amigos ('agak minggir got sedikit') yang terkonsentrasi di belakang gedung kantor, yang harga makanannya lebih bersahabat dengan kantong, hehe...

Maka demi menuntaskan bayangan roti bakar yang menggoda selera itu, aku bergegas mencolek Paman Google untuk mencari tahu lokasi gerai roti bakar itu. Ternyata dia ada di beberapa lokasi. Namun malang bagiku, semuanya terletak di mall dan superblok yang jauh dari rumahku. Bagiku sungguh tak masuk akal, jika hanya demi setangkup roti bakar itu aku harus menempuh jarak 15 hingga 20 kilometer, menembus belantara kemacetan dari Pondok Gede menuju Jakarta.

Termangu-mangu sendiri aku memikirkan hasrat yang tak sampai, sementara di kepala terbayang-bayang si roti bakar yang renyah menggoda. Disaat yang sama aku juga berpikir mencari alternatif lain. Roti bakar di cafe HH, atau yang di dekat rumah sakit? Lumayan dekat dengan rumah... Atau yang di gerai ET di mall terdekat? Atau... Roti bakar E yang terkenal itu, tapi wartend-nya baru buka nanti sore?

Di tengah berbagai alternatif itu, tiba-tiba muncul bayangan roti bakar berbentuk segitiga yang tipis dan renyah dalam balutan kertas polos kekuningan. Tuing...tuing...tuing... Seperti ada bola lampu pijar yang mengelilingi kepalaku. Ini dia! Dan kenanganku pun lalu melayang ke masa kuliah dulu.

Dulu semasa kuliah aku kost 'all in'  di rumah sebuah keluarga yang baik hati di dekat kampusku. Dengan status 'all in' itu, artinya selain cuci setrika, kami (berempat orang, dua kamar) juga mendapat fasilitas makan tiga kali sehari. Itu belum termasuk berbagai snack jika ibu kost baru mendapat oleh-oleh dari kerabatnya, atau beliau sedang rajin membuat penganan di sore hari.

Untuk sarapan pagi, biasanya ibu kost menyediakan nasi goreng atau yang paling sering adalah roti tawar lapis mentega dengan isi coklat beras (meises). Nah, dari sinilah kenangan itu bermula.

Dengan menu sarapan yang nyaris sama setiap hari, kadang perut mahasiswa kami  merasa jenuh juga. Seringkali menu roti itu kami tinggalkan dan kami memilih mencari sarapan di luar. Akibatnya roti-roti itu bertumpuk saja di meja kecil samping tempat tidur. Mau dibuang tentu sayang, mengingat orangtua kami yang setiap bulan mengirim biaya bulanan untuk mendukung cita-cita kami menjadi sarjana....halaaahh...

Berpikir dan berpikir, tiba-tiba seorang teman kost memiliki ide brilian untuk menyelamatkan roti-roti itu dari tempat sampah. Dan ini menjadi bukti, bahwa dalam keadaan kepepet biasanya akan muncul pemikiran 'out of the box', kreativitas yang tak disangka-sangka.

Dengan modal alat setrika listrik yang kami miliki di kamar masing-masing, teman kami itu berkreasi membuat roti bakar dengan bantuan setrikaan listrik tadi. Pertama, ia membungkus roti berolesan mentega dan coklat itu dengan kertas polos putih kekuningan yang pada masa itu kami gunakan untuk buram atau coret-coretan, yang harganya lebih murah daripada kertas hvs. Lalu dengan santainya ia memanaskan setrikaan listrik. Setelah dirasa cukup panas, setrikaan itu ia tumpangkan di atas bungkusan roti tadi. Tunggu beberapa menit sampai roti cukup gepeng, tipis dan kering. Dan....this is it.... Jadilah roti bakar renyah gepeng tipis ala anak kost...!

Sejak saat itu, setrikaan dan kertas buram itulah yang menjadi penyelamat. Lumayan, roti tawar yang menjenuhkan itu bisa menjadi camilan dikala senggang... Tapi tentu saja, tidak setiap saat kami bisa membuat roti bakar itu. Yang jelas kami tidak pernah 'berkreasi' membuat roti bakar itu pada malam hari, khawatir jika karena setrikaan itu listrik rumah ibu kost turun sekring-nya karena kelebihan beban...hihi...

Aku tersenyum sendiri mengingat kreativitas "luar biasa" dari teman kostku dulu. Dan, eh, kenapa aku tidak mencoba membuatnya juga sekarang, daripada aku terus mengidamkan roti bakar sarikaya dari negeri sebelah itu? Tapi, upps... Aku tidak punya stok roti tawar. Penjual roti keliling hanya lewat pagi tadi atau malam nanti. Masa aku harus menunggu sampai malam? Ah, beli saja di minimart di luar komplek. Jalan sedikit okelah...
Bergegas aku menyambar dompet, mencari sandal dan membuka pintu... Oalah, baru saja hendak membuka pagar, hujan turun mendadak dengan deras tanpa didahului gerimis... Duuh, rupanya aku masih harus bersabar untuk bisa mengunyah roti bakar yang kuidamkan...


Pondok Gede - 31052013


*) Di-dedikasikan untuk kak Winda, si pemilik ide 'roti bakar setrika'

Jumat, 17 Mei 2013

Mother, Now I Have Only Your Memory



Saat membuka kembali catatan lama. Aku menemukan tulisan ini. Aku ingat, pada semester pertama (atau kedua?) kuliah, dosen bahasa Inggris yang muda dan cantik membawakan tulisan yang aslinya dalam bahasa Inggris untuk diterjemahkan bersama. Pertama mendengar Bu Dosen membacakan naskah ini saja, mataku sudah berkaca-kaca. Sayang, asli naskah dalam bahasa Inggris (yang berupa lembaran fotokopi) dari Bu Dosen sudah hilang entah kemana. Yang tersisa di catatanku hanya naskah yang sudah kuterjemahkan sebisaku dalam bahasa Indonesia. Seperti ini :

Ibu, aku tak pernah melupakan saat-saat ketika aku hendak meninggalkan Jakarta untuk menuju Amerika. Di kamarmu waktu itu engkau memelukku erat, sementara kendaraan yang akan membawa kami - aku, suami dan anakku - telah menunggu cukup lama. Hatiku tersayat, aku merasa takut tak akan dapat bertemu lagi denganmu. Di atas pesawat terbang yang membawa kami ke Amerika, aku masih dapat mengingat dengan jelas pesanmu : "Jangan terpaku pada apa yang telah engkau tinggalkan, lihatlah ke depan dan jadilah wanita yang berani dan tegar. Semoga Tuhan melindungimu, anakku!"

Karena itu setiap pesawat transit, aku selalu mengirimkan postcard untukmu. Dan sesampainya kami di tempat tinggal yang baru, Los Angeles, aku menulis surat berlembar-lembar untukmu. Aku ceritakan betapa terpesonanya aku berada di negara baru. Kuceritakan juga kepadamu tentang segala hal yang baru kutemui di Amerika. Tentang hotdog, hamburger dan french fries, tentang sistem pembuangan sampah yang rapi, dan tentang mesin penyedot debu.

Ibu, aku sengaja tidak bercerita kepadamu bagaimana putus asanya aku ketika aku tidak berhasil memperoleh pekerjaan. Saat itu aku berkali-kali ditolak bekerja karena aku tidak memiliki pengalaman, dan juga karena bahasa Inggris-ku tidak begitu baik. Waktu itu aku hanya mengatakan kepadamu bahwa aku belum bekerja karena harus mengikuti beberapa macam kursus. Untuk itu aku berusaha bersikap berani dan tegar seperti yang kau inginkan. Beberapa bulan kemudian aku dapat menyelesaikan kursus dan berhasil memperoleh pekerjaan. Aku ceritakan hal itu kepadamu, dan engkau membalas surat itu, mengatakan bahwa engkau sangat senang mendengar keberhasilanku itu.

Dengan dua orang yang mencari nafkah, rumah tangga kami berjalan lebih baik. Kami sudah mampu membayar kembali uang bantuan dari gereja yang kami dapat ketika kami pertamakali tiba. Memang gereja tidak pernah meminta kami untuk mengembalikan uang itu. Tapi aku merasa  berasal dari keluarga yang memiliki kebanggan tersendiri, dan aku ingin tetap menjaga kebanggaan itu.

Aku ingat waktu kami - aku dan suamiku - memperoleh rumah sewaan dengan barang-barang yang kami beli sendiri. Aku merasa amat bahagia, senang, sekaligus bangga. Dimalam-malam yang hening, aku duduk sendiri di teras rumah, dan aku terkenang kepadamu. Betapa aku merindukanmu, Ibu. Tak terasa airmata bergulir, mengalir dipipiku.

Ibu, kami sangat berbesar hati dapat mengundangmu berkunjung ke Los Angeles setelah tujuh tahun kami tinggal di kota itu. Aku ingat, betapa terkejutnya aku ketika melihatmu di bandara. Engkau tampak jauh berbeda dengan saat-saat kutinggalkan dulu. Engkau tampak jauh lebih tua dengan rambutmu yang mulai memutih. Selama tiga bulan kunjunganmu di Amerika, kami mencoba menunjukkan kepadamu hal-hal yang mungkin tidak dapat kau temui di Indonesia. Mulai dari pintu garasi otomatis, drive in car wash, garage sale, hingga membawamu ke Disneyland.

Pada waktu itulah engkau menceritakan kepadaku bagaimana hancurnya hatimu waktu Ayah meninggal dua bulan sesudah kepergianku ke Amerika. Setelah itu engkau hanya memohon kepada Tuhan agar dapat berjumpa denganku walau sekali sebelum engkau dipanggil olehNYA.

Aku tahu engkau berusaha keras menahan tangis ketika kami mengantarmu ke bandara untuk kembali ke Indonesia. Aku mengerti hal itu karena engkau tak ingin melihatku turut bersedih dan menangis. Tapi sebenarnya aku tidak merasa sedih waktu itu. Aku hanya berpikir, dapatkah aku kembali ke Indonesia untuk menjengukmu dalam satu atau dua tahun mendatang.

Ibu, ternyata Tuhan mengijinkan aku untuk menimang buah hati lagi. Aku hamil beberapa waktu setelah engkau kembali ke Indonesia, sehingga aku membatalkan rencanaku menjengukmu di Jakarta.

Setelah itu dalam surat-suratmu, engkau mengutarakan tentang kesehatanmu yang terasa tak sebaik dulu lagi karena usia yang semakin bertambah. Tapi setelah itu kau selalu berkata agar kami tak perlu cemas, karena semuanya tetap berlangsung seperti biasa. Akhirnya ketika aku menerima suratmu yang terakhir, aku tahu ada sesuatu yang terjadi pada dirimu. Suratmu jauh lebih pendek dari biasanya. Aku menduga kesehatanmu memburuk, dan mungkin engkau berusaha keras untuk dapat menulis surat itu.

Ada demikian banyak hal yang ingin kunikmati bersamamu, Ibu. Bagaimana kami menikmati kacang kapri hasil panen pertama kebun kebun kami. Bagaimana bayi kami mulai bisa berceloteh dan merangkai kata. Tapi sebelum aku dapat menuliskan semua itu untukmu, engkau telah menghadap Tuhan meninggalkan kami semua.

Ibu, hatiku tersayat manakala aku membuka kotak surat dan menyadari tak akan ada lagi surat darimu.
Meskipun aku telah menjadi seorang ibu bagi anak-anakku, aku masih menginginkan Ibu untuk diriku sendiri. Aku merasa sendirian kini. Tak ada seorang pun yang dapat menggantikan dirimu dihatiku. Kini aku hanya dapat mengenangmu, Ibuku yang bijaksana dan sempurna. Aku berharap bisa menjadi seorang ibu seperti dirimu. Aku selalu mencintaimu.


Ditulis ulang di Pondok Gede - 17052013


- Saduran bebas dari "Mother, Now I Have Only Your Memory"  oleh Ellen Ho, Los Angeles Times - 21 Oktober 1981.
- Pernah dimuat di majalah internal Bank BNI, Desember 1994.