Sabtu, 28 Januari 2012

Surat Untuk Suamiku

Apa reaksi kita ketika mendengar seorang lelaki beristri lebih dari satu? Sebagian besar dari kita mungkin akan berkomentar ; "Ah, dasar laki-laki, nggak bisa membiarkan yang bening-bening lewat....". Lalu bagaimana pendapat kita tentang istri pertama : "Kasihan ya..., padahal kan ...bla...bla...bla....".  Pendapat tentang istri kedua, pasti tak jauh dari kalimat seperti ini : "Perempuan tak tahu diri, perusak rumahtangga orang....."  Yang pasti, jarang, atau bahkan tak pernah orang berkomentar enak tentang istri kedua dan suami yang beristri lebih dari satu.
Tapi bagaimana komentar kita, jika kondisinya seperti yang ada dalam surat seorang istri kepada suaminya di bawah ini? Apakah kita masih berpendapat seperti yang tertulis di atas tadi?



 SURAT UNTUK SUAMIKU
Suamiku yang terkasih,
Kutulis surat ini pada suatu malam yang mungkin saja merupakan malam terakhirku menghirup nafas dialam fana ini. Aku berterimakasih pada Allah, yang malam ini telah berkenan memupus sedikit rasa sakitku, sehingga aku mampu duduk menulis surat ini, sambil memandang bulan yang sedang bulat benderang melalui jendela kamarku. Bulan itu pastilah bulan yang sama, yang dapat kau tatap pula di rumah mana kau berada saat ini.

Suamiku yang kucintai,
Kalaulah ada rasa syukur yang sedemikian besar yang pernah dimiliki oleh perempuan. Maka akulah salah satu perempuan yang memiliki itu. Syukurku tak terkira karena atas ijinNya aku diberi kesempatan untuk menikmati cinta dan sayang darimu, dijelang senja usiaku. Setelah sepuluh tahun aku mengenalmu, maka lima tahun berikutnya  adalah saat aku bersamamu, menjalani hari, bulan dan tahun tanpa selalu ada hadirmu. Suatu keadaan yang telah kusadari dan kupahami seutuhnya sebelum aku memutuskan menerima dirimu sebagai imamku yang baru.
Ingatkah kau waktu itu, senja hari,  didalam ruang senyap dengan aroma obat  yang semerbak menerpa hidung, aku menangis hingga kuyup wajahku. Betapa saat itu aku merasa bahwa kau adalah orang yang dikirim olehNya untuk menopangku dari kejatuhan nyala jiwa, yang tak bisa lagi tegak sejak kepergian ayah dari anakku untuk selamanya. "Kalau kau perbolehkan, aku ingin menemani dan membantumu. Untuk itu, aku memintamu untuk menjadi istriku..." Kalimat itu kau ucapkan dengan sungguh-sungguh, hingga aku menangis karena terharu  dalam rengkuhanmu.

Suamiku tersayang,
Akhirnya, atas nama kedekatan yang telah tumbuh sejak lama, sejak hari itu, aku menjadi halal bagimu, dan kau pun halal bagiku. Tak perlu bagiku untuk meminta terlalu banyak darimu. Karena aku sadar, telah begitu banyak yang kami terima darimu.   Hingga aku tak lagi peduli, meskipun penyatuan kita tak melalui koridor aturan manusia yang seharusnya, walaupun benar dimata Sang Pencipta. Pun, meski aku bukanlah perempuan utama yang ada dalam kehidupanmu. Yang kami berdua tahu, kasihmu yang luas dan tulus, mampu menyalakan kembali pijar semangat dan keriaan pada kami. Padaku yang limbung karena kehilangan sandaran hati, dan pada anakku semata wayang yang bingung dengan kepergian sosok panutannya.

Suamiku, lelaki yang berhati seluas samudra.
Layaknya lautan, hati dan kasihmu adalah tempat kami berdua menumpahkan segala gerah dan resah. Ketahuilah, kehadiranmu diantara kami pada serpihan waktumu adalah anugrah bagi kami berdua. Menantimu muncul diambang pintu setelah sekian waktu berlalu, seperti kami menantikan mendung sirna oleh angin. Saat-saat bersamamu bagai masa emas yang amat berharga, hingga kuinginkan waktu bisa membeku, agar kami bisa didekatmu lebih lama, sesuka hatiku. Dan saat kau melangkah meninggalkan ambang pintu, kami adalah dua manusia kehilangan pegangan, yang tertinggal pada malam pekat tanpa bulan dan bintang. Begitu terjadi berulang-ulang, hingga tak terasa bertahun lamanya telah terjelang.

Suamiku tercinta,
Lima tahun kebersamaan kita, membawaku  pada kesadaran bahwa Allah sangat menyayangi diriku dan anakku. Disaat kami limbung dan kehilangan pegangan, Dia tumbuhkan rasa kasih dan sayang, juga naluri untuk melindungi pada dirimu. Sehingga kau tergerak untuk memberikan rasa itu kepada kami berdua, tanpa syarat apapun. Dan aku semakin yakin, bahwa tiada suatu kebetulan yang terjadi didunia ini. Bahwa setiap peristiwa dan kejadian adalah rangkaian titian menuju takdir dan nasib. Seperti pertemuan kita dulu, yang kemudian tumbuh menjadi sebuah persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Rupanya semua itu adalah jalan menuju sebuah ketentuan, bahwa kau adalah  penolong dan tumpuan hatiku setelah aku kehilangan tiang yang pertama.
 
Suamiku yang berhati tulus,                                        
Andaikan kau tahu, betapa besar rasa syukurku dengan hadirmu dalam kehidupan kami berdua. Betapa besar pula rasa terima kasihku kepadamu yang tulus memberi perhatian, kasih sayang dan perlindungan dalam bentuk apapun. Sementara aku hanyalah perempuan yang tak lagi bisa memberimu kebahagiaan secara utuh ditengah sakit yang menderaku setiap waktu. Aku hanya mampu membalas dengan cinta, kesetiaan dan pengabdian selama aku bisa. Yang apabila dihitung mungkin tak sebanding dengan apa yang kau berikan kepada kami berdua. Kau seperti lautan dan matahari yang hanya tahu kata memberi.
Suamiku yang penuh kasih,
Mungkin waktuku tak akan lama lagi bersamamu. Aku bersyukur bahwa hadirmu memberi kebahagiaan yang sempat tercabut dari kehidupan kami berdua. Aku mencintai dan menghormatimu, karena kau sangat pantas mendapatkan itu. Terima kasih, kau telah menemani dipenghujung waktuku. Kau menghiburku dan berdoa kala rasa sakit merejamku. Kau juga menemani dan menguatkan anakku semata wayang agar sabar dan kuat menyaksikan derita tubuhku..... Kutitipkan dia padamu. Aku yakin kau bisa mendidiknya dan kelak menjadikannya seorang lelaki yang penuh kasih, berhati tulus seluas samudra seperti dirimu. Sampaikan terima kasihku yang tak terhingga kepada perempuan utamamu. Juga sebesar-besarnya permintaan maafku, karena aku telah berani meminta limpahan kasih sayang dan perhatian darimu.  Semoga Allah selalu melimpahkan cintaNya kepadamu melebihi kasih yang telah kau berikan kepadaku.

Sekali lagi, terima kasihku yang tak terhingga  atas waktu-waktu yang kau sisihkan untuk kami berdua.



Dan yang menjadi pertanyaan, adakah lelaki 'setengah nabi', seperti tokoh 'suami' pada fiksi di atas?
Pondok Gede - 23012012






Rabu, 18 Januari 2012

Bila Aku Ditinggalkan


"..... Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering. Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak bisa menghentikan tangisku waktu itu ......" (RT Dewi) *)


Sore itu, disebuah cafe didalam mall besar dibilangan pusat kota Jakarta kami duduk bertiga. Disisi kami berkerumun pengunjung yang akan menyaksikan dancing fountain, menyisakan suara bising dan memekakkan telinga. Setelah yakin bahwa rencana untuk mengumpulkan beberapa teman lama gagal, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk mengobrol saja sambil mengamati orang yang berlalu-lalang disekitar kami. Salah satu diantara mereka adalah seorang artis cantik yang terlihat mesra bersama suami bule dan anak indo-nya.

Cerita kami bertiga pun mengalir, tentang apa saja. Tentang kenangan dimasa kuliah, tentang teman-teman lama yang tak diketahui keberadaannya, tentang keluarga.....Hingga akhirnya mengalunlah cerita dari Dewi. Cerita tentang rasa kehilangan, ketika suami yang dicintainya sejak masa kuliah pergi dengan tiba-tiba 3 tahun yang lalu. "Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering. Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak bisa menghentikan tangisku waktu itu". Dewi bercerita dengan tenang, seperti layaknya ketika kami membicarakan hal-hal lainnya. Tapi aku bisa merasakan duka didalam suara lembutnya.

Dalam kepalaku berkelebat gambaran, seorang istri, yang bahkan tak tahu berapa tagihan telepon setiap bulannya, tiba-tiba harus menghadapi seluk beluk kehidupan sendirian. Membesarkan anak-anak serta menjaga dan menjalankan apa yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya.  Ah, aku miris membayangkannya. Tapi begitulah, life must go on, katanya. Sampai pada akhirnya ia sanggup tegak berdiri lagi, untuk anak-anak yang harus tetap dijaga dan dibesarkan olehnya. Namun cerita-cerita Dewi tentang almarhum suaminya, bahwa tahun ini adalah tahun ke-21 pernikahannya..... Tak dapat dipungkiri, mengisyaratkan bahwa ia belum sepenuhnya  melupakan kepergian ayah dari anak-anaknya.

Setelah itu, dalam perjalanan pulang aku berpikir. Seandainya hal itu terjadi padaku, bila suatu ketika aku ditinggalkan oleh belahan jiwa, apakah aku bisa berbuat seperti Dewi? Jika mendengar prolog bahwa suami akan keluar kota dalam waktu lama, lalu  aku merasa gamang sendirian, apakah aku bisa? Jika aku merasa ragu tak mampu membesarkan anak-anak sendirian, apakah aku bisa sekuat Dewi? Jika aku merasa tak cukup percaya diri, mampukah aku menghadapi dunia sendirian? Aku bahkan tak berani membayangkannya ..... Lalu akhirnya aku hanya berkata dalam hati : Bila boleh meminta dan memilih, biarlah aku yang pergi lebih dulu. Karena aku tak mau ditinggalkan.....     

 
Pondok Gede - 17012012

 
*) Terima kasih untuk teman RT Dewi, atas berbagi kisahnya.







Selasa, 10 Januari 2012

Tentang Ibu dan Aku

Ibuku, seorang perempuan bertubuh mungil yang ramah dan gemar menyapa. Yang kuingat, ketika aku masih diusia kanak-kanak, aku menganggap Ibu "galak". Tapi seiring dengan bertambahnya usiaku, aku makin memahami bahwa Ibuku tidak galak. Tapi memang ia adalah Ibu yang tegas.

Biasanya seorang anak perempuan lebih memiliki kedekatan dengan Ayahnya, tapi aku tidak biasa karena aku merasa lebih dekat dengan Ibu. Kepada Ibu aku bisa bercerita tentang teman-temanku, tentang sekolah, tentang kegiatan ini-itu, termasuk cerita tentang cowok-cowok yang sedang kutaksir.

Bagaimana pun, selama hidupku hingga sekarang, amat sangat banyak hal dan kenangan yang melekat dikepalaku tentang Ibu. Kejadian dan peristiwa, besar atau kecil, penting atau tak penting, akan kutulis menurut ingatanku, untuk Ibuku.




Satu
Ibu adalah seorang perempuan yang ramah dan gemar menyapa. Yang sayang sekali, sifat itu tidak menurun padaku. Kepada teman-temanku pun, Ibu tidak enggan menyapa dan berbicara, hingga Ibu hafal wajah dan nama teman-teman anaknya. Ibu justru senang jika teman-teman yang datang berkunjung kerumah kami, daripada kami yang pergi bertandang kesana kemari kerumah teman. Tak heran jika beberapa teman sangat terkesan. Beberapa tahun selanjutnya, satu dua orang teman yang kutemui lagi setelah lama tak jumpa selalu menanyakan kabar Ibuku.

Dua
Ibuku pernah menginjak bangku kuliah hingga tingkat 2 di fakultas keguruan sebuah universitas negeri di Semarang, kota dimana Ibu dibesarkan dan tinggal dimasa mudanya. Ibu mengambil jurusan Sastra Indonesia. Tidak heran jika dikemudian hari, dirumah kami banyak ditemui buku dan novel sastra karya penulis sastra Indonesia seperti Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, NH Dini, Putu Wijaya, Nasjah Djamin,  dan sastrawan sastrawati Indonesia lainnya. Buku-buku yang dibeli oleh Ibu kebanyakan adalah terbitan Pustaka Jaya. Novel favorit Ibu, yang aku tahu adalah karya NH Dini, terutama yang berjudul "Sekayu". Karena novel itu berlatarbelakang kota Semarang, kota tempat Ibu dibesarkan.
Dimasa SD dan SMP, aku sering sembunyi-sembunyi ikut membaca karya sastra dewasa itu. Beberapa yang sempat kubaca adalah roman Siti Nurbaya, roman-roman karya NH Dini, dan yang menjadi favoritku adalah roman berjudul "Astiti Rahayu" karya Iskasiah Sumarto. 

Tiga
Selain Ibu yang pernah mempelajari sastra, Bapakku juga gemar membaca. Dengan demikian  kami tidak asing dengan segala macam bacaan seperti koran, berbagai majalah dan buku-buku cerita pop dan biografi yang disukai oleh Bapak. Dari buku-buku koleksi Bapak itu aku mengenal nama Cindy Adams, SH Mintarja (dengan masterpiece-nya "Api di Bukit Menoreh"), Ashadi Siregar, Motinggo Busye, Abdullah Harahap, Marga T, La Rose dan lainnya.

Sedangkan untuk anak-anaknya, Bapak dan Ibu tidak pelit mengeluarkan uang untuk membelikan kami bacaan anak-anak (masih yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya), komik-komik wayang karya RA Kosasih, dan berbagai majalah anak-anak yang terbit pada masa itu seperti Bobo, Kuncung, Kawanku, Tomtom.
Mungkin kebiasaan membaca sejak kecil inilah yang menjadi benih bagiku untuk mencintai dunia membaca dan tulis-menulis sampai sekarang.

Empat
Aku duduk di kelas tiga SD, waktu Ibu memberiku sebuah buku diary. Aku ingat sekali, buku diary itu setebal dua sentimeter, berwarna putih dengan gambar kucing berbulu tebal dan berpita merah. Kata Ibu, aku bisa menuliskan apa saja yang aku rasakan di buku itu. Dengan demikian aku akan terbiasa mengarang dan menulis, dan setelah dewasa nanti aku bisa saja  menjadi penulis atau wartawati.
Selanjutnya aku memang rajin menulis di diary pemberian Ibu itu. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga aku duduk dibangku kuliah. Dan selama itu, aku sudah bisa menulis puisi, membuat cerita pendek, bahkan novelet..... yang waktu itu masih kutulis dengan tangan pada buku tulis bergaris (sampai saat ini aku masih menyimpan buku-buku itu). Beberapa cerpen dan puisiku bahkan berhasil dimuat di media nasional. Kebisaanku menulis itu, sedikit banyak pasti adalah hasil dari kebiasaanku menulis pada diary, atas saran dari Ibuku.....

Lima
Ibuku juga suka menyanyi dan mendengarkan musik. Koleksi kaset Ibu lumayan banyak dari berbagai  genre musik. Boleh dikata, aku mengenal musik dan lagu dari Ibuku. Mulai dari Skeeter Davis, Andy William, Matt Monroe, hingga Beatles, Bee Gees, Koes Plus, Bimbo, Eddy Silitonga, Grace Simon, Rafika Duri, Idris Sardi dan Paul Mauriat, juga Richard Clayderman. Hampir tiap pagi Ibu memperdengarkan lagu-lagu dari penyanyi lawas itu. Mau tak mau, lagu-lagu itu mampir juga ditelingaku. Membuat aku ikut bernyanyi dan penasaran ingin mengetahui apa makna dari lyric lagu-lagu itu.
Pada lagu ber-lyric bahasa Inggris, Ibu cukup sabar menerangkannya kepadaku. Hingga akhirnya Ibu memberikan kepadaku sebuah kamus kecil bahasa Inggris. Berbekal kamus kecil itu, aku menyimak lyric lagu yang dimuat di sampul kaset. Dan sejak itulah aku mulai tertarik untuk lebih banyak belajar bahasa Inggris. Hasilnya, begitu masuk SMP, bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritku (disaat murid lain membenci pelajaran ini), dan aku hampir selalu mendapat nilai tertinggi untuk mata pelajaran bahasa Inggris.

Enam
Pada masa mudanya, Ibu pernah bekerja di sebuah bank milik pemerintah di Semarang. Untuk itulah Ibu akhirnya meninggalkan kuliahnya. Ibu waktu itu bekerja di bagian tabungan (mungkin kalau dimasa sekarang disebut "teller"). Ibu tidak lama bekerja di bank itu, karena menikah dengan Bapak yang juga bekerja di bank yang sama, tapi di kota Magelang.
Mungkin karena itu,  terhadap anak perempuannya Ibu menaruh harapan agar aku dan adikku menjadi perempuan pekerja. Selama hampir limabelas tahun aku telah memenuhi harapan Ibu dengan bekerja diluar rumah, menjadi working woman dan working mom, sebelum akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja.

Tujuh
Ibuku suka dan pintar menjahit. Hingga aku memasuki sekolah lanjutan atas, Ibu masih menjahit sendiri baju seragam, baju rumah, bahkan baju pestaku. Beberapa taplak meja bersulam bunga dan lukisan tusuk silang yang terpajang didinding rumah kami adalah hasil karya tangan Ibuku. Aku heran, ketrampilan Ibu dalam hal jahit-menjahit sama sekali tidak menurun kepada dua anak perempuannya. Aku lebih suka membaca dan menulis, dan segala hal yang berkaitan dengan kertas. Sedangkan ketrampilan Ibu yang lain, beres-beres rumah dan bersih-bersih, tampaknya menurun kepada adik perempuanku.

Delapan
 Ibu lebih suka menjahit daripada memasak. Itu aku tahu pasti. Tapi apabila terpaksa, Ibu mau juga turun ke dapur untuk memasak. Aku suka bila Ibu memasak gulai nangka muda dilengkapi dengan sambal bajak, juga sup sosis kembang tahu yang gurih dan segar. Aku ingat, dalam beberapa kali kesempatan, Ibu pernah memasak sup asparagus kepiting yang.....hmm...tidak kalah dengan menu rumah makan seafood langganan kami. Ibu juga bisa memasak pizza ala rumahan kesukaan adik bungsuku. Sedangkan adik laki-lakiku yang lain sangat menyukai asem-asem daging sapi yang pedas manis berkuah coklat kehitaman.

Sembilan
Selain terampil menjahit, Ibu juga suka memelihara tanaman. Seingatku, Ibu lebih menyukai tanaman berjenis dedaunan daripada bunga. Sewaktu aku duduk di SD dan tinggal di kota Solo, Ibu memiliki tanaman kesayangan 'kuping gajah' (dari keluarga anthurium) yang berdaun sebesar nampan. Daunnya berwarna hijau tua gelap, dengan urat-urat daun hijau muda keperakan yang terlihat jelas.  Pada tahun 80-an, ketika tanaman kaktus sedang trending, Ibu juga memiliki berbagai jenis kaktus itu. Ditanam dalam pot-pot kecil, warna-warni bunga kaktus itu cukup menarik. Ibu akhirnya berhenti mengoleksi kaktus ketika beberapa pot kaktusnya satu demi satu hilang dicuri orang. Kesukaan Ibu terhadap tanaman, lagi-lagi tidak menurun kepada anak-anaknya. Justru sekarang suamiku yang memiliki hobi mengoleksi tanaman dedaunan, dan aku hanya bisa membantu menyiramnya, tak lebih dari itu.

Sepuluh
Tahun 90-an, ketika anak-anaknya sudah dewasa, Ibu tiba-tiba memiliki hobi memelihara burung. Aku ingat, dirumah kami waktu itu ada beberapa sangkar burung seperti murai batu dan poksay yang kicaunya sangat merdu. Ibu sangat telaten mengurusi burung-burung itu. Mulai dari memberi makan, memandikan, hingga membersihkan sangkar burung-burung itu. Sesuatu hal yang tidak mungkin kutiru, karena aku bukan pencinta hewan seperti Ibuku.

Sebelas
Sepanjang ingatanku, masa aku sekolah di TK adalah masa yang merepotkan bagi Ibu. Aku bukan tipe anak yang percaya diri dan pemberani. Tak heran jika waktu itu aku sangat tergantung pada Ibu yang harus menunggui aku selama aku berada di kelas. Bagiku, yang disebut menunggu, berarti Ibu harus selalu terlihat sosoknya. Alhasil selama lebih kurang dua jam, Ibu harus berdiri di depan jendela kaca kelas agar selalu terlihat olehku. Padahal pada masa aku TK itu, adikku masih berusia bayi. Setelah aku menjadi seorang ibu, baru terbayang betapa repotnya Ibuku waktu itu dengan tingkahku.

Dua belas
Aku duduk di kelas lima SD waktu aku mengalami keengganan pergi sekolah. Entah mengapa, waktu itu bagiku sekolah adalah suatu beban. Mungkin karena pada tahun itu, adik perempuanku duduk di kelas satu, satu sekolah denganku. Sehingga secara tidak langsung hal itu meng-kondisikan bahwa aku memiliki tanggungjawab atas keberadaan adikku. Pada suatu pagi aku menangis tidak mau pergi sekolah. Rasanya waktu itu aku hanya ingin berada didekat Ibuku, karena didekatnya aku merasa aman dan nyaman. Tetapi karena Ibu termasuk orang yang tegas, aku tetap harus pergi kesekolah hari itu. Alhasil pagi itu aku berangkat dengan hati sangat tak rela dan bercucuran airmata.

Beberapa puluh tahun kemudian, anakku pun mengalami masa-masa yang sama denganku waktu itu. Menangis setiap kali hendak berangkat kesekolah. Katanya ia mau dekat dengan Ibu (d.h.i. aku), dan berangan-angan aku  yang menjadi guru kelasnya.....

Tiga belas
Semasa SMP dan tinggal di Yogyakarta. Waktu itu kami sekeluarga baru pindah ke rumah yang lokasinya cukup jauh dari rumah kami sebelumnya dan dari sekolahku. Untuk menuju sekolah aku harus berjalan kaki melewati persawahan dan perkampungan hingga mencapai jalan besar yang dilewati oleh "colt kampus" (angkutan kota yang ada di Yogyakarta waktu itu). Tapi setelah Ibuku mahir mengendarai sepeda motor, setiap pagi Ibu memboncengkan aku dari rumah menuju jalan besar tempat pemberhentian "colt kampus".
Menurutku, Ibu adalah seorang yang gigih dan berkemauan keras. Ibu mau belajar mengendarai motor sampai beberapa kali terjatuh, agar kami bisa mobile. Mengingat lokasi rumah kami waktu itu agak di pinggiran kota dan belum terjangkau oleh transportasi umum. Dengan motor bebek Yamaha warna biru, Ibu  mondar mandir mengantar jemput anak-anaknya kesekolah.

Empat belas
Beberapa tahun kemudian, ketika kami pindah ke kota Padang karena Bapak pindah tugas kesana, Ibu belajar mengemudi mobil dan berhasil mendapat SIM. Maka kegiatan yang sama pun terulang lagi. Ibu menjadi sopir dalam keluarga kami. Antar jemput anak-anak kesekolah, juga kadang-kadang antar jemput Bapak ke kantor.
Namun karena kantor Bapak terletak di pusat perbelanjaan yang semrawut lalu lintasnya, kemahiran Ibu menyetir menjadi kurang berarti dalam masalah parkir. Tapi Ibu tak kehabisan akal. Dengan bekal keramahannya  menyapa orang, Ibu berhasil mendayagunakan kepandaian menyetir seorang tukang parkir. Aku ingat tukang parkir itu sering kami panggil "Uda Eddy" (kami tak tahu pasti apakah itu nama sebenarnya atau nama samaran). Begitulah. Setiap kali mobil kami sampai dilokasi parkir, uda Eddy akan datang dan menggantikan Ibu memarkirkan mobil pada tempatnya. Kadang-kadang karena percaya, Ibu menyerahkan begitu saja kunci mobil kepada uda Eddy untuk dicarikan tempat parkir, sementara kami naik ke kantor Bapak di lantai dua.

Lima belas
Ketika tinggal di kota Padang dan Ibu sudah mahir menyetir mobil. Masa itulah saat yang menyenangkan bagiku. Aku seringkali dengan bangga duduk di jok depan mobil, disamping Ibu yang lincah mengemudi. Terbayang  bukan,  masa awal tahun 80-an dikota yang tidak terlalu besar, perempuan menyetir mobil adalah hal yang masih langka.

Enam belas
Pertengahan masa SMA, seperti layaknya remaja waktu itu. Aku dan teman-teman (perempuan dan laki-laki) membuat acara berkumpul menyambut tahun baru. Sederhana saja sebenarnya. Kami mendirikan tenda ditanah lapang di depan rumahku. Sedikit makan-makan, ngobrol, bercanda dan bernyanyi bersama. Bapak dan Ibuku tidak keberatan dan memberi ijin. Kupikir waktu itu apa yang kami lakukan tidaklah 'membahayakan' dan 'mengkhawatirkan', karena berkumpul ditanah lapang yang masih berada dalam jangkauan pandangan orangtuaku. Tapi apa yang terjadi? Ibuku ikut bergadang sambil menyelesaikan jahitan baju untukku. Dan pada malam itu Ibu berkali-kali kulihat berdiri di teras rumah mengawasi tenda kami, melihat apa yang sedang kami lakukan. Begitu intens-nya ibuku menjaga kami semua agar tidak menyalahgunakan ijin yang dikeluarkan.

Tujuh belas
Masa SMA, ketika untuk pertamakalinya aku menghadiri pesta ulang tahun teman yang diadakan pada malam hari. Ibu berjibaku membuatkan aku baju pesta. Aku ingat benar baju pesta itu. Blus warna dusty green dengan model ruffles di bagian dada dan bawah blus, kerut diujung lengan dan kerah tinggi. Blus itu dipadu dengan rok model lipit dari bahan kotak-kotak warna kombinasi hijau tua dan merah tua.
Aku berangkat ke pesta dengan diantar oleh Ibu dan Bapakku dengan mobil yang disetir oleh Bapak. Setelah mengantarkan aku sampai dirumah temanku, tampaknya Bapak dan Ibu yakin akan keamanan pesta dan kredibilitas teman-teman yang hadir, yang beberapa diantaranya sudah sangat dikenal karena sering datang bermain kerumahku. Akhirnya Bapak-Ibuku mengijinkan aku pulang tanpa dijemput. Tapi dengan syarat, aku harus diantar pulang, sampai rumah paling lambat jam 22.30.
Beruntung, sepulang pesta aku malah diantar pulang oleh kakak kelas yang sudah lama jadi gebetanku. Sayangnya meskipun aku sudah diantar pulang olehnya, kejadian itu tetap tak melapangkan jalanku untuk 'jadian' dengan cowok putih berlesung pipi berambut lurus ala Adi Bing Slamet tempo dulu.
Tapi bagaimanapun, aku sangat berterimakasih kepada Ibu yang telah memberi peluang untukku sehingga bisa duduk diboncengan motor cowok manis itu. Aku yakin tanpa 'bisikan' dari Ibu, Bapak tidak akan berlapang hati melepaskan anak gadisnya pada waktu malam hari seperti itu.

Delapan belas
Begitu pula ketika aku naksir salah seorang teman. Aku begitu penasaran dan heboh dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan cowok itu. Hingga pada suatu ketika, dengan menyetir mobil Ibu mengajakku 'meninjau' tempat tinggal cowok itu disebuah perumahan dibagian utara kota Padang untuk menetralkan rasa penasaranku. Meskipun tak berhasil menemukan rumah cowok gebetan itu (karena data alamat yang kupunya memang tak lengkap), toh aku sangat senang atas tindakan Ibu yang penuh atensi terhadap perasaan remajaku waktu itu.

Sembilan belas
Ibu termasuk tipe perempuan aktif. Berbagai kegiatan pernah diikuti olehnya. Seingatku ketika aku duduk di SD di kota Solo, Ibu belajar main tenis bersama teman-teman sekantor Bapak. Juga aktif di grup kolintang dan paduan suara istri-istri karyawan dikantor Bapak.
Sewaktu Bapak pindah tugas dari Yogyakarta ke kota Padang, Ibu semakin sibuk dengan kegiatan yang berhubungan dengan perkumpulan istri-istri karyawan. Aku ingat, setiap bulannya ada beberapa macam arisan yang harus dihadiri oleh Ibu selaku istri Bapak. Belum lagi setiap ada tamu 'bos-bos besar' kantor Bapak. Sibuk sekali Ibuku mempersiapkan acara penyambutan bersama ibu-ibu lainnya. Terlebih pada waktu itu belum terlalu lazim menggunakan jasa katering untuk jamuan makan. Sehingga beberapa kali dapur rumah kami dipenuhi oleh ibu-ibu yang bergotong royong memasak untuk jamuan makan para 'bos-bos besar' itu. Aku tidak suka kondisi ini. Aku tidak suka disaat aku pulang sekolah tak ada Ibu yang menyambutku, karena Ibu sedang ada kegiatan di luar rumah. 

Dua puluh
Sesekali aku juga suka ikut Ibu berbelanja ke pasar di kawasan Pecinan di kota Padang. Membantu membawakan belanjaan yang hampir dua atau tiga keranjang banyaknya, karena Ibu punya kebiasaan belanja ke pasar seminggu sekali. Tapi aku paling merasa tak enak jika menemani Ibu membeli ayam potong. Aku selalu merasa ngeri melihat ayam disembelih, dicelup air panas lalu dicabuti bulunya. Ibu tahu apa yang kurasakan, maka pada saat Ibu harus membeli ayam, aku boleh menunggu ditempat yang agak jauh.

Dua puluh satu
Aku sudah menginjak semester tiga di universitas negeri di kota Padang, ketika Bapak harus pindah ke Jakarta karena tugasnya. Tak mungkin bagiku untuk mengikuti kepindahan keluarga ke Jakarta. Selain karena urusan yang ribet dan bertele-tele, rasanya sayang mengorbankan tiga semester yang telah kulalui dengan nilai-nilai mata kuliah yang tidak jelek. Akhirnya diputuskan, aku harus ‘ditinggalkan’ sendiri di kota Padang.
Berdua Ibu aku mencari tempat kost yang layak. Setelah ditemukan, berdua Ibu pula aku membeli perlengkapan yang harus dibawa ke ‘rumah’ ku yang baru. Aku dititipkan pada sebuah keluarga yang baik hati, menempati paviliun di sebuah rumah dengan lingkungan yang tenang, tak jauh dari kampusku.
Pada hari keberangkatan keluargaku ke Jakarta, aku diantar Ibu ke tempat kost. Sementara Bapak sengaja tidak mau ikut, karena tidak tega melihat aku ditinggal sendiri di daerah orang. (Bapak lebih perasa dan lebih mudah mengeluarkan air mata daripada Ibu. Dan itu yang sepertinya menurun kepadaku). Aku menangis sedih sekali melihat mobil Ibu bergerak meninggalkan halaman rumah kost. Aku tahu Ibu menahan kesedihannya sendiri. Terlebih mengingat bahwa aku adalah anak yang tidak bisa jauh dari keluarga inti. Bahkan ketika berlibur menginap di rumah kakek-nenekku sendiri, aku sering menangis karena rindu rumah.

Dua puluh dua
Saat aku dan adik perempuanku kuliah diluar kota. Ibu rajin mengirim surat untuk kami berdua. Surat-surat itu ditulis tangan diatas kertas surat warna biru muda (kadang-kadang putih), dengan huruf sambung yang rapat dan tegak serta dikirim lewat pos. Karena pada tahun 80-an dan awal 90-an, surat elektronik atau sms belum mewabah seperti sekarang. Surat dari Ibu itu selalu menjadi hiburan termanis bagi kami berdua.
Terlebih bila surat itu diikuti dengan paket kilat khusus berisi cemilan. Paket itu biasanya berisi coklat beng-beng (yang waktu itu happening banget), beberapa kotak kismis dalam kemasan warna merah bergambar nona cantik merengkuh buah anggur, dan satu stoples daging sapi yang digoreng kering menyerupai keripik. Rasanya asin gurih hingga remah-remahnya pun kami habiskan dengan tandas, dan stoples kaca itu menjadi bersih total. Mungkin karena dibuat sendiri oleh tangan Ibu dengan penuh cinta, maka makanan itu menjadi sangat wonderful rasanya buat kami berdua yang jauh dirantau....




Rabu, 04 Januari 2012

Filosofi Lagu "Gundul Pacul"



".....Gundul gundul pacul cul
Gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul
Gembelengan
Wakul ngglimpang segane
Dadi sak latar....."

Beberapa hari yang lalu, seorang teman, berinisial RA (yang bukan orang Jawa dan tak mau disebut namanya) membagikan sebuah artikel kepadaku. Artikel tentang makna yang tersirat dibalik sebuah lagu daerah Jawa "Gundul Pacul".
Aku lahir sebagai etnis Jawa. Sejak kecil tentu saja aku mengenal dan bisa menyanyikan lagu 'dolanan' itu tanpa tahu makna dari syairnya. Ternyata meskipun terkesan bahwa lagu itu sepele, dibalik itu ada filosofi kehidupan yang dalam. Ini dia ;

Tembang Jawa "Gundul Pacul" ini konon diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang dalam dan mulia.

Gundul adalah kepala plontos  tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, dan kemuliaan seseorang. Sedangkan rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Jadi gundul adalah 'kehormatan tanpa mahkota.'

Pacul adalah cangkul. Yaitu peralatan petani yang terbuat dari lempeng besi berbentuk segi empat. Jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.

Gundul pacul artinya adalah  bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat/orang banyak.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah 'papat kang ucul' (empat hal yang lepas).

Kemuliaan seseorang tergantung dari empat hal, yaitu bagaimana ia menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat/masyarakat/orang banyak.

2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.

3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian (kebaikan).

4. Mulut digunakan untuk berkata adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatan seseorang.

Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

‎​*GUNDUL-GUNDUL PACUL CUL..... Artinya jika seseorang  kepalanya sudah kehilangan 4 indera, maka itu mengakibatkan :

*GEMBELENGAN (= congkak, sombong).

*NYUNGGI-NYUNGGI WAKUL KUL (menjunjung amanah rakyat/orang banyak) dengan GEMBELENGAN (= sombong, congkak), akhirnya

*WAKUL NGGLIMPANG (= amanah jatuh tidak bisa dipertahankan)

*SEGANE DADI SAK LATAR (= berantakan, sia-sia, tidak bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak)

Nah, pertanyaannya, masih adakah pemimpin di Republik Indonesia masa kini yang menganut filosofi "Gundul pacul" ini?



Rabu - 04012012

*) Terima kasih untuk teman RA yang telah membagikan artikel bermanfaat ini.

Tentang "LUPA"

Pernahkah kita berpikir atau memikirkan tentang "lupa"?

Mungkin selama ini kita menganggap bahwa keadaan "lupa" lebih banyak berkaitan dengan hal-hal yang buruk, dosa, kelalaian, keteledoran...... Seperti ini ;  Lupa kacang akan kulitnya, lupa ajaran agama, lupa nasihat orangtua, lupa janji, lupa nama dan alamat, lupa meletakkan barang-barang berharga.

Tapi pernahkan kita berpikir, bahwa kadang-kadang keadaan "lupa" itu ada manfaatnya? Misalnya untuk keadaan tertentu seperti ini :
@ Lupa bahwa kita pernah memberi atau berbuat baik kepada orang lain. Kalau "tidak lupa" artinya kita akan terus mengingat kebaikan kita, dan akhirnya menjadi tidak ikhlas dan "riya", bukan?

@ Lupa akan suatu keadaan buruk yang pernah menimpa kita. Membantu kita untuk terus melangkah kedepan tanpa selalu mengingat  masa lalu yang kelam atau gagal. Itu menghindarkan kita dari "trauma" dan menjaga agar kita tetap optimis. Betul tidak?

@ Lupa terhadap sesuatu atau seseorang, yang jika diingat-ingat terus akan menimbulkan airmata dan kesedihan. Siapa orang yang senang berkubang dengan sedih dan airmata? Untuk itulah, baru terasa betapa bernilainya "lupa" itu.....

Maka bersyukurlah, karena Allah SWT telah memberikan kepada manusia suatu keadaan yang disebut "lupa".

(IMHO :  Melupakan adalah bagian dari menyembuhkan diri sendiri)

Rabu - 04012012

Minggu, 01 Januari 2012

Perkenankanlah Aku Mencintai-Mu Semampuku

Sebuah puisi karya : A. Musthofa Bisri

Tuhanku,
Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintai-Mu
Lembar demi lembar kitab kupelajari
Untai demi untai kata para ustadz kuresapi
Tentang cinta para nabi
Tentang kasih para sahabat
Tentang mahabah para sufi
Tentang kerinduan para syuhada
Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam
Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan

Tapi Rabbi,
Berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, dan kemudian tahun berlalu
Aku berusaha mencintai-Mu dengan cinta yang paling utama, namun
Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untuk-Mu
Aku makin merasakan gelisahku membadai
Dalam cita yang mengawang
Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi
Hingga aku terhempas dalam jurang dan kegelapan

Wahai Ilahi,
Kemudian berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu
Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakkan jiwaku kembali
Menatap, memohon, dan menghiba-Mu :
Allahu Rahim, Ilahi Rabbi,
Perkenankanlah aku mencintai-Mu
Sebisaku

Ilahi,
Aku tak sanggup mencintai-Mu
Dengan kesabaran menanggung derita
Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa, hingga Al-Musthafa
Karena itu izinkan aku mencintai-Mu
Melalui keluh kesah pengaduanku pada-Mu
Atas derita batin dan jasadku
Atas sakit dan ketakutanku

Rabbi,
Aku tak sanggup mencintai-Mu seperti Abu Bakar,
yang menyedekahkan seluruh hartanya
dan hanya meninggalkan diri-Mu dan Rasul-Mu bagi pribadi dan keluarga.
Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad.
Atau Utsman yang menyerahkan seribu ekor kuda untuk syiarkan din-Mu.
Maka perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku,
Melalui seratus dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan,
Pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan.
Pada makanan-makanan sederhana yang terkirim ke handai tolan.

Ilahi,
Aku tak sanggup mencintai-Mu dengan khusyuknya shalat salah seorang sahabat Rasul-Mu,
hingga tak hirau dia pada anak panah yang terhujam di kakinya.
Karena itu Ya Allah, perkenankan aku tertatih menggapai cinta-Mu,
dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata,
meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Rabbi,
Aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib,
yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta dengan-Mu.
Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu dua rakaat Lailku.
Dalam satu dua sunnah nafilah-Mu.
Dalam desah napas kepasrahan tidurku.

Yaa, Maha Rahman,
Aku tak sanggup mencintai-Mu bagai para al hafidz dan hafidzah,
Yang menuntaskan kalam-Mu dalam satu putaran malam.
Maka perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku,
melalui selembar dua lembar tilawah harianku.
Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahim
Aku tak sanggup mencintai-Mu semisal Sumayyah,
Yang mempersembahkan jiwanya demi tegaknya din-Mu.
Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihad bagi-Mu.
Maka perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku
dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwah-Mu.
Maka izinkanlah aku mencintai-Mu semampuku
Dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Karim,
Aku tak sanggup mencintai-Mu di atas segalanya,
bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya,
dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya.
Maka izinkanlah aku mencintai-Mu di dalam segala
Perkenankanlah aku mencintai-Mu dengan mencintai keluargaku,
dengan mencintai sahabat-sahabatku,
dengan mencintai manusia dan alam semesta.

Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilahi Rabbi
Perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku
Agar cinta itu mengalun dalam jiwaku
Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku

Aku Punya Mimpi


Suatu kali 
Aku punya mimpi
Aku kan terbangun di pagi hari
Bersua dingin alam menyentuh raga

Memandang jendela yang terbuka
 Sejuta daun jati menghijau
Padanya titik-titik embun berkilau
Dipucuk barisan daun jati
Bercanda awan dan puncak Merapi
Seindah tenangnya hati

Disana berdua belahan jiwa
Hari-hari berlalu bersama
Belajar mengerti keyakinan kami
Disekitar syahdu suara kaji para santri
Disana kami kan berkarya
Berikan apa yang kami bisa
Dengan sederet doa
Agar kami ingat surga neraka
Tapi juga tak lupa dunia
Fana, tapi disanalah wahana
Tempat mencari amal yang dibawa
Menghadap kepadaNya

Aku punya mimpi
Semoga Dia beri aku mengerti
Hanya padaNya menyandarkan mimpi
Dan kepada Dia kembali

Minggu - 01012012

Cerpen "Ketika Rini Patah Hati"

Tahun 1989, untuk pertama kalinya cerpenku berhasil dimuat di majalah kumpulan cerita "Anita Cemerlang".  Bangganya bukan main.....!!  Honor Rp. 35.000,--  yang kuterima tidak ada apa-apanya dibanding dengan kebanggaan itu.