Kamis, 08 Mei 2014

Ksatria yang Menangis



Diawali dengan tayangan stripping 30 menit dari salahsatu teve swasta nasional. Entah kenapa 'mantan pacar' tiba-tiba tertarik pada cerita Mahabharata yang dikemas dalam setting kolosal, dengan pemeran yang rata-rata berwajah rupawan.

Kesukaannya pada akar cerita pewayangan Jawa itu langsung ditularkan pada anak-anak dan padaku. Padahal sedikit banyak, aku sudah 'menguasai' jalan cerita Mahabharata ini, karena dimasa kecil aku gemar membaca komik wayang karya RA Kosasih yang legendaris itu.



Bagiku sendiri, visualisasi cerita Mahabharata itu cukup memenuhi fantasi dimasa kecil dulu. Dimana sekarang aku bisa melihat perwujudan Arjuna yang ksatria jago perang dan digilai banyak putri-putri raja. Dan setelah menonton berpuluh episode, aku baru menyadari, benar bahwa film Bollywood itu identik dengan airmata. Tak heran jika kemudian timbul istilah "nangis bombay" ... hehe....



Lihat saja, betapa banyaknya adegan-adegan close up yang menampakkan mata berkaca-kaca, air mata yang meleleh dari sudut mata ke pipi. Dan tanpa sungkan-sungkan, airmata di film ini bukan hanya menjadi milik para putri yang berhias layaknya toko emas berjalan. Tapi juga muncul di sudut mata dan pipi para ksatria ahli tempur yang macho, gagah, brewokan, berlengan kokoh dan kadang berperut six pack...



Tokoh Resi Bhisma menangis ketika mengetahui lima cucu kesayangannya meninggal terbakar di istana yang jauh dari Hastinapura. Karna, yang berstatus sebagai raja, jago panah, dan kakak tiri para Pandawa, juga berkali-kali ditampakkan menangis ketika menghadapi dilema antara membela Ibu kandung dan adik-adiknya, atau memegang janjinya kepada Kurawa. Lalu lima satria Pandawa juga menangis galau saat harus menikahi seorang wanita yang sama... Dan masih banyak lagi adegan berairmata lainnya.



Premis itu akhirnya memang mengokohkan ciri khas film India yang diramu dengan bumbu tangis, tari dan nyanyian. Berbeda tipe dengan drama serial Korea. Di film Korea yang pernah kutonton, aku belum pernah melihat Rain atau Bae Yong Jun meneteskan air mata. Kesedihan tokoh pria di drama Korea tampaknya cukup ditampilkan dalam ekspresi wajah yang dingin kaku tanpa kata dan tetap tak menyertakan airmata. Bagaimana dengan hasil karya Indonesia? Aku tidak terlalu mengikuti. Tetapi pernah suatu ketika, dalam satu trailer sinetron, terselip adegan Dude Herlino yang berkata-kata sambil meneteskan airmata...

Sedangkan di film Hollywood, sepertinya airmata adalah benda "haram" bagi para ksatria atau superhero... Coba, pernahkah anda melihat Robinhood atau Thor atau Captain America meneteskan airmata? Hihihi...



Entah dari mana pula asal mulanya pakem yang berlaku di kebanyakan kultur bahwa lelaki itu pantang menangis hingga meneteskan airmata? Padahal, bukankah menangis itu adalah salah satu kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT bagi manusia untuk menyatakan perasaannya?



Maka, para ksatria, para lelaki... Jika rasa sedih sudah demikian memenuhi kalbu, jangan sungkan atau malu meneteskan airmata. Bukankah tangis, jika ditahan, hanya akan membuat leher serasa tercekik oleh gumpalan yang tak terlihat, tapi justru makin menyakitkan? Sedikit airmata, sebagai katalisator perasaan, pasti tak akan mengurangi kadar kelelakian anda kan? Nah, silakan menangis... Tapi jangan keseringan, dan jangan sampai tersedu-sedu yaaa.... Cukup airmata saja sebagai tanda... Hehehe...

 
sumber gambar : Google


Pondok Gede - 08052014


Jumat, 02 Mei 2014

Dongeng Ibu dan "Dongeng"ku



Dari koran hari ini, aku membaca kata pakar bahwa : "Dongeng amat penting guna mengolah atau mengasah imajinasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan pribadi yang peka."

Sumber : Google

Kalimat ini membawa aku untuk menilai diriku sendiri. Apakah dimasa anak-anak balita dulu, aku masih punya waktu buat mendongengi mereka sebelum tidur? Yang kuingat, aku tidak mendongeng. Aku hanya membacakan buku cerita sebelum tidur buat mereka. Ceritanya pun bukan dari cerita hikayat klasik tradisional. Tapi cerita impor seperti Winnie The Pooh dalam berbagai episode dan cerita Spiderman (!?). Saking senangnya, dalam satu sesi anakku bisa minta dibacakan berkali-kali. Padahal mata ini sudah ingin merem karena sudah kehabisan energi seharian di kantor... (Oya, dimasa itu aku masih berstatus working mom six to eight). Lebih 'menggemaskan' lagi, karena sudah terlalu sering dan hafal, anakku bahkan tahu kalau ada halaman yang sengaja kulewati supaya cepat selesai... Dan akupun diminta, atau tepatnya dipaksa mengulang dari awal membacakan cerita... Hadeuuh...

Sekarang aku jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah karena cerita impor itu, sekarang anak-anakku lebih tertarik mengenal Naruto, Tsubasa, Dragon Ball dan sejenisnya daripada tokoh Kancil, Timun Mas, Bawang Merah Bawang Putih, atau Panji Semirang...?

Lalu aku membandingkannya dengan masa kecilku. Dulu, dimasa anak-anak, sebelum tidur ibuku selalu mendongengkan Timun Mas dan cerita tradisional sejenisnya. Tapi yang paling sering didongengkan oleh Ibuku adalah cerita tentang "si Miskin" yang hidupnya susah, tapi akhirnya selalu mendapat ganjaran yang membahagiakan karena kebaikan hatinya. Seingatku, cerita itu yang selalu kuminta pada Ibuku...

Suatu kali, setelah dewasa, aku bertanya pada Ibuku, "Bu, dulu waktu aku masih kecil, Ibu kan sering mendongeng cerita Si Miskin kan? Itu kisahnya piye to, aku pingin dengar lagi."
Kulihat Ibu terdiam sejenak, lalu senyum-senyum, "Oh, gitu ya? Kok kamu masih ingat aja sih...?"
"Iyalah... Ayo dong, Bu. Gimana ceritanya?" Kataku keukeuh.
Ibuku masih senyum-senyum, bahkan senyumnya makin lebar, bikin aku tambah kepo. Akhirnya Ibu menjawab, "Waah... Itu Ibu sudah lupa..."
"Lho, kok bisa?"
"Iya... Cerita Si Miskin itu sebenarnya karangan Ibu sendiri. Dan setiap malam ceritanya bisa berubah kesana kemari. Pokoknya sak kecekel-e (= sekenanya, sedapatnya). Makanya sekarang Ibu lupa... Wong nggak ada pakem-nya...."
"Oooo.....," akhirnya aku mafhum dan tak mendesak Ibu untuk mengulang dongeng masa kecilku itu... Sepotong-sepotong aku ingat, dulu sambil mendongeng, Ibu kadang-kadang memandang ke arah langit-langit kamar atau kadang memejamkan mata sambil terus mendongeng. Mungkin saat itu Ibu berpikir keras, mencari ilham untuk kelanjutan cerita Si Miskin? Hehehe... Ada baiknya jika mudik nanti akan kutanyakan kebenaran dugaanku itu kepada Ibu.

Tapi diluar semua itu, aku menyadari bahwa ternyata Ibuku kreatif juga ya... Hanya sayang cerita Si Miskin itu tak bisa didokumentasikan, karena si empunya cerita sudah lupa. Padahal, aku berharap, kalau saja Ibu masih ingat, aku akan menulis ulang cerita itu, lalu akan kudongengkan kepada cucu-cucuku kelak... Yah, hitung-hitung sebagai penebus kesalahanku yang tidak mendongeng kepada anak-anakku, melainkan hanya membacakan buku cerita. Itupun cerita impor...


Pondok Gede - 02052014