Konon dulu
nama "Pondok Gede" berasal dari sebuah bangunan besar milik tuan
tanah Yahudi-Polandia bernama Leendert Miero (sekitar tahun 1755). Tahun 1962, tanah ini dibeli oleh Inkopau. Belum sempat ditetapkan
menjadi bangunan cagar budaya, pada tahun 1992 bangunan 'pondok' itu
dirubuhkan, diganti menjadi bangunan beton moderen dengan nama 'Mal Pondok
Gede'.
Dan inilah gambar batu nisan Leendert Miero, pemilik
tanah dan bangunan yg menjadi asal muasal nama 'Pondok Gede’. Konon kabarnya
pula, kuburan itu telah dipindahkan entah kemana, dan bekas batu nisannya
diambil oleh penduduk untuk dijadikan fondasi rumah.
Lebih dari enam belas tahun yang lalu, nama
kawasan Pondok Gede hanya kukenal melalui bacaan dan visualisasi di aneka
media, karena berkaitan dengan Monumen Pancasila Sakti (yang letaknya sekitar
300 meter dari Mal Pondok Gede sekarang) atau dengan Asrama Haji Pondok Gede
(letaknya kurang lebih 2 kilometer dari Mal Pondok Gede sekarang). Tapi yang paling menempel di ingatanku tentang
Pondok Gede adalah lagu Sang Maestro Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal
Pondok Gede”. Bagaimana tidak? Dimasa remajaku dulu, lagu balada itu begitu
sering dinyanyikan oleh anak-anak muda penyanyi amatiran di acara piknik,
camping, mendaki gunung, perpisahan sekolah..... Dinyanyikan sendirian atau
beramai-ramai dengan iringan gitar sederhana.
Ini dia lagunya :
Entah tahun berapa bang Iwan Fals menciptakan
lagu itu, dan apakah ia pernah tinggal disitu, sepertinya itu pertanyaan yang
kurang penting. Yang lebih penting dari dua pertanyaan itu adalah ; bahwa
ternyata apa yang dikatakan oleh bang Iwan dalam lyrik lagu itu benar adanya.
Benar bahwa sampai saat ini nama “Ujung Aspal”
masih melekat untuk menyebut sebuah tempat yang terletak di ruas jalan yang
menghubungkan Pondok Gede dengan daerah Kranggan-Cibubur-jalan Trans Yogie.
Disebut “Ujung Aspal” karena memang dahulunya jalan raya yang telah diaspal
berhenti sampai disitu dan disambung dengan jalan tanah. Tentu kondisi ini
sekarang sudah jauh berbeda, karena hingga Kranggan, jalan ini telah mengenal
aspal.
Benar bahwa sedikit demi sedikit, perkampungan
yang semula adem dan hijau itu sekarang sudah berganti rupa mengikuti nafsu dan
selera dunia perkotaan. Tanah sawah dan ladang telah jarang ditemui, karena
telah beralih fungsi menjadi komplek pemukiman dengan berbagai nama yang indah.
Dan tengoklah, sepanjang jalan itu sudah bertaburan aneka ruko dan tempat
usaha. Tanah-tanah yang dulu ditumbuhi pohon karet, rambutan dan kecapi sudah
terjual kepada para pemilik badan usaha properti dan lain-lainnya. Mungkin juga
uang hasil penjualan itu sudah menjelma menjadi motor (seperti lyrik lagu Iwan
Fals diatas) atau menjadi bangunan ruko atau bangunan rumah beton dengan
dinding keramik warna-warni.
Aku menjadi
salah satu saksi, bahwa pembangunan fisik telah melaju pesat dikawasan ini
tanpa segan menggerus kehijauan alam dan
ciri-ciri “kampung” yang khas.
Enam belas
tahun yang lalu, kala pertama aku menjadi penduduk Pondok Gede, pada jam enam
pagi kabut masih mengawang, udara masih sejuk menjelang dingin. Sekarang, jam
enam pagi, boro-boro mengharap kabut, yang ada cuma asap motor/angkot/mobil dan
raungan knalpot angkot yang tidak sopan, udara polusi, sumuk, dan gerah.
Enam belas
tahun yang lalu, aku masih menyebutnya "kampung". Tapi sekarang,
ciri-ciri kehidupan metropolis telah
menyentuh kawasan ini, lengkap dengan mal dan aneka atributnya.
Enam belas tahun yang lalu, harus pergi sejauh 5-10 kilometer ke DKI untuk sekedar mencari tempat makan yang bagus dan enak. Sekarang, cukup dalam 2 kilometer, beragam tempat makan bertebaran menanti didatangi.
Enam belas tahun yang lalu, pompa air reguler bekerja santai menyedot air, tak peduli musim kemarau atau hujan. Sekarang, tiap musim kemarau, satu persatu rumah mengebor sumur menjadi lebih dalam dan memasang jetpump. (Semoga saja tidak keluar lumpur seperti tragedi di Sidoarjo). Hal itu yang menerbitkan pertanyaanku ; Ini kemajuan atau kemunduran?
Enam belas tahun yang lalu, harus pergi sejauh 5-10 kilometer ke DKI untuk sekedar mencari tempat makan yang bagus dan enak. Sekarang, cukup dalam 2 kilometer, beragam tempat makan bertebaran menanti didatangi.
Enam belas tahun yang lalu, pompa air reguler bekerja santai menyedot air, tak peduli musim kemarau atau hujan. Sekarang, tiap musim kemarau, satu persatu rumah mengebor sumur menjadi lebih dalam dan memasang jetpump. (Semoga saja tidak keluar lumpur seperti tragedi di Sidoarjo). Hal itu yang menerbitkan pertanyaanku ; Ini kemajuan atau kemunduran?
Beberapa
sumber mengatakan, bahwa dulu wilayah kota Bekasi yang berbatasan langsung
dengan Jakarta Timur ini adalah areal perkebunan, sawah dan ladang. Terbayang
betapa hijau dan rimbunnya tempat ini. Pasti udaranya jauh dari kata gerah.
Sejuk, ramai dengan cericit burung atau bahkan suara tonggeret? Pagi pun pasti
masih bertemu dengan kabut. Tapi sekarang? Oohh, setiap permukaan tanah sudah
tertutup beton dan bangunan masif. Maka, jangan bayangkan rimbunnya daun dan hijaunya sawah ladang, apalagi
kabut....
Pertanyaan lagi ; apakah yang disebut "pembangunan" itu harus berwujud beton-beton yang menghilangkan ruang hijau?
Pertanyaan lagi ; apakah yang disebut "pembangunan" itu harus berwujud beton-beton yang menghilangkan ruang hijau?
Inilah kondisi
kawasan Pondok Gede sekarang ;
Jika ciri-ciri
fisik “kampung” telah berubah ditandai dengan banyaknya ruang hijau yang
menghilang, bagaimana pula dengan sarana jalan, transportasi dan lalu lintas di
kawasan ini? Cobalah lewati jalanan
padat disekitar Mal Pondok Gede. Maka ruang pandang akan disesaki dengan
pemandangan yang ruwet.
Angkot KC, CH,
KR, 22, 40, 461, 02, G05, metromini 45, mikrolet 28, 18 .... Belum lagi motor,
mobil dan becak. Itu aneka moda
transportasi yang setiap hari memenuhi jalanan disekitar bundaran Mal Pondok
Gede. Tak ada terminal resmi, sehingga setiap kelokan jalan dipakai sebagai
terminal bayangan. Bayangkan betapa riuh rendahnya jalan disesaki dengan aneka
kendaraan bermotor. Apalagi dengan ketiadaan ruang hijau, betapa buruknya
kualitas udara disini. Kemacetan sudah tidak mengenal jam, dari pagi hingga
malam nonstop. Terkesan bahwa kawasan ini tumbuh sendiri sesukanya tanpa
penataan dari yang berwenang. Atau memang begini nasib daerah perbatasan?
Secara administratif adalah kawasan "Jakarta coret" meskipun secara
geografis lokasinya hanya 1-2 kilometer dari wilayah Jakarta Timur. Pun cukup
jauh dari pusat kota Bekasi atau pusat provinsi Jawa Barat.
Dan itulah
kenyataan di salah satu kawasan yang menyangga kehidupan ibukota negara. Sebuah
kawasan yang sepertinya terpaksa berkembang mengikuti arah gaya metropolis,
tapi tanpa penataan dan kesiapan yang terencana.
enam belas tahun yg lalu masih cukup tempat untuk melakukan segala aktifitas yang kita mau tapi hari ini,setiap hari bahkan untuk sekedar parkir motor aja musti ribet dulu............ 'KANGEN PONDOK GEDE YANG DAHULU'
BalasHapusBegitulah.... Saya tjuga termasuk orang yang sedih ketika melihat satu persatu tanah kosong (yang menjadi resapan air) berubah menjadi bangunan batu dan beton. Ini banyak saya lihat di kawasan Pondok Gede....
Hapussaya rizal..saya betas " betawi aseli" dari lahir hingga sekarang saya besar disini " ujung aspal ppondok gede " sama seperti kalian saya pun rindu ujung aspal pondok gede yang dulu. tahun 98 saya masih inget bgt tmpt ini dulu masih asri dan sejuk..
BalasHapusrindu sekaliiiiii :( kalo lagi ngumpul bareng temen, pasti ceritan yang dulu dulu hahaha!! kan jadi rindu dulu.. eh sekarang kalo lagi rindu ujung aspal pondok gede yang dulu, cuma bisa dengerin cerita nenek saya, nyeritain ujung aspal pondok gede yang dulu hahahaha... sekiaannnn..!
lain kali video youtube-nya di embed dong mbak biar bisa tetep stay disini baca tulisannya? Menarik sekali ulasan Ujung Aspal yang di ulas, kami dari Yayasan Ujung Aspal Batu jadi tertarik untuk baca tulisan ini.. :)
BalasHapus