Minggu, 07 Oktober 2012

ELEGI KAMPUNG PONDOK GEDE


Konon dulu nama "Pondok Gede" berasal dari sebuah bangunan besar milik tuan tanah Yahudi-Polandia bernama Leendert Miero (sekitar tahun 1755). Tahun 1962, tanah ini dibeli oleh Inkopau. Belum sempat ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya, pada tahun 1992 bangunan 'pondok' itu dirubuhkan, diganti menjadi bangunan beton moderen dengan nama 'Mal Pondok Gede'.

Dan inilah gambar batu nisan Leendert Miero, pemilik tanah dan bangunan yg menjadi asal muasal nama 'Pondok Gede’. Konon kabarnya pula, kuburan itu telah dipindahkan entah kemana, dan bekas batu nisannya diambil oleh penduduk untuk dijadikan fondasi rumah.


 
Lebih dari enam belas tahun yang lalu, nama kawasan Pondok Gede hanya kukenal melalui bacaan dan visualisasi di aneka media, karena berkaitan dengan Monumen Pancasila Sakti (yang letaknya sekitar 300 meter dari Mal Pondok Gede sekarang) atau dengan Asrama Haji Pondok Gede (letaknya kurang lebih 2 kilometer dari Mal Pondok Gede sekarang).  Tapi yang paling menempel di ingatanku tentang Pondok Gede adalah lagu Sang Maestro Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”. Bagaimana tidak? Dimasa remajaku dulu, lagu balada itu begitu sering dinyanyikan oleh anak-anak muda penyanyi amatiran di acara piknik, camping, mendaki gunung, perpisahan sekolah..... Dinyanyikan sendirian atau beramai-ramai dengan iringan gitar sederhana.

Ini dia lagunya :

Entah tahun berapa bang Iwan Fals menciptakan lagu itu, dan apakah ia pernah tinggal disitu, sepertinya itu pertanyaan yang kurang penting. Yang lebih penting dari dua pertanyaan itu adalah ; bahwa ternyata apa yang dikatakan oleh bang Iwan dalam lyrik lagu itu benar adanya.

Benar bahwa sampai saat ini nama “Ujung Aspal” masih melekat untuk menyebut sebuah tempat yang terletak di ruas jalan yang menghubungkan Pondok Gede dengan daerah Kranggan-Cibubur-jalan Trans Yogie. Disebut “Ujung Aspal” karena memang dahulunya jalan raya yang telah diaspal berhenti sampai disitu dan disambung dengan jalan tanah. Tentu kondisi ini sekarang sudah jauh berbeda, karena hingga Kranggan, jalan ini telah mengenal aspal.

Benar bahwa sedikit demi sedikit, perkampungan yang semula adem dan hijau itu sekarang sudah berganti rupa mengikuti nafsu dan selera dunia perkotaan. Tanah sawah dan ladang telah jarang ditemui, karena telah beralih fungsi menjadi komplek pemukiman dengan berbagai nama yang indah. Dan tengoklah, sepanjang jalan itu sudah bertaburan aneka ruko dan tempat usaha. Tanah-tanah yang dulu ditumbuhi pohon karet, rambutan dan kecapi sudah terjual kepada para pemilik badan usaha properti dan lain-lainnya. Mungkin juga uang hasil penjualan itu sudah menjelma menjadi motor (seperti lyrik lagu Iwan Fals diatas) atau menjadi bangunan ruko atau bangunan rumah beton dengan dinding keramik warna-warni.

Aku menjadi salah satu saksi, bahwa pembangunan fisik telah melaju pesat dikawasan ini tanpa segan  menggerus kehijauan alam dan ciri-ciri  “kampung”  yang khas.
Enam belas tahun yang lalu, kala pertama aku menjadi penduduk Pondok Gede, pada jam enam pagi kabut masih mengawang, udara masih sejuk menjelang dingin. Sekarang, jam enam pagi, boro-boro mengharap kabut, yang ada cuma asap motor/angkot/mobil dan raungan knalpot angkot yang tidak sopan, udara polusi, sumuk, dan gerah.
Enam belas tahun yang lalu, aku masih menyebutnya "kampung". Tapi sekarang, ciri-ciri  kehidupan metropolis telah menyentuh kawasan ini, lengkap dengan mal dan aneka atributnya.
Enam belas tahun yang lalu, harus pergi sejauh 5-10 kilometer ke DKI untuk sekedar mencari tempat makan yang bagus dan enak. Sekarang, cukup dalam 2 kilometer, beragam tempat makan bertebaran menanti didatangi.
Enam belas tahun yang lalu, pompa air reguler bekerja santai menyedot air, tak peduli musim kemarau atau hujan. Sekarang, tiap musim kemarau, satu persatu rumah mengebor sumur menjadi lebih dalam dan memasang jetpump. (Semoga saja tidak keluar lumpur seperti tragedi di Sidoarjo).  Hal itu yang menerbitkan pertanyaanku ;  Ini kemajuan atau kemunduran?

Beberapa sumber mengatakan, bahwa dulu wilayah kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Jakarta Timur ini adalah areal perkebunan, sawah dan ladang. Terbayang betapa hijau dan rimbunnya tempat ini. Pasti udaranya jauh dari kata gerah. Sejuk, ramai dengan cericit burung atau bahkan suara tonggeret? Pagi pun pasti masih bertemu dengan kabut. Tapi sekarang? Oohh, setiap permukaan tanah sudah tertutup beton dan bangunan masif. Maka, jangan bayangkan rimbunnya  daun dan hijaunya sawah ladang, apalagi kabut....
Pertanyaan lagi ; apakah yang disebut "pembangunan" itu harus berwujud beton-beton yang menghilangkan ruang hijau?

Inilah kondisi kawasan Pondok Gede sekarang ;


 
Jika ciri-ciri fisik “kampung” telah berubah ditandai dengan banyaknya ruang hijau yang menghilang, bagaimana pula dengan sarana jalan, transportasi dan lalu lintas di kawasan ini?  Cobalah lewati jalanan padat disekitar Mal Pondok Gede. Maka ruang pandang akan disesaki dengan pemandangan yang ruwet.
Angkot KC, CH, KR, 22, 40, 461, 02, G05, metromini 45, mikrolet 28, 18 .... Belum lagi motor, mobil dan becak.  Itu aneka moda transportasi yang setiap hari memenuhi jalanan disekitar bundaran Mal Pondok Gede. Tak ada terminal resmi, sehingga setiap kelokan jalan dipakai sebagai terminal bayangan. Bayangkan betapa riuh rendahnya jalan disesaki dengan aneka kendaraan bermotor. Apalagi dengan ketiadaan ruang hijau, betapa buruknya kualitas udara disini. Kemacetan sudah tidak mengenal jam, dari pagi hingga malam nonstop. Terkesan bahwa kawasan ini tumbuh sendiri sesukanya tanpa penataan dari yang berwenang. Atau memang begini nasib daerah perbatasan? Secara administratif adalah kawasan "Jakarta coret" meskipun secara geografis lokasinya hanya 1-2 kilometer dari wilayah Jakarta Timur. Pun cukup jauh dari pusat kota Bekasi atau pusat provinsi Jawa Barat.

Dan itulah kenyataan di salah satu kawasan yang menyangga kehidupan ibukota negara. Sebuah kawasan yang sepertinya terpaksa berkembang mengikuti arah gaya metropolis, tapi tanpa penataan dan kesiapan yang terencana.


Pondok Gede - 07102012

4 komentar:

  1. enam belas tahun yg lalu masih cukup tempat untuk melakukan segala aktifitas yang kita mau tapi hari ini,setiap hari bahkan untuk sekedar parkir motor aja musti ribet dulu............ 'KANGEN PONDOK GEDE YANG DAHULU'

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah.... Saya tjuga termasuk orang yang sedih ketika melihat satu persatu tanah kosong (yang menjadi resapan air) berubah menjadi bangunan batu dan beton. Ini banyak saya lihat di kawasan Pondok Gede....

      Hapus
  2. saya rizal..saya betas " betawi aseli" dari lahir hingga sekarang saya besar disini " ujung aspal ppondok gede " sama seperti kalian saya pun rindu ujung aspal pondok gede yang dulu. tahun 98 saya masih inget bgt tmpt ini dulu masih asri dan sejuk..
    rindu sekaliiiiii :( kalo lagi ngumpul bareng temen, pasti ceritan yang dulu dulu hahaha!! kan jadi rindu dulu.. eh sekarang kalo lagi rindu ujung aspal pondok gede yang dulu, cuma bisa dengerin cerita nenek saya, nyeritain ujung aspal pondok gede yang dulu hahahaha... sekiaannnn..!

    BalasHapus
  3. lain kali video youtube-nya di embed dong mbak biar bisa tetep stay disini baca tulisannya? Menarik sekali ulasan Ujung Aspal yang di ulas, kami dari Yayasan Ujung Aspal Batu jadi tertarik untuk baca tulisan ini.. :)

    BalasHapus