Kau. Kemarilah, mendekat padaku, duduk
disisiku. Akan kuceritakan padamu tentang hujan yang turun diluar jendela.
Lihatlah, titik-titik air itu berlomba terjun ke bumi. Beramai-ramai mereka
terjun bersamaan, hingga derainya menyerupai ribuan jarum halus yang dituang
dari langit.
Lalu beratus juta jarum halus itu menyentuh
tanah sejenak, kemudian menghilang resap ke bumi. Sebagian sempat mengecup
helai daun, kelopak bunga dan ujung rerumputan ..... Melepaskan rindu yang
bertumpuk-tumpuk menanti pertemuan yang telah sekian purnama terkekang oleh
kemarau panjang. Berpuaslah hujan dan tetumbuhan mengurai rindu, hingga
akhirnya ia menyelinap juga disela butiran pasir dan kerikil. Ia diam seribu
bahasa disana, melembabkan tanah, menyediakan diri untuk dituai lagi oleh
manusia pada suatu waktu.
Tapi tidakkah kau tahu. Ribuan jarum hujan
lainnya, singgah ditempat yang tidak ia suka? Merekalah yang tiba di pelataran
keras, padat, rapat tak menyisakan sedikitpun tanah. Titik-titik air pun tak
tahu hendak kemana. Hingga mereka diam
berkubang setinggi satu depa, dua, tiga depa.... Dan menyungkup apapun yang ada
disekitar, membasahi manusia serta segala milik manusia yang seharusnya tak
tersentuh oleh air nestapa.
Kau. Diamlah disampingku, jangan dulu
beranjak pergi. Karena aku belum bosan berkata tentang hujan dan rasaku dikala
itu.
Kau tahu, aku suka hujan. Tapi bukan
gerimis, bukan pula yang keras bergelora. Hujan yang bersuara syahdu, itu yang
kunanti selalu. Bukan gerimis bisu atau hujan angin yang menderu bising,
mencekam dan menakutkan. Pada hujan yang syahdu aku mendengar alam bersuara
dengan irama yang menenangkan. Seperti irama yang muncul dari lari laju
darahku. Pada hujan pun sering kutitipkan rasa yang berkelana tak sempurna. Dan
kuyakin kau tahu apa....
Pondok Gede - 14102012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar