Selasa, 23 Oktober 2012

I DO NOTHING

 "I do nothing"..... Beberapa hari ini, tiga kata itu sering mendarat di pikiranku. Ya, belakangan ini aku merasakan, aku tak melakukan apa-apa. Sejak enam tahun yang lalu keseharianku hanya bergerak di dunia domestik, dengan jam kerja tak terbatas, dengan pencapaian yang tak kasat mata. Sungguh berbeda dengan perempuan lain yang berkiprah diluar rumah dengan karir  nyata, berikut hasil berupa eksistensi diri, prestasi dan materi.

Setelah "I do nothing" perasaan lain pun pelan-pelan muncul mengikuti. Yaitu citra diri "I'm nobody"..... Kadang terbit pula penyesalan atas ketidakmampuan saat ini menjadi pilar kedua dalam rumahtangga, yang memungkinkan tercapainya tingkat hidup keduniawian yang lebih baik. Perasaan itu semakin menguat ketika melihat dan mendengar teman-teman masa lalu yang berhasil menjadi ini-itu dengan karir, penampilan dan predikat yang berkilau. Aku ingat, dulu perasaan ini tak pernah muncul ketika aku masih berstatus sebagai "eight to five working woman."




Tapi sungguh, Allah SWT itu maha tahu, maha mengerti, maha bijak dan maha sayang. Ditengah perasaan negatif yang mengecilkan diriku sendiri, DIA memberikan pencerahan dengan tiba-tiba melalui pesan yang masuk ke ponselku. Dan siapa sangka, bahwa seorang mahasiswi lajang yang biasanya hanya mengirimkan pesan-pesan broadcast bertema riang gembira, yang kepadanya aku tak pernah melakukan "curcol", kali ini menjadi begitu bijak mengirimkan pesan penuh makna  kepadaku?

Ini isi pesan broadcast dari sepupuku *) ;

Dikutip dari perkataan almarhumah ibu Hasrie Ainun Habibie ;
"Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami kehilangan kedekatan pada anak sendiri?
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri? Anak saya akan tidak memiliki ibu.
Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu."

Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat dan jawaban untuk ibu-ibu berijazah yang rela berkorban demi keluarga dan anak-anaknya.  Karena ingin rumah tangganya tetap terjaga dan anak-anak bisa tumbuh dengan penuh perhatian, tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga untuk mendidik agamanya, karena itulah sejatinya peran orangtua.

Belajar dari kesuksesan orang-orang hebat, selalu ada pengorbanan dari orang-orang yang berada dibelakangnya, yang mungkin namanya tidak pernah tertulis dalam sejarah.

Berbanggalah engkau sang Ibu Rumah Tangga, karena itulah pekerjaan seorang wanita yang paling mulia.


Setelah membaca pesan itu, semangat yang sempat redup tiba-tiba seperti mendapat sinar baru yang lebih benderang. Membuatku lebih bersemangat menyiapkan masakan untuk makan malam, mengingatkan anak-anak untuk sholat, membantu si Tengah dan si Bungsu mengerjakan PR, juga membereskan segala tetek-bengek urusan domestik lainnya.

Kadang memang diperlukan sedikit "sentuhan kecil" untuk membangkitkan spirit yang mulai meredup, bukan?


Pondok Gede - 22102012


*) Terima kasih untuk sepupuku Bella atas kiriman pesan inspiratif  yang menyalakan kembali semangatku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar