"I do
nothing"..... Beberapa hari ini, tiga kata itu sering mendarat di
pikiranku. Ya, belakangan ini aku merasakan, aku tak melakukan apa-apa. Sejak
enam tahun yang lalu keseharianku hanya bergerak di dunia domestik, dengan jam
kerja tak terbatas, dengan pencapaian yang tak kasat mata. Sungguh berbeda
dengan perempuan lain yang berkiprah diluar rumah dengan karir nyata, berikut hasil berupa eksistensi diri,
prestasi dan materi.
Setelah "I do
nothing" perasaan lain pun pelan-pelan muncul mengikuti. Yaitu citra diri
"I'm nobody"..... Kadang terbit pula penyesalan atas ketidakmampuan
saat ini menjadi pilar kedua dalam rumahtangga, yang memungkinkan tercapainya
tingkat hidup keduniawian yang lebih baik. Perasaan itu semakin menguat ketika
melihat dan mendengar teman-teman masa lalu yang berhasil menjadi ini-itu
dengan karir, penampilan dan predikat yang berkilau. Aku ingat, dulu perasaan
ini tak pernah muncul ketika aku masih berstatus sebagai "eight to five
working woman."
Tapi sungguh,
Allah SWT itu maha tahu, maha mengerti, maha bijak dan maha sayang. Ditengah
perasaan negatif yang mengecilkan diriku sendiri, DIA memberikan pencerahan
dengan tiba-tiba melalui pesan yang masuk ke ponselku. Dan siapa sangka, bahwa
seorang mahasiswi lajang yang biasanya hanya mengirimkan pesan-pesan broadcast
bertema riang gembira, yang kepadanya aku tak pernah melakukan
"curcol", kali ini menjadi begitu bijak mengirimkan pesan penuh makna kepadaku?
Ini isi pesan broadcast
dari sepupuku *) ;
Dikutip dari perkataan almarhumah ibu Hasrie Ainun Habibie ;
"Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya
dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir,
buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika
akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan
resiko kami kehilangan kedekatan pada anak sendiri?
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional
jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya
sendiri? Anak saya akan tidak memiliki ibu.
Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah
orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena
bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga
setengah tahun kami bertiga hidup begitu."
Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat dan jawaban
untuk ibu-ibu berijazah yang rela berkorban demi keluarga dan
anak-anaknya. Karena ingin rumah
tangganya tetap terjaga dan anak-anak bisa tumbuh dengan penuh perhatian, tidak
hanya dalam hal akademik, tapi juga untuk mendidik agamanya, karena itulah
sejatinya peran orangtua.
Belajar dari kesuksesan orang-orang hebat, selalu ada
pengorbanan dari orang-orang yang berada dibelakangnya, yang mungkin namanya
tidak pernah tertulis dalam sejarah.
Berbanggalah engkau sang Ibu Rumah Tangga, karena
itulah pekerjaan seorang wanita yang paling mulia.
Setelah membaca
pesan itu, semangat yang sempat redup tiba-tiba seperti mendapat sinar baru
yang lebih benderang. Membuatku lebih bersemangat menyiapkan masakan untuk
makan malam, mengingatkan anak-anak untuk sholat, membantu si Tengah dan si
Bungsu mengerjakan PR, juga membereskan segala tetek-bengek urusan domestik
lainnya.
Kadang memang
diperlukan sedikit "sentuhan kecil" untuk membangkitkan spirit yang
mulai meredup, bukan?
Pondok Gede -
22102012
*) Terima kasih untuk sepupuku Bella atas kiriman
pesan inspiratif yang menyalakan kembali
semangatku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar