Minggu, 30 Desember 2012

Curahan Hati (Seorang Teman) Perempuan


Beberapa hari terakhir ini, menjelang pergantian tahun 2012 menjadi 2013, entah mengapa ponselku menjadi jarang mengeluarkan nada-nada. Baik nada tanda chat grup maupun tanda masuknya pesan pribadi....  Aku maklum saja. Mungkin teman-teman saat ini sedang dalam perjalanan liburan, atau bagi teman tertentu malahan sibuk di kantor mempersiapkan closing administrasi kantor, sehingga sedikit melupakan gadget-nya.

Tapi pagi ini, sehari menjelang pergantian tahun, tiba-tiba saja gadget-ku mengeluarkan nada tanda pesan masuk bertubi-tubi. Dengan bertanya-tanya, siapa gerangan yang sepagi ini sudah demikian "liar" mengirim pesan, kubuka juga pesan itu. Ternyata pesan itu berasal dari seorang teman perempuan, yang tanpa prolog langsung menyerbu ke inti permasalahan.

Seperti inilah isi pesan dari temanku itu (disalin sesuai aslinya) ;

- Ping
- Ping
- Ping
- Ping  #3 icon wajah marah#
- mungkin krn kami sdh lama bersama, jd sdh kehilangan saat2 romantis..... aku (lo juga kaleeee...)  sbg perempuan pastinya msh pingin diperhatikan sm suami.... tapi suami gue cuek... trs ada org lain yg care dan memperhatikan ....lalu ya begitulah... gue larut dlm romantisme itu....
- kenapa ya, para suami itu (suami gue kususnya) tidak tanggap bhw gue masih pingin diperhatikan, dirayu sedikit, dipuji.... dikomentari.... kita perempuan sebagian besar butuh itu. kalau suami tdk bisa berikan itu dan gue mendapat dr yg lain... apakah itu 100% jadi salah perempuan?
- herannya dalam kajian2 agama selaluuuuuuu.... saja ada "bgmn cara menjadi istri yg baik, solehah... bla...bla....bla...."  seakan cuma istri saja yg hrs jadi baik, memperhatikan suami, servis suami, dsb dsb .....  padahal istri kan juga punya kebutuhan psikis yg seharusnya didapat dr suami...
- kalau di_pikir2, apa juga sih beratnya kasih sedikit pujian buat istri...komen apa kek.... bajunya bagus atau hari ini kamu keren.... atau apalahhhh... pokoknya yg menunjukkan perhatian ke istri gitu..... dipikirnya kalau sdh transfer gaji ke rekg istri tiap bulan, semuanya sdh cukup-beres-selesai..... hadduuuuuhhhh..laki-lakiiiiiii....... kadang mereka mengaku pinter, rasional...tapi sebenarnya mereka itu bodoh....nggak ngerti kebutuhan istri!!!!!     #2 icon wajah marah#
- mustinya ada juga ustad2 yg memberi tahu ke para suami (jangan para istri saja diceramahi), bgmn cara menjadi suami idaman istri.....supaya istri tdk terjebak mencari kebutuhan romantisme dr org lain.....

Aku tiba-tiba menggaruk kepala yang sebenarnya tidak merasa gatal. Sebagai sesama perempuan, aku memahami kekesalan yang dialami temanku ini. Dalam beberapa hal aku setuju dengan materi omelannya itu. Tapi kupikir, jika aku ikut mengiyakan apa yang dia omelkan, bukan tidak mungkin dia makin bertambah "panas".  Karena itu aku hanya membalas pesannya dengan menanyakan apa yang terjadi pada dirinya ;

- lo kenapa sih, sayyyyy.......?

Segera masuk lagi pesan jawaban darinya ;

- gue asli bete berat sama sm suami gue.
- beteeeeeee........!!!!!    #3 icon wajah marah#
- #5 icon wajah menangis#

Dan aku hanya bisa menghiburnya ;
- #2 icon big hug#

Setelah itu aku termangu-mangu sendiri. Namun sebagai sesama perempuan yang bersimpati pada "derita" temanku itu, aku harus menyampaikan sedikit pesan kepada para suami ;

"Wahai para suami yang baik budi. Mengertilah, bahwa kaum perempuan mencintaimu tidak melulu karena materimu. Jangan merasa bahwa perempuan cukup puas dengan kelimpahan kemewahan yang kalian berikan. Ketahuilah bahwa para perempuan juga butuh perhatian dalam bentuk tindakan dan kata-kata, bukan dalam bentuk materi. Sedikit atensi, sedikit kata rayuan, sedikit kata pujian.... sudah cukup membahagiakan. Daripada sekian rupiah yang kalian pindahkan ke rekening bank-nya, tapi kalian biarkan jiwa mereka kosong... "


Pondok Gede - 30122012



Rabu, 12 Desember 2012

Bedah Caesar


"Sudah melahirkan?"
"Bayinya laki atau perempuan?"
"Beratnya berapa?"
"Persalinan normal atau operasi?"

Biasanya hal-hal itulah yang ditanyakan orang ketika mendengar kerabat dan handai taulannya bersalin, bukan? Sering kutemui, jika pertanyaan terakhir dijawab dengan kata "operasi (caesar)", si penanya akan menanggapi dengan kata "Oooo...." yang terkesan agak gimanaaa...gitu.
Jangan-jangan itu hanya perasaanku sebagai seorang ibu yang belum pernah melahirkan secara normal? Sehingga sedikit merasa tidak sempurna?

Seringkali aku mendapati komentar dari orang, bahwa melahirkan secara caesar itu enak. Bisa memilih hari dan tanggal, tidak merasakan sakitnya mengejan..... Padahal, siapa bilang? Kalau dipikir-pikir, ditimbang-timbang dan dirasa-rasa, melahirkan dengan cara yang diberikan Yang Maha Kuasa pastilah lebih nyaman daripada cara yang "diluar kebiasaan" seperti bedah caesar.

Mari simak pengalamanku sebagai seorang ibu yang tiga kali melahirkan, seluruhnya dengan cara yang "diluar kebiasaan". Aku yang sebelumnya tak pernah membayangkan bakal melahirkan dengan cara seperti ini. Yang tak pernah mengalami  "pembukaan" lebih dari ukuran dua jari. Yang menurut perkiraan pihak berwenang  tidak akan bisa melahirkan secara normal jika lingkar kepala bayi lebih dari 30 sentimeter (dan ternyata memang tiga anakku lahir dengan lingkar kepala 35-36 sentimeter) ;

- Sebelum operasi dilakukan, semalam sebelumnya  diharuskan berpuasa. Bandingkan dengan cara normal yang boleh makan apa saja, bahkan beberapa menit sebelum mengejan.

- Di dalam kamar operasi yang dingin bukan main. Dalam keadaan "benar-benar terbuka" menahan dingin dan merasakan proses pemasangan kateter. Belum lagi harus memposisikan diri seperti udang atau huruf ‘c’ untuk menerima suntikan anestesi di tulang belakang (yang kadang harus dilakukan berkali-kali karena pihak berwenang belum menemukan titik yang pas).

- Dalam keadaan setengah sadar masih bisa merasakan perut ditoreh pisau, meskipun tidak berasa sakit apapun. Lalu merasakan ada sesuatu yang ditekan, ditarik dan diangkat dari perut. Kemudian terdengar tangis bayi yang hanya bisa kulihat sesaat, sebelum bius benar-benar mematikan kesadaran.

- Begitu tersadar dan tak tahu waktu, banyak peralatan medis yang tertempel di tubuh. Selang kateter, selang infus, selang oksigen.... Dalam keadaan sangat haus, tapi hanya diijinkan minum satu atau dua sedot air. Karena untuk mengaktifkan kembali pencernaan harus menunggu angin keluar dari perut. (Dan kadang-kadang pun harus menunggu seharian sampai "si angin" benar-benar enyah dari tubuh).
Bandingkan dengan cara normal, yang setelah proses bersalin boleh makan apa saja dan sebanyak apapun.

- Ketika efek anestesi mulai habis. Mulailah terasa ngilu bekas sayatan. Yang membuat gamang untuk bangun, berjalan, bahkan tertawa dan terbatuk atau bersin... Karena setiap gerakan yang berhubungan dengan otot perut akan memunculkan rasa ngilu dan nyeri. Belum lagi masalah dengan keloid pada bekas operasi.

- Membutuhkan daya juang menahan sakit yang besar, ketika pada hari kedua oleh paramedis disarankan untuk bangkit dan berjalan sendiri tanpa bantuan, dengan alasan agar bekas operasi menjadi elastis dan tidak kaku. Padahal ngilu bekas sayatan masih sangat terasa, meskipun sudah dibantu dengan obat penghilang rasa sakit.     

- Dengan operasi caesar, perawatan pasca bersalin tidak bisa optimal. Karena tidak disarankan memakai gurita atau setagen, yang dipercaya bisa memulihkan "penampakan" perut. Dengan alasan, menghindari jahitan operasi robek atau terbuka kembali. Maka hilanglah harapan untuk kembali memiliki "penampakan" bagian perut seperti sebelum melahirkan.

Setelah membaca ini, masihkah ada calon ibu yang berpandangan lebih enak melahirkan secara bedah caesar, dan sengaja memilih melahirkan dengan cara  "diluar kebiasaan" seperti ini? 


Pondok Gede - 12122012

Jumat, 16 November 2012

Intrapersonal

 
Dalam beberapa hari ini media nusantara disemarakkan dengan berita tentang seorang artis senior. Artis itu, yang meng-klaim dirinya memiliki banyak penggemar, rupanya mengajukan dirinya menjadi petinggi negara RI. Terang saja, ke'pede'an Bapak ini mengundang berbagai komentar dari publik. Baik komentar yang simpatik, mendukung, maupun yang "menghibur" karena bermuatan canda.

Bagaimana tidak? Disaat publik masih terpesona dengan kemunculan "duo media darling" di pilkada ibukota, tiba-tiba artis senior ini menyeruak dengan yakin. Padahal dalam hajatan pilkada ibukota yang lalu, beliau sempat dinobatkan menjadi tokoh antagonis 'penganiaya'  tokoh protagonis yang disandang oleh 'duo media darling' tadi.

Membaca sedemikian banyak komentar dan celetukan mengenai artis senior ini, aku jadi ingat kata-kata Bapakku sekian waktu yang lalu. Menurut Bapakku, ada 4 jenis orang dilihat dari kemampuan intrapersonal-nya ;

Pertama ; orang yang tahu bahwa dirinya bisa. Dalam bahasa gaul disebut "pede".

Kedua ; orang yang tahu bahwa dirinya tidak bisa. Orang menyebut ini dengan istilah "sadar diri" atau "tahu diri".

Ketiga ; orang yang tidak tahu bahwa dirinya bisa. Kalau yang ini, bahasa populernya adalah "nggak pede" atau "minder".

Keempat ; orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak bisa. Ini parah, karena orang sering menyebut kondisi ini dengan kalimat "lo nggak punya kaca ya?" Hiks....

Ngomong-ngomong, kalau dibawa kedalam empat kategori ini, artis senior itu masuk ke kategori yang mana ya....? (Jangan salah sangka, ini benar-benar bertanya....).


Pondok Gede - 16112012

Kamis, 15 November 2012

Sihir Kata Sanie B.Kuncoro


Buku setebal dua sentimeter, bergambar sampul awan, burung berbulu merah biru coklat dan rumpun bunga ini kutimang-timang.*) Kadang kubuka lagi halamannya secara acak, kubaca beberapa paragrafnya, dan mataku terasa panas lagi.

Entah apa yang sedang dirasakan oleh Sanie B.Kuncoro ketika menulis novel dengan judul "Memilikimu" ini. Sungguh, karya penulis asal Solo sanggup mengaduk-aduk perasaanku. Seperti menyihir dan memaksaku untuk berkali-kali menghapus airmata sepanjang membaca novel ini. Bukan sekali! Bahkan ketika untuk kedua kalinya aku mengulang membacanya, aku masih "mbrebes mili" mengikuti alur kata-kata dalam cerita yang mengharu biru.

Bicara soal isi cerita, sebenarnya tidaklah berbeda dengan beberapa novel lainnya. Inti cerita adalah tentang cinta dan pengkhianatan, meskipun pengkhianatan dalam cerita ini bukanlah sesuatu yang sangat "hitam". Melainkan untuk suatu alasan yang bisa dipahami dengan perasaan, bukan dengan logika.

Garis cerita seperti itu dituturkan dengan cara yang sangat halus oleh mbak Sanie. (Mungkinkah karena dia seorang perempuan dan bersinggungan dengan kota Solo yang dikenal dengan kehalusan tuturnya?). Kelembutan kata dalam novel ini, bagiku sangat menghanyutkan. Kadang menimbulkan rasa mencekam, mengiris hati, dan akhirnya mendesak hingga mengalirkan air mata. Seakan aku benar-benar bisa merasakan kesakitan hati Samara yang dikhianati oleh suaminya. Aku bisa larut dalam ambigu Anom ; antara keinginan hati dan menjaga janjinya pada Samara.

Cobalah simak penuturan mbak Sanie ketika menggambarkan Samara  meng-ikhlaskan Anom pergi untuk selamanya: "..... Jauh di dalam benak Samara tak hendak melepaskan Anom, tapi ada kesadaran bahwa sesungguhnya dia tak lagi memiliki laki-laki itu sepenuhnya. Pengkhianatan itu telah merenggut Anom darinya. Aku tidak tahu siapa diantara kami yang membuatmu bertahan, gumam Samara kemudian. Tapi, yang terutama adalah dirimu. Bila luka ini justru menyiksamu, maka lepaskanlah kami. Teruskanlah perjalananmu..... " (halaman 182-183).

Terlalu panjang untuk dikutip. Chapter "Doa Terakhir" halaman 199-202 juga membuat mata cengengku ini kian deras mengalirkan air. Bagian ini adalah ketika Anom meminta maaf kepada Samara atas pengkhianatannya dan memohon agar Samara sudi menerima kehadiran anaknya.

Juga pada akhir cerita, saat Samara hampir kehilangan Magenta : ".... Barangkali tidak bisa kulupakan pengkhianatan ayahmu kepadaku, tapi aku bisa memaafkan. Demi dirimu akan kumaafkan pengkhianatan itu dengan ikhlas, dan keikhlasan yang sama akan kuajarkan padamu suatu hari nanti sehingga dengan itu akan kau maafkan ayahmu, ibu yang melahirkanmu dan aku yang pernah mengingkarimu..." (halaman 280).

Dari banyak novel-novel yang pernah kubaca, ada tiga judul yang membuatku selalu ingat, bahwa aku pernah menangis membacanya. Adalah novel sastra "Hilanglah si Anak Hilang" karya Nasjah Djamin yang kubaca saat aku duduk di SMA. Lalu "Dalam Lindungan Ka'bah" karya tokoh besar Buya Hamka. Dan baru-baru ini "Memilikimu" karya Sanie B.Kuncoro.

Bila rasa sudah tersentuh, itulah yang terjadi. Tak peduli aku disebut cengeng, alay atau lebay... Rasa dan hati orang per orang tak pernah bisa sama, bukan?


Pondok Gede - 14112012

*) Novel "Memilikimu" karya Sanie B.Kuncoro, diterbitkan oleh GagasMedia, 2011.

Selasa, 13 November 2012

Biografi "Gelap"


Bicara mengenai biografi, biasanya aku akan langsung membayangkan sebuah buku setebal minimal dua sentimeter, dengan tampilan mewah dan sampul depan bergambar foto lelaki atau perempuan dengan senyum termanis yang dia punya.

Sementara menurut wikipedia, yang disebut  Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang. Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekedar daftar tanggal lahir atau mati dan data-data pekerjaan seseorang, biografi juga bercerita tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut. Dalam biografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya, dan segala hal yang dihasilkan atau dilakukan oleh seorang tokoh dijelaskan juga.

Dan sesuai dengan terminologinya, biografi pastinya akan bercerita tentang sejarah hidup si tokoh yang diceritakan, dari kecil (kalau perlu dari saat kelahirannya) hingga si tokoh beranjak menua dan kadang sampai saat meninggalnya. Tak lupa kisah hidup yang heroik pasti akan menjadi inti dari buku tebal nan mewah itu.
Dari biografi pula, setidaknya kita tahu bagaimana perjalanan hidup seseorang. Dengan harapan pengalaman hidup si tokoh itu akan meng-inspirasi langkah kita dalam mengarungi kehidupan.

Tapi kemudian terpikir olehku ; mengapa sepanjang yang kutemui, biografi yang beredar hampir selalu diisi dengan keberhasilan, kesuksesan dan pengalaman hidup yang 'baik-baik' dan berasal dari orang-orang yang dikenal 'baik'? Bukankah kita perlu juga memahami (misalnya) : mengapa Adolf Hitler menjadi seorang rasis, mengapa seorang Imam Samudra memilih jalan menjadi  pembuat bom dan teroris, mengapa seorang yang dimasa mahasiswa dikenal sebagai aktivis dan idealis bisa menjadi koruptor kelas kakap ketika memiliki jabatan?

Membaca biografi orang-orang sejenis Hitler, Imam Samudra atau seorang koruptor kelas kakap, kupikir tidak ada salahnya. Bagaimana kita bisa menyebut sesuatu adalah 'baik' jika tidak ada pembanding yang disebut 'buruk'? Setidaknya, dari biografi 'mereka yang dianggap mewakili sisi gelap manusia' itu kita bisa memagari diri dan lingkungan agar tidak menjadi seperti mereka. Kecuali jika kita memang ingin berbuat seperti orang-orang dari sisi 'gelap' itu. Semoga itu tidak terjadi.


Pondok Gede - 13112012

Jumat, 09 November 2012

Saat Pembeli Bukan Raja



Pernah dengar slogan  "Pembeli adalah Raja"? Aku yakin, bagi mereka yang berada di lingkungan bisnis, slogan ini wajib dihayati dan dijalankan. Tapi bisa jadi juga ini adalah pandangan lama yang sudah kuno dan basi. Kenapa? Karena dari berbagai laman yang ada dunia maya, aku banyak menemukan tulisan-tulisan yang menolak paradigma lama itu. Para penulis pembaharu itu lalu memperkenalkan paradigma baru yaitu "kesetaraan pembeli dan penjual". Mereka berkeberatan jika pembeli ditempatkan di posisi lebih tinggi daripada penjual.

Baiklah. Aku tidak membicarakan pertentangan paradigma lama dan baru tentang pembeli-penjual. Aku hanya ingin mengisahkan pengalamanku sebagai pembeli (= pengguna jasa) salah satu laundry.

Gerai laundry yang kumaksud ini terletak di jalan utama di lingkungan tempat tinggalku. Dengan lokasi yang mudah dilihat dan dijangkau, tak heran banyak yang menggunakan jasanya. Sebenarnya pun aku baru empat kali menggunakan jasa laundry ini, karena gerai laundry lain yang biasa kugunakan tutup untuk sementara.

Kali pertama, dijanjikan selesai dalam waktu 3 hari. Ketika hari yang ditentukan tiba, mereka bilang "belum selesai" tanpa permintaan maaf. Okelah, saat itu aku maklum, karena memang masih dalam suasana lebaran dan sebagian pekerjanya belum kembali dari mudik.

Kali kedua. Mereka menjanjikan waktu 3 hari (mungkin itu memang standar layanan mereka). Sengaja aku mengambilnya pada hari keempat, dengan pemikiran "siapa tahu mereka tidak bisa memenuhi deadline pada hari ketiga". Benar saja, ketika aku sampai disana, order belum diselesaikan. Alasan mereka, karena order sedang banyak. Walaupun mereka tidak meminta maaf dan sedikit kecewa dengan pelayanan yang diberikan, aku masih memaklumi.

Kali ketiga. Masih dengan pemakluman penuh, aku kembali menggunakan jasa mereka dengan harapan kali ini mereka bisa tepat waktu. Aku datang pada hari keempat, lewat sehari dari yang mereka janjikan. Ternyata sama dengan sebelumnya, orderku belum diselesaikan. Kali ini aku mulai jengkel (untunglah pada kesempatan ini mereka meminta maaf). Tapi herannya, kenapa aku dengan bodohnha masih mau balik lagi kesitu untuk order yang keempat kalinya?

Kali keempat. Dengan pengharapan bahwa mereka akan memperbaiki layanannya, aku kembali memakai jasa mereka dengan janji akan selesai dalam waktu 3 hari. Seperti biasa, aku datang dihari keempat. Ternyata seperti yang kemarin-kemarin, kedatanganku disambut dengan jawaban "belum selesai".

Untuk kali keempat ini, kekecewaanku sudah memuncak sampai ubun-ubun, ditimpali lagi dengan perasaan jengkel karena berulangkali mendapatkan layanan seperti ini. Apalagi mengingat bahwa pakaian akan dipakai esok hari. Dan inilah dialogku dengan salah satu pekerja di outlet laundry itu.

(+) Mbak, padahal ini sudah saya lebihkan sehari lho. Janjinya kan selesai hari Kamis kemarin."

(-) Ini lagi banyak banget ordernya, Bu. Yang janji hari Selasa aja belum selesai. (Tanpa wajah menyesal, apalagi permintaan maaf)

(+) Mbak, kalau memang nggak bisa selesai dalam 3 hari, kenapa diawal nggak disebutkan saja 'selesai dalam 5 hari'. Jadi pelanggan nggak kecewa. Saya sudah tiga kali lho, mengalami seperti ini disini... (Aku mulai mangkel melihat si Mbak itu menjawab seolah hal ini wajar-wajar saja).

(-) Iya, bu. Ini memang ordernya lagi banyak. Tenaga pekerja tambahan baru akan datang besok... Bla...bla...bla... (Jadi aku harus maklum terus nih...?! Pikirku jengkel)

(+) Jadi kapan order saya bisa selesai, mbak? (Aku bertanya sambil menyabarkan diri)

(-) Besok ya, bu.  (Si Mbak menjawab cuek sambil terus mengerjakan pekerjaannya).

(-) Aduuhh... Mbak ini janjinya kenapa meleset terus?  (Aku mulai bete)

(+) Yaa...kalau disini sih, orang sudah biasa, Bu. Mereka sabar aja. Kalau sudah nggak sabar biasanya mereka nggak datang lagi. (Whaaatt...??!!! Beginikah cara mereka berbisnis? Tidak me-maintenance pelanggan??)

(+) Nanti sore bisa nggak? Baju itu mau dipakai besok.... (Darahku mulai mengalir ke kepala)

(-) Nggak bisa, bu. Kita lagi kekurangan tenaga nih... Soalnya...bla...bla...bla.... (Aku berteriak dalam hati : Heiiiii...!!! Aku ini customer, masa harus ikut mikirin kendala-kendala yang kalian hadapi??! .... Arrgghhh.....@?!!!#&*$*+@##)

Mungkinkah si Mbak pekerja laundry itu juga membaca tulisan-tulisan tentang perubahan paradigma dari 'pembeli adalah raja'  menjadi  'kesetaraan pembeli-penjual', hingga ia bisa bersikap seperti itu pada pelanggan? Entahlah. Yang pasti, ini adalah terakhir kali aku menggunakan jasanya. Lain kali aku akan cari gerai laundry yang tepat waktu dan tulus meminta maaf jika tidak bisa menepati janji.


Pondok Gede - 09112012