Jumat, 29 November 2013

MAJAL




Suatu masa, kita pernah punya pensil aneka warna.

Kugoreskan kuning, jingga, hijau tua, hingga nila... 
Kau torehkan merah, biru, juga abu-abu. 
Semua warna mengisi hari-hari yang kusangka tak punya tepi. 
Karena, manakala majal salah satu warnanya, aku rela merautnya. 
Bila majal kembali, akan kuraut lagi dan lagi...  
Aku setia menabur aneka rupa warna.

Tapi aku letih, kala warna-warna itu tergolek pudar tak nyata. 
Betapa inginnya aku, engkau meraihnya sejenak lalu merautnya, 
lalu kau sapukan sedikit saja kuning atau jingga biar hatiku merona. 
Penantian yang tak ada artinya, kalaulah tak dikatakan sia-sia.

Kubiarkan warna-warni itu jadi tak berarti. 
Pudar tak terbarui lagi. 
Lalu aku hanya bisa berkata ; 
"Bukankah aku mewarnai harimu dulu? 
Seperti juga kau yang mewarnai hariku. 
Kemana perginya biru, abu-abu, jingga dan nila itu.
 Aku tak perlu jawabmu. 
Hanya kuberharap, jujurlah pada hatimu..."


Pondok Gede - 28112013

Rabu, 27 November 2013

Rumah Teduh Itu Telah Lenyap



 
Beberapa tahun yang lalu, setiap kali melewati rumah di ujung jalan keluar komplek, aku selalu berandai-andai. Seandainya aku bisa punya rumah seperti itu ; Rumah yang tegak di tengah keteduhan pepohonan dan tanah sekelilingnya diselimuti hamparan rumput hijau. Tanah tempat rumah itu berdiri, bagiku sangat luas. Kuperkirakan luasnya mencapai 1000 meter persegi, atau malah lebih.



Rumah itu adalah milik Nenek salah seorang teman sekolah anakku. Dulu sebelum keluargaku pindah mukim ke luar kota dan kembali lagi ke tempat ini, aku pernah mengawal anakku memenuhi undangan acara ulang tahun temannya itu. Sebab itulah aku tahu betapa luas dan hijaunya lahan itu. Halaman belakang rumah yang diselimuti rumput hijau kuperkirakan bisa menampung lima atau enam tenda camping ukuran sedang. Sungguh sebuah kemewahan bagiku yang tinggal di komplek dengan tembok antar rumah yang saling berdempetan...heuheu...



Tetapi setelah tiga tahun kami menjalani hidup rantau dan kembali lagi ke rumah mungil kami, aku terkejut. Rumah teduh dan hijau yang kukagumi itu telah lenyap. Bukan hanya rumah bercat putih itu yang menghilang, tapi juga pepohonan dan rumput hijaunya. Yang kutemui sekarang adalah lahan luas dikelilingi seng dan umbul-umbul nama 'Villa XYZ' didampingi umbul-umbul dari sebuah bank penyedia jasa KPR. Oalahh...



Ada rasa miris menghinggapi... Rupanya kebutuhan hunian telah dengan rakusnya melahap lahan hijau tempat tumbuhnya pepohonan yang menyimpan air tanah sekaligus menghasilkan oksigen. Disekitar komplek kediamanku setidaknya ada 3 lahan yang sebelumnya adalah rumah tunggal ataupun tanah kosong serupa kebun dan ladang yang berubah menjadi komplek mini berisi rumah model town house dibawah 20 unit. Semuanya tampak dibangun oleh developer berskala kecil yang baru menapak dunia properti.



Kebutuhan tempat tinggal memang suatu keniscayaan. Tapi di alam pikiranku yang awam, ini menjadi suatu hal yang "mengerikan"  bila dikaitkan dengan kelestarian air dan ruang hijau. Aku membayangkan, jika dulu lahan seluas itu hanya digunakan untuk menampung 1 bangunan rumah, tentunya masih banyak tanah terbuka yang bisa digunakan untuk resapan air dan tumbuhnya pepohonan. Sekarang, jika diatas lahan itu dibangun 10 hingga 15 rumah, otomatis ruang terbuka habis... Lalu, bagaimana dengan fungsi tanah sebagai resapan air? Terlebih lagi  membayangkan, tentunya akan muncul pula 10 hingga 15 titik tanah yang akan di-bor sebagai sumber air masing-masing rumah, mengingat layanan PAM belum menjangkau kawasan ini.



Semakin miris, jika teringat pengalaman tahun lalu, dimana sumber air di rumahku benar-benar mengering di musim kemarau hingga pompa air terus berdengung hingga berjam-jam tanpa setitik air pun yang keluar. Suatu hal yang baru kali ini terjadi setelah 16 tahun kami tinggal di tempat ini. Itu pun kami dengan kesadaran sendiri beberapa tahun sebelumnya telah membuat sumur resapan air hujan di lahan kami yang imut. Bagaimana dengan rumah-rumah lain, apalagi yang tidak memiliki sumur resapan? Yang pasti dimusim kemarau tahun lalu, tukang sumur bor kebanjiran order mencari sumber air baru dan memasang jet pump. Bahkan yang kudengar, ada yang mengebor hingga sedalam 40 meter demi mendapat sumber air yang layak.



Sekarang aku hanya bisa berharap, semoga para developer memiliki wawasan dan kesadaran yang baik tentang "manajemen air" dan pelestarian ruang terbuka hijau. Atau jika sudah ada aturan dari pemerintah tentang hal itu, sudilah mereka  menaatinya. Apalah salahnya mengurangi beberapa juta keuntungan untuk membuat resapan air di setiap unit rumah yang dibangun untuk "menabung air" serta melestarikan tetumbuhan, demi memelihara dan merawat bumi kita sendiri. Perbaikan memang seyogyanya dimulai dari diri sendiri dan sekitar kita bukan?




Pondok Gede - 25112013

Jumat, 18 Oktober 2013

Pungli itu Menjengkelkan



Pungli adalah kependekan dari "pungutan liar". Jika disebut 'liar', pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan. Tapi sebaliknya ; bikin mangkel, gondok, jengkel... Lebih menjengkelkan lagi, jika pungli itu terjadi di tempat yang tidak disangka-sangka. Seperti yang kualami hari ini di TPS (tempat pengumpulan sampah).

Ceritanya, akhir-akhir ini aku selalu menghindari meletakkan sampah di depan pagar rumah karena jadwal pengangkatan sampah oleh petugas komplek menjadi tidak teratur. Petugas pengangkut sampah itu layaknya hujan di akhir musim saja. Kadang datang dua kali seminggu, bisa juga sekali seminggu. Tapi kalau sedang rajin, dia bisa datang setiap hari dalam tiga hari berturut-turut. Ketidakteraturan jadwal angkut sampah itu bagiku menjengkelkan. Karena walaupun sudah dikemas dengan rapi, pemulung yang lewat selalu giat mengaduk isi kantong sampah dan enggan mengikatnya kembali dengan baik. Akibatnya, sampah yang sudah kupilah - mana yang organik dan mana yang anorganik - berceceran kemana-mana. Terlebih jika kucing-kucing tak bertuan juga ikut memilah sampah mana yang bisa dijadikan menu dinner-nya. Sungguh 'menyeramkan' menemukan sampah yang lolos dari kantong dan bertebaran dipagi hari.

Maka galaulah aku melihat kantong-kantong sampah yang masih teronggok pasrah, ditambah kekhawatiran jika malam nanti kantong sampah itu dicabik-cabik oleh "kucing-kucing punk". Ditengah kegalauan itu tiba-tiba aku ingat, diluar komplek aku pernah melihat sepetak tanah kosong yang diatasnya aku sering melihat gerobak pengangkut sampah parkir disana. Dan pada waktu-waktu tertentu, aku juga melihat truk dari pemkot  mengangkut sampah yang ditumpuk disitu.  Nah, daripada menunggu kedatangan petugas sampah yang tak menentu, maka aku pun berinisiatif mengangkut sendiri kantong sampahku ke TPS itu.

Tapi apa yang terjadi? Saat aku baru saja meletakkan kantong sampah disisi tumpukan sampah yang menggunung, seorang lelaki datang menghampiriku sambil setengah berteriak.

"Nggak boleh buang sampah disini, Bu!"  Teriaknya smbil mendatangiku.

"Lha, ini kan tempat penumpukan sampah? Kok nggak boleh?"  Tanyaku, setelah sempat heran dan terbengong.

"Ibu dari mana?"  Laki-laki lusuh bersepatu boot hitam itu malah balik bertanya.

"Saya tinggal disitu,"  jawabku sambil menunjuk arah komplek yang tak jauh dari lokasi.

"Nggak boleh buang sampah disini," katanya lagi.  Membuat aku mendadak jengkel melihat kedegilannya.

"Lho, ini kan memang tempat sampah? Lalu kenapa tidak boleh buang sampah disini? Di komplek saya ada petugas pengangkut sampah, tapi datangnya nggak teratur. Makanya saya antar sendiri kantong sampah saya kesini,"  ujarku panjang lebar sambil menahan dongkol. Apa sih, maunya orang ini? Memangnya sampah disini ekslusif dan istimewa, sehingga tidak boleh bercampur dengan sampah yang kubawa?

"Kalau mau buang sampah disini, saya bisa tolongin. Kasih aja saya seberapa buat beli rokok... Nanti saya bilangin ke orang-orang sini. Tuh, rumah emak saya yang sebelah situ,"  katanya sambil menunjuk sebuah rumah yang di halamannya bertumpuk karung - yang sepertinya- berisi barang bekas.

Oh, aku baru paham, rupanya dialah "penguasa" lahan ini sehingga dia merasa berhak melarang atau membolehkan orang beraktivitas disini. Dengan hati jengkel, aku merogoh kantong celana. Selembar uang yang tadinya sengaja kubawa untuk berjaga-jaga pun kuangsurkan ke tangannya. Sebenarnya hatiku tak rela. Bukan semata-mata masalah uangnya, tapi cara laki-laki itu "memalak" itulah yang kubenci.

"Tiap bulan muda aja Ibu kasih uang ke saya. Habis itu Ibu saya jamin aman buang sampah disini," katanya sambil tersenyum. Tapi sayangnya, menurutku senyum itu mirip senyum "lucifer".  No way! Cukup kali ini saja aku terpaksa pasrah "dipalakin" (daripada harus membawa kembali kantong sampah ke rumah). Aku menggerutu dalam hati sambil bergegas meninggalkan tempat itu.

Mau tak mau setelah ini, aku harus memikirkan cara agar kantong-kantong sampahku aman dari jarahan pemulung dan kucing-kucing tak bertuan, hingga saatnya diangkut oleh petugas sampah yang kehadirannya tak menentu. Mungkin dengan membuat bak sampah bertutup berikut gemboknya? Ckckck...


Pondok Gede - 16102013

Rabu, 16 Oktober 2013

"A shoulder to Cry On"





Dia pernah merasa bahwa semua baik-baik saja. Bahwa segala yang ada sama dengan yang diharapkannya. Dan ia berpikir ; Betapa Sang Maha Cinta telah begitu bermurah padanya. Maka sedikit jumawa tumbuh pada hatinya. "Hei, tidakkah kalian lihat... Sang Maha Cinta telah anugrahkan yang terbaik  bagiku. Aku bahagia. Tiada tara..."

Tapi tahukah ia. Bahkan sungai tak selalu mengalirkan air yang tenang, laut tak selalu diam menghanyutkan, angin tak selalu semilir menenangkan. Begitulah. Suatu waktu ia menyadari tidak semua yang ada baik-baik saja. Kali ini adalah saatnya ; Sungai menghantar airbah, gelombang laut geram menghantam, angin berpusar menggulung debu...

Maka airmata kini setia menyapanya. "Mengapa segenap percayaku tiba-tiba cabik disisi-sisinya,"  keluhnya. "Manalah pernah kusangka, kisah itu tertera juga dalam lembar hidupku?"  Sesak hari karena luka hati. Ia mengeluh dan lusuh.

Badai itu mendatanginya jua. Saat ia merasa segalanya telah sempurna. Lalu kemana harus dilarikankannya sedih, airmata, dan duka? Orang alim berkata, mengadulah kepadaNYA... Ya, ia memang menyertai doa-doanya dengan derai tangis pengaduan kepada Yang Maha Pencipta. Tapi, tetap ia pinta sedikit kata dan suara  yang mampu menguatkannya... Tempat terbuang sedikit laranya, seperti air sungai yang menghendaki muara tempat bersua dengan samudra ; Seseorang yang berhati untuk memberi simpati, bertelinga untuk dengarkan kisah duka, bersuara untuk berikan kata penegak jiwa.

Ia menemukan pencariannya, dan dengarlah ia berucap : 

"Tersengal tangis, terbata-bata aku tumpahkan semua duka, luka dan sesalku. Pun engganku menyongsong lagi esok hari. Ucapku tak jelas disela isak... Bersyukur aku, karena kau mendengarkan aku. Meskipun untuk itu aku harus mencuri waktumu, kau harus menyisih sejenak dari ruang yang meminta hadirmu... Lebih banyak hening ada padamu, karena kau berikan sepenuhnya pendengaranmu untuk tuturku yang tak teratur."

"Tak semua katamu sesuai untukku. Tapi untuk kau tahu, hadirmu saat mendengarkan aku dengan segala lara,kecewa dan putus asaku, adalah yang terindah kala itu. Sedikit saja kata-katamu, tapi membuatku merasa tak sendiri menanggung duka. Aku bersyukur atas adamu, walau dirimu hanya berwujud suara, kata dan sejuta telinga bagi pelabuhan resah rasa."

Dan hari ini, ia mampu tegak jalani hari karena yakin tak sendiri...

"... cause everyone needs a shoulder to cry on, everyone needs a friend to rely on... "
(Tommy Page)


Pondok Gede - 16102013