Sabtu, 31 Desember 2011

Cerpen : "Masih Ada Langit Biru"


Tahun 1994, untuk kedua kalinya cerpenku dimuat di majalah kumpulan cerita "Anita Cemerlang" (sayang sekarang majalah ini sudah mendiang). Honornya Rp. 65.000,--  dikirim via weselpos. Tapi waktu itu, kebanggaan bahwa karyaku mampu menembus media nasional lebih bernilai daripada jumlah Rupiah honor itu.









Jumat, 30 Desember 2011

Pertanyaan Sepanjang Hidup

Baru sadar, bahwa ternyata manusia sebagai makhluk sosial (dan hidup di negara tercinta Indonesia), sepanjang hidupnya diharuskan menjawab berbagai pertanyaan dari lingkungannya. Pertanyaan itu selalu berubah sesuai tahapan usia. Dan setelah menerima pertanyaan itu, selalu kita seperti dikejar dan diburu untuk segera merealisasikan dan bahkan menjadi terbebani karenanya.
 

Dan ini adalah berbagai pertanyaan yang umumnya ditanyakan oleh kenalan/kerabat/handai taulan ;

Pada masa sekolah : "Kapan lulus?" atau "Disekolah ranking berapa?" atau "IP nya berapa?". Bagi yang berotak encer dalam bidang akademis, pertanyaan seperti ini pasti akan dijawab dengan senang hati, bahkan dengan bangga. Sebaliknya bagi yang pas-pasan kebawah, pertanyaan seperti ini pasti jadi hal yang menyebalkan bukan?

Setelah selesai sekolah ; "Kerja dimana?" atau "Kapan menikah?" Bagi mereka yang jomblo pertanyaan ini menyakitkan. Jangankan berpikir tentang menikah, calon saja belum punya.... Dan bagi yang masih jobless, pasti dalam hati menggerutu, memangnya cari kerja segampang mencari botol bekas aqua?

Setelah menikah ; "Kok masih langsing, perutnya belum gendut?" Wahai, orang yang suka bertanya seperti ini, sadarkah anda bahwa hamil atau belum hamil, punya keturunan atau tidak punya, itu sudah sangat terkait dengan kehendak Allah SWT? Sangat mengherankan (dan menjengkelkan) bahwa orang Indonesia senang sekali mengajukan pertanyaan seperti ini dengan berbagai variasi kalimat. Pertanyaan - yang konon - sangat dihindari oleh masyarakat yang hidup belahan dunia lain.

Bahkan setelah punya anak, masih ada lagi pertanyaan berikutnya ; "Kapan punya adik?" atau "Tambah satu lagi, dong.... Siapa tahu nanti yang lahir cewek....(dan sebaliknya)."   

Alamaaakk......memangnya punya anak segampang bikin kue brownies....? Kalau ingin anak perempuan, tepungnya ditambah sekian gram.... Tapi kalau ingin anak laki, gulanya harus dikurangi sekian gram...... Supaya sukses dan efektif, pembakaran harus dengan panas sekian derajat Celcius, waktu pembakaran sekian menit....bla...bla...bla...
Kalau semudah itu cara punya anak dan memilih jenis kelaminnya sih, oke-oke saja.... Tapi masalahnya kan tidak seperti itu....

Selama hidup di Indonesia, yakinlah pertanyaan-pertanyaan seperti ini dengan berbagai varian-nya pasti akan kita terima. Suka atau tidak suka, menyenangkan atau menyebalkan.....
Kenapa sih, kita tidak menanyakan hal-hal lain  yang tidak berkenaan dengan kehidupan pribadi seseorang? Mungkin sebaiknya kita harus mulai membiasakan diri, jika bertemu dengan kenalan/kerabat/handai taulan, kita bicara saja tentang cuaca, atau tentang harga beras yang terus naik, atau lalu lintas yang macet..... Hindari  menanyakan hal-hal bersifat pribadi. Alih-alih ingin dianggap punya atensi, malahan tanpa disadari pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat si "Tertanya" merasa tidak nyaman......

 

Pondok Gede - 30122011

Rabu, 28 Desember 2011

Ari Bule - Langkah Kecil Orang Muda

Libur akhir tahun ini, Yogyakarta tetap menjadi tujuan utama kami. Karena dikota tua ini anak-anak masih memiliki Mbah Akung dan Mbah Uti untuk disowani.
Seperti ritual, setiap kali pulang kerumah Mbah-nya anak-anak selalu mensyaratkan acara makan mie (instan) di sebuah warung sederhana di ujung jalan rumah Mbah.

Dan pada suatu pagi menjelang siang, kami jalani juga acara itu. Didepan warung yang menjadi tujuan kami, aku berpikir sepertinya ada yang berubah dengan tampilannya. Jika dulu penampilan fisiknya sederhana, berdinding kayu dan berlantai semen. Sekarang bangunan warung terlihat lebih "chic". Dinding terbuat dari bata tanpa plester, lantai keramik (sepertinya keramik made in Kasongan), di depan warung ada patung singa. Semuanya menampilkan kesan etnik. Memasuki warung, aku makin 'surprised'. Dinding warung dipenuhi dengan poster tim sepakbola mancanegara, juga pernak-pernik tim sepakbola liga Indonesia. Disalahsatu dindingnya terpajang pula foto Sri Sultan Hamengkubuwono X, suatu tanda bahwa warung ini berada diwilayah Yogyakarta. Semua keterkejutanku itu disempurnakan dengan sebentuk teve LCD yang bertengger dengan manis, menyiarkan acara dari channel Indovision. Wow.....

Seperti biasa, anak-anak memesan mie rebus dan goreng dengan telur tanpa sayur. Sementara aku dan ayahnya anak-anak meminta bubur kacang hijau ketan hitam. Sambil menunggu pesanan datang, aku memperhatikan keseluruhan isi warung. Lebih rapi dan bersih dibanding dulu. Oh..ya...ada lagi yang berbeda. Penunggu warung kali ini ternyata dua anak muda (kalau tidak salah ingat, dulu penunggu warung adalah sepasang suami-istri yang agak kurang ramah).

Aku terkesan dengan kedua anak muda ini. Mereka bekerja dengan ringan dan cekatan. Air muka mereka cerah, ramah dan penuh atensi. Bahkan ketika disela-sela pengunjung yang datang silih berganti, datang tiga anak kecil membeli es teh manis seharga seribu rupiah, tetap mereka layani dengan ramah.
Tapi setelah beberapa waktu memperhatikan interaksi antar keduanya, aku bisa menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka memiliki posisi yang lebih tinggi. Dalam hal ini adalah si anak muda yang berkulit lebih cerah, dan ternyata bernama Ari tapi lebih sering dipanggil "Bule".

Rasa ingin tahu pun muncul seketika. Melalui obrolan singkat dengan Ari Bule ini, aku tahu bahwa dugaanku benar. Dialah pemilik warung ini. Kuperkirakan lagi, umurnya sekitar dua puluh lima tahun, karena dia mengaku sudah mulai berusaha dibidang ini selama 8 tahun sejak lulus SMA. Adapun warung yang aku kunjungi ini adalah relokasi dari yang sebelumnya terletak diseberang jalan, dan dia tidak tahu kemana perginya warung yang sebelumnya berada dilokasi ini, yang pemiliknya kukatakan agak kurang ramah itu.

Ari Bule, si wirausaha muda itu dengan bersemangat bercerita bagaimana perjalanannya hingga mampu membangun warung semi permanen diatas tanah yang disewanya selama lima tahun dengan harga puluhan juta serta memiliki empat orang pegawai yang bekerja 2 shift (warung itu buka 24 jam). Ia optimis bakal mencapai titik impas dalam waktu 2,5 tahun. Dan seterusnya ia bercita-cita membuka satu warung lagi untuk memberi lapangan kerja bagi teman-teman yang satu kampung dengannya.

Aku terkagum-kagum melihat semangat dan optimisme anak muda ini. Aku membayangkan, jika sepersepuluh dari anak muda negara ini memiliki semangat dan tekad yang sama dengan Ari Bule ini, tentunya jumlah manusia penganggur akan berkurang. Karena mereka mampu menciptakan lapangan kerja, bukan sekedar mencari kerja. Langkah kecil Ari Bule ini, bolehlah disebut sebagai embrio dari entreupreuner tangguh dimasa depan, meskipun kadang mereka luput dari perhatian pemerintah. Semoga langkah-langkah kecil mereka tidak tersandung oleh kebijaksanaan penguasa yang hanya menguntungkan pemodal besar.

(Setelah mengobrol dengan Ari Bule, aku berharap semoga salahsatu dari anakku bisa berbuat seperti dia ; wirausaha, mandiri, ulet, pencipta lapangan kerja, bukan pencari kerja.......)

Pondok Gede - 28122011

Senin, 26 Desember 2011

Cuti Bersama : Antara Pergerakan Ekonomi, Konsumtif dan Hedonis

".....kl gak salah cuti bersama itu dl salah tujuannya u/ menggairahkan perekonomian nasional. org2 pergi berwisata, moda transportasi penuh, okupasi hotel tinggi, kuliner diburu, handycraft laku.
sekian th berjalan kira2 apa mmg tepat sasaran ya? apa mmg ada eskalasi uang beredar di DTW? apa mmg peredarannya terdistribusi dg benar, bukan terkoleksi hanya ke pemodal kuat? apa tdk membuat bangsa ini lbh hedonis konsumtif?....."
Status di FB oleh Novrial R.Mangkutto / 26122011 *)


Status seorang teman yang mampir di dinding FB-ku itu menggerakkan pikiranku untuk menelaah satu-satu apa yang tertulis pada status yang "berat" ini.  Kebetulan saat membaca status ini, aku sedang menikmati "cuti bersama" di kota asalku, sehingga aku merasa sangat dekat dengan substansinya.

Pada ide asalnya, tujuan "cuti bersama" tentulah ideal dan positif, seperti yang tertulis diatas ; "untuk menggairahkan perekonomian nasional dimana orang pergi berwisata, sehingga moda transportasi penuh, okupasi hotel tinggi, kuliner diburu, handycraft laku".

Jika tujuan "cuti bersama" adalah seperti yang disebut diatas, tampaknya memang upaya ini telah membuahkan hasil. Setidaknya, kalau dilihat dari kondisi real kota tempatku menghabiskan libur  sekarang. Lihat saja, banyak calon penumpang gagal mendapat tiket, rental mobil kehabisan stok mobil, tingkat hunian hotel dan penginapan meningkat tajam (sinyalemen dari koran lokal), pusat belanja tradisional penuh sesak (sehingga berjalan pun harus ala wayang kulit), jalanan macet total (sehingga penduduk yang berdomisili dikota ini misuh-misuh dan heran, mengapa begitu 'demen' orang berwisata kekotanya). Naah......, benar kan tujuan cuti bersama sudah tercapai?

Tapi, jika membaca paragraf kedua dari status diatas.....  Apakah sudah tepat sasaran? Hmmm.....mari kita lihat dan pikirkan. Kalau kita berlibur ke daerah tujuan wisata dalam negeri, menginap di hotel melati atau penginapan milik pengusaha lokal, kemudian makan di warung tradisional, warung tenda atau jajanan kaki lima, lalu belanja handycraft buatan pengrajin setempat......... Pastilah ini namanya tepat sasaran. Karena setiap rupiah yang kita belanjakan akan diterima oleh pengusaha kecil lokal yang ulet dan liat berusaha (walaupun kadang-kadang mereka berjuang sendiri tanpa dukungan pemerintah).

Lain halnya, jika kita menghabiskan cuti bersama dengan liburan keluar negeri, naik maskapai penerbangan asing yang low cost. Menginap di jaringan hotel internasional, makan di restoran waralaba asing yang trendy (walaupun setelah itu masih mencari nasi, karena  yang namanya perut melayu "belum makan kalau belum terisi nasi"). Kalau sudah begini, ya jelas tujuan mulia dari "cuti bersama" ini tidak tercapai dan tepat sasaran. Betul tidak?

Mengenai retorika "apakah cuti bersama mendorong manusia kepada sikap konsumtif dan hedonis?". Waaah, kalau yang ini rasanya terpulang kepada masing-masing pribadi. Tapi kalau hal ini ditanyakan kepadaku, pasti aku akan jawab "TIDAK". Kenapa? Karena aku berlibur tidak sekedar bersenang-senang menghabiskan hari. Aku berlibur dengan cara pulang kesatu kota di pulau Jawa, dengan niat tulus untuk menjenguk orangtuaku yang sudah sepuh dan tinggal hanya berdua, yang diwaktu-waktu senjanya selalu merindukan anak-anak dan cucunya......

Yogyakarta 26122011

*) Terima kasih untuk Novrial R.Mangkutto, atas status FB-nya yang meng-inspirasi.

Kamis, 22 Desember 2011

Learn to let them go


".......... when you love someone, you've got to learn to let him go........" 

Itu penggalan dari lyric lagu yang pernah populer tahun 80-an dibawakan oleh penyanyi pria bersuara tenor ; Stevie B.  Lyric yang sepenggal itu rasanya mampu menggiringku untuk bertanya kepada diri sendiri..... Seandainya itu benar-benar terjadi, mampukah aku melepaskan sesuatu yang sebelumnya kuanggap sebagai milikku? Bukankah kepemilikan adalah hak. Dan hak itu harus dipertahankan, tak boleh lepas dari genggaman kita sedikitpun?

Sungguh suatu hal yang tak terbayangkan jika aku mengikuti penggalan lyric lagu tadi..... Mencintainya, tapi harus belajar untuk melepaskannya??? Apa iya, dan adakah orang yang bisa melakukannya?

Tapi setelah beberapa waktu pertanyaan itu mengendap dalam pikiran, pelan-pelan aku mulai menemukan esensi kalimat itu.  "You've got to learn to let them go...", belajar untuk melepasnya pergi.....Tentu saja dengan sepenuh kerelaan hati. Sikap seperti itu yang mungkin setara dengan sikap "legowo" atau yang lebih tinggi lagi tingkatnya yaitu "ikhlas". 

Aku membayangkan, memang begitulah seharusnya..... Dengan sikap "rela" sepertinya hati  kita akan lebih mudah menerima, mengapa suatu hal harus terjadi. Bukankah tak mungkin sesuatu terjadi tanpa ada maksud tertentu yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk umatNya? Dan hanya Dia yang tahu hal mana yang terbaik untuk umatNya. Karena apa yang kita pikir baik untuk kita, belum tentu  itu baik menurut ketentuanNya.....

Kamis - 22122011






Rabu, 21 Desember 2011

Dengan Apa Aku Memanggilmu

Perempuan yang jauh disana.
Telah sekian waktu kamu berkelindan dalam hari-hariku. Dan aku tahu, akupun pasti berada dalam jagad pikiranmu, seperti yang selalu kamu katakan padaku. Kita berdua hidup dalam pusaran rasa yang sama. Oleh karenanya, aku harus memanggilmu apa?

Perempuan yang membayangi anganku.
Jika setiap waktu kutunggu sapamu dan kadang hingga jemu. Karena sapa dan tawa dari sana selalu hangatkan nada dalam dada. Hingga penantian akanmu bagaikan pilu satu hukuman. Untuk itu, dengan apa kuharus memanggilmu?

Perempuan penggugah inspirasi.
Bila karenamu jiwaku tergugah. Bila olehmu energiku membuncah tumpah ruah. Hingga berjuta depa jarak kujalani untuk memandang sosokmu. Untuk mendengarkan suaramu. Dan satu genggaman saja pada jemarimu. Adakah yang lebih dahsyat daripada itu. Karenanya, dengan apa kupanggil dirimu?

Perempuan pengisi relung malam.
Jika aku dan kamu tahu, bahwa rasa yang sama tak serta merta boleh berkuasa. Tapi aku dan kamu percaya akan adanya masa yang leluasa dialam nyata, apapun bentuknya. Sebab itu, aku harus memanggilmu apa?

Perempuan yang jauh disana.
Atas nama rasa yang telah meraja. Baiklah, kan kupanggil dirimu ;
"Cinta..."

Rabu - 21122011

Senin, 19 Desember 2011

Lelaki Dalam Lelah


Lelaki berdiri dalam diam. Tubuhnya tegak, matanya menerawang keluar jendela kaca yang menjadi pigura dari rumput hijau dan aneka perdu berbunga kuning, putih dan ungu. Dia diam meskipun hatinya riuh rendah dengan berbagai rasa. Ada lelah dan putus asa yang merontokkan semangatnya. Tapi ada pula harapan dan rindu yang berpendar...... Ia berharap, asa dan rindu yang tertunai bisa menyilih lelah dan putus asa yang menghimpitnya.

Pria itu masih tetap tegak dalam keheningan siang. Matanya menerawang jauh, tapi pandangannya mengesankan pancaran wajah lesu yang senada dengan warna abu-abu rambutnya. Kemeja putih dan dasi merah tua yang seharusnya mencerahkan penampilannya, ternyata tak mampu mengangkat mendung dari wajahnya. Dering nada panggil alat komunikasi menjerit, memaksa Lelaki bangun dari pandangan jauhnya. Dengan pasti ia merogoh saku dan mengangkat ponsel ketelinganya. Tak sedikitpun matanya menoleh pada beberapa alat komunikasi lainnya yang berjajar manis diatas meja.

"Ya, halo...," sapanya dengan mata sedikit berbinar.
"Aku sudah baca pesan singkatmu. Aku harus menemuimu sekarang? Begitu pentingkah?" suara empuk Perempuan seperti membelai indera pendengarannya.
"Aku minta tolong. Ini penting untukku," Lelaki berkata setengah memohon.
"Apa yang terjadi?"
"Aku butuh kehadiranmu...."
"Baik. Kemana aku harus pergi?"
"Sebutkan dimana orangku bisa menjemputmu."
Suara di seberang sana menyebutkan nama suatu tempat sebelum mengakhiri pembicaraan. Kemudian Lelaki bergegas menggapai salah satu alat komunikasi yang berjajar dimeja. Mengangkatnya, lalu melontarkan sederet kalimat bernada instruksi.

Lelaki terdiam lagi. Kali ini ia duduk menyandar pada sofa tebal berwarna coklat tua. Sebelah tangannya mulai naik kewajah, jarinya bergerak memijit pelipisnya yang mengerut. Tak lama kemudian tangannya berhenti memijit, dan ia menyandarkan kepala di ujung sofa, lalu memejamkan mata. Satu persatu gambaran peristiwa dan kejadian melintas dikepala, seperti merajam ingatan dan menyesakkan hatinya.

Betapa sulitnya ia berdiri sendiri kini, bertahan dari arus deras yang sama sekali berlawanan dengan nilai-nilai budi yang diyakini dan dipertahankannya sejak dulu. Dua tahun lalu, ia sudah dihadapkan pada keraguan itu. Tapi setelah begitu banyak orang berharap kepadanya, ia menghilangkan dengan paksa keraguan itu. Bersikap siap terhadap segala situasi dan kondisi yang akan muncul, tanpa mengira bahwa kondisi yang ada ternyata lebih buruk daripada yang dibayangkannya. Tanggung jawab yang harus dipikulnya ternyata tak seindah dan semudah gegap gempita yang tercipta saat rakyat, katanya, berpesta dialam kebebasan berbicara ala negara adidaya.

Ia lelah berdiri sendiri menantang arus. Sementara disekitarnya begitu banyak sosok yang siap membuka mulut untuk menyanjungnya demi suatu kemudahan. Tak jarang sanjungan itu disertai ikutan dalam berbagai ragam bentuk. Bentuk makhluk hidup, bentuk benda mati, atau bahkan tanpa bentuk, tapi menjanjikan kecemerlangan masa depan dunia. Pun, begitu banyak mata yang memandangnya seperti mengancam dengan semburan sederet kata dan opini tak berkesudahan. Dan sejak saat itu, ia merasa harus selalu curiga pada setiap kata yang diucapkan oleh lawan bicara. Kebiasaan baru yang kemudian menjadi penyakit dihatinya, saat ia merasa harus selalu waspada dengan semua yang mengelilinginya. Keadaan menjadi semakin sulit ketika seorang yang seharusnya menjadi sandaran hati ternyata telah jauh melangkah meninggalkannya. "Lebih pejabat daripada suaminya..." Itu bisik-bisik yang pernah ia dengar tentang perempuan yang menjadi ibu dari anak-anaknya.



 
Suara pintu mobil tertutup membuat matanya terbuka. Ia memperkirakan beberapa saat setelah ini pasti ia akan mendengar suara ketukan sepatu di atas lantai marmer berwarna putih kekuningan. Benar saja, akhirnya terdengar suara langkah kaki dalam ketukan pelan tapi pasti, mengiringi sosok berbalut warna biru muda yang melangkah ke arahnya.

"Kau terlihat kacau......," suara Perempuan  menyapa sesaat setelah mengucapkan salam.
"Untuk itulah aku mengundangmu...," sahut Lelaki. Tampaknya mendung mulai bersiap meninggalkan wajahnya.
"Aaah.... kau pikir aku penyapu ranjau?" Perempuan tertawa. Wajahnya cerah, senada dengan suara riang yang terlontar dari mulutnya.

Perempuan duduk di sofa dihadapannya, tak ada keraguan sedikitpun dalam setiap gerak dan interaksinya dengan Lelaki. Semuanya mengalir apa adanya, tanpa sekat kecanggungan. Lelaki diam menatap Perempuan yang bertanya dan berkata ini itu kepadanya, sementara ia menanggapi dan menjawab sekedarnya. Tak penting dengan isi kata-kata yang mengemuka, karena ia hanya butuh kehadiran Perempuan untuk mengurai kepenatan dalam dirinya dan menyilih rindu perasaannya. Hanya pada Perempuan ia bisa bersikap sebagaimana adanya dia, tanpa waswas dan tak ada bahaya. Ia percaya.

Perempuan masih berbicara, bercerita tentang suatu hal yang hanya didengarnya setengah-setengah. Telinganya hanya menangkap beberapa patah kata yang keluar dari bibir merah jambu Perempuan. Lebih menyenangkan baginya melihat seluruh gerak-gerik dan menikmati wajah yang sejak beberapa waktu ini merambah dan menjejaki relung hatinya. Ia lupa sejak kapan ia mulai memiliki rasa yang mengganggu itu. Yang ia tahu, telah bertahun-tahun Perempuan menjadi temannya berbicara, berdiskusi, dengan siapa ia seringkali saling bantah dan bersilang-kata. Rasa itu kian mengganggu ketika ia merasa kehilangan tempat bersandar, ketika belahan jiwanya lebih jauh melangkah daripada dirinya. Dan saat ia menyesali diri sebagai laki-laki yang tak berdaya mengendalikan laju wanita yang disebut istrinya.

"Hei.... dari tadi aku seperti bicara sendiri," suara Perempuan tiba-tiba menyadarkan Lelaki dari pikiran dan pendengaran yang mengembara entah kemana, sementara hanya mata yang masih bekerja menangkap gambaran Perempuan dihadapannya.
"Aku mendengarkan kamu......," Lelaki menjawab sekenanya.
"Apa yang aku katakan tadi?" Perempuan menguji.
"Apa....?" Lelaki balik bertanya, membuat Perempuan mengernyitkan dahi menatap Lelaki dengan pandangan prihatin.
"Kau benar-benar kacau......," Perempuan menggeleng-gelengkan kepala. "Kupikir kau perlu rehat. Pergilah kesuatu tempat. Lupakan dulu semua masalahmu......."
"Seandainya aku bisa pergi bersama kamu?" Lelaki memandang Perempuan dengan tatapan memohon.
"Tak mungkin......," Perempuan tersenyum menatap Lelaki.

Lelaki menghela nafas sejenak, lalu bangkit melangkah kearah Perempuan. Meraih  Perempuan kedalam rengkuhan tangannya, mendekap wanita itu ke dada dan lingkar lengannya. Ia mencari kesejukan dalam diri Perempuan sembari menghirup wangi rambut legam yang rapat diujung hidungnya. Tapi sayang, lamunan indah itu terputus oleh suara renyah Perempuan.
"Pergilah, ajak istrimu. Umroh, mungkin? Atau sekedar menjenguk kampung halamanmu? Sudah berapa lama kau tak mudik?"  Perempuan masih berceloteh, duduk tegak diseberang meja.
"Ya.... Mungkin sebaiknya kupertimbangkan saranmu," Lelaki menjawab sambil berusaha menyusun kembali lamunan yang terputus tadi, yang terlalu indah untuk dihentikan begitu saja.
"Aku harus kembali.......," kata Perempuan setelah melirik penanda waktu di pergelangan tangan kirinya.
"Sebentar lagi......?" Lelaki bertanya dan meminta.
"Maaf atas keterbatasanku..... Anakku sudah menunggu disekolahnya," Perempuan bangkit dari duduknya dan tersenyum lembut meminta pengertian.
"Terima kasih, untuk kehadiranmu memenuhi permintaanku," sambut Lelaki seraya tersenyum tak berdaya.
"Itu gunanya seorang sahabat, bukan?" Perempuan tertawa kecil, bersiap melangkah keluar sambil mengucapkan salam pamit.

Suara sepatu Perempuan berirama mengetuk lantai marmer. Rindu itu belum habis tertunai, tapi sebaliknya malah meninggalkan jejak dalam rasa Lelaki. Jejak tentang keinginan untuk selalu dekat dan menyandarkan  beban hati, untuk mengaburkan sedikit kelelahan batinnya. Suara pintu mobil tertutup menyentuh telinganya, diikuti suara mesin menderum halus. Meyakinkan Lelaki, bahwa Perempuan akan segera kembali ketempat yang seharusnya. Dan Lelaki menghela nafas, mengusap wajah dengan kedua tangan. Tiga tahun lagi..... semoga waktu cepat berlalu, katanya dalam hati. Lalu ia kembali berkubang dalam lelahnya. Sendirian.


Pondok Gede - 19012012

































Minggu, 18 Desember 2011

Secangkir Kopi dan Kamu

 .... Dihadapanku, ada secangkir kopi.
Ingatanku melayang, suatu ketika aku meminta secangkir black coffee. "Ah, perempuan, kenapa mesti minum black coffee..?" katamu waktu itu. Aku tersenyum. Kini dihadapanku, ada secangkir kopi, tapi bukan lagi black coffee, karena telah kucampur dengan krim nabati.
Lalu, aku duduk berhadapan denganmu. Aku bisa memandangmu, mendengarkan suaramu..... langsung menembus gendang telinga tanpa perantara benda. Kamu berbicara tentang aku. Aku sudah tahu, tapi tetap kudengarkan kamu.... Karena suaramu telah jadi rindu-rindu yang bertumpuk, yang jika disusun bisa menjadi buku. Jilid satu, dua, tiga....., dan mungkinkah hanya akan menjadi tulisan tanpa akhir? 
.... Dihadapanku, ada secangkir kopi. 
Tidak pekat cairannya. Tapi apapun warnanya, tetaplah kopi namanya. Kuingat lagi kala itu. Kopi hitam kutuangi sebungkus gula, kuaduk pelan. Uapnya berpendar pelan dan busanya kutiup perlahan. Menyingkir busa itu ke pinggir, seperti membentuk teluk pada lautan berbatas keramik putih.
Kamu memandang aku. Yang aku tak tahu apa dalam pikiranmu tentang diriku. Mungkin kamu pikir aku seperti anak kecil yang sibuk bermain dengan tiupan nafas diatas minuman panas. Asal kamu tahu, aku melakukan itu sekedar untuk menenangkan debaran dalam hatiku, yang tak mampu berkelit dari tatapmu. 
.... Dihadapanku, ada secangkir kopi.
Dalam cangkir bening, cairannya diam tak bergerak. Kugenggam dengan dua tangan.... ternyata dalam rinai hujan ia lebih cepat mendingin berpacu dengan waktu. Tapi ia tetap menghangatkan aku. Kucecap perlahan.... pahit dan manis berpadu serasi menyentuh indera perasa. Dan lagi, sosokmu seperti berputar mengelilingi kepalaku, suaramu mengiang..... Kupastikan akan menambah tumpukan rindu, kususun satu persatu menjadi sebuah buku.....
Minggu - 18122011

Minggu, 11 Desember 2011

Sondang Hutagalung

Sondang Hutagalung. Sejak tiga atau empat hari yang lalu, nama ini mengusik pikiranku. Tepatnya sejak aku membaca berita yang muncul di dinding jejaring sosial dari sebuah surat kabar online ; "seorang pria nekad melakukan aksi bakar diri didepan Istana Negara".

Berbagai rasa muncul dalam diriku setelah membaca berita itu. "Takjub", karena baru kali ini terjadi. Dijalan raya, didepan Istana Negara, salah satu simbol kekuasaan tertinggi di Republik ini. Bukankah sebelumnya yang kubaca, aksi bakar diri kebanyakan berada di ranah domestik? Seperti istri yang putus asa karena suami selingkuh atau tekanan ekonomi atau remaja yang frustasi.  "Ngeri", karena aku membayangkan kulit dan daging tubuh yang lunak dijilat api karena kemauan sendiri...... "Heran", sebab aku tidak mengerti, apa gerangan yang mendorong seorang Sondang Hutagalung, 22 tahun - aktivis HAM dan mahasiswa yang cerdas - sanggup melakukan hal yang bagi sebagian orang adalah perbuatan konyol.

Sondang Hutagalung. Biarkan orang bicara sinis tentang aksimu....... Mereka bilang, apa yang kau lakukan adalah kesia-siaan belaka..... Penguasa tak akan mengubah "adat"nya hanya karena kematianmu yang tragis (bahkan sekian ratus manusia sebelum kau mati kelaparan dan mati gantung diri karena tekanan ekonomi pun tak sanggup memalingkan mereka dari nafsu kuasa). Mungkin itu benar. 

Tapi bagiku, kau adalah manusia pemberani yang istimewa. Manusia langka. Satu diantara sejuta, bahkan seratus juta. Hitunglah, berapa banyak orang yang mau menjadi martir untuk apa yang dia yakini dan ia perjuangkan..... walaupun ia tahu peluang keberhasilannya hanya seperti setitik air ditengah laut kemunafikan, kebohongan dan keserakahan? Kau bukan pejuang setengah hati, bukan pejuang yang giat bersuara tapi gamang bertindak karena ingat periuk nasi....

Selamat jalan, Sondang Hutagalung...... Kalau memang aksimu dianggap konyol, maka biarlah kekonyolanmu menjadi awal sejarah pergerakan orang muda yang masih mau peduli tanpa memikirkan abadinya diri.

Pondok Gede, 11122011

 http://www.tribunnews.com/2011/12/09/pelaku-bakar-diri-diyakni-sondang-hutagalung





Minggu, 04 Desember 2011

 
Awan itu kelabu,  
tapi kau harus tahu,
itu bukan dia mau, 
dia ingin seputih salju, 
pada kanvas langit biru, 
karena salju dan biru, 
ada pada hati sendu, 
rasa haru, 
dan rindu.....