Sudah menjadi fitrah dari Sang Pencipta,
bahwa manusia terlahir ke dunia sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi
dengan sesama. Bukankah wajar, jika pada saatnya manusia memiliki persepsi atas orang atau sekelompok orang lainnya.
Meskipun, kadang-kadang, persepsi itu tidak sama atau malah berlawanan dengan
penilaian orang itu atas dirinya sendiri. Tapi bagiku, adalah sesuatu yang
mengejutkan, ketika persepsi yang
menurutku - lebih banyak berunsur dugaan dan perkiraan - ternyata
dibenarkan oleh kelompok orang yang kupandang.
Itu terjadi saat aku dan Ibunda suamiku
berada di sebuah rumah makan cukup besar dan terkenal yang menyajikan masakan khas Sumatra - tempat kelahiran
Bunda. Niat kami adalah membeli beberapa macam lauk untuk
dibawa pulang. Sekian menit sejak kami memasuki rumah makan itu kami sudah
berdiri di depan konter, menunggu pertanyaan, atau paling tidak sedikit saja
sapaan semacam "Bisa dibantu, Bu?" atau greeting standar lainnya yang
paling sederhana. Bukankah itu adalah kelayakan yang pantas dan wajar kami terima
sebagai customer? Tapi tidak. Kami dibiarkan bengong sekian menit, tanpa
tanda-tanda akan ada yang menyapa dan melayani kami. Hingga akhirnya Suamiku
yang berdiri dibelakang kami, memanggil si petugas rumah makan dengan volume
suara lumayan keras. Setelah mendengar suara agak keras dari Suamiku, barulah
di petugas rumah makan mendatangi kami dengan raut wajah tidak menunjukkan
penyesalan. Dengan berbahasa daerah, Bunda pun sempat memprotes gaya layanan
rumah makan itu. Yang kemudian dijawab oleh si petugas dengan permintaan
maklum, mengingat sebagian besar kru layanan baru didatangkan dari daerah.
Melangkah keluar dari rumah makan menuju
mobil, Bunda masih membicarakan kejadian yang baru saja berlalu.
"Orang awak ini entah mengapa, susah
sekali pasang wajah dan sikap manis untuk melayani pembeli..." Merasa sebagai 'orang luar' aku hanya diam,
takut salah berkomentar. "Sebagai orang bisnis, mestinya kan
mereka tahu bagaimana cara melayani dan
memperlakukan customer," Bunda melanjutkan kata-katanya.
"Iya betul. Beda kalau kita pergi ke
daerah di sebelah timur sana." Akhirnya Suamiku yang menanggapi kata-kata
Bunda. "Disana para pelaku usaha rata-rata ramah dan melayani customer
dengan penuh perhatian. Bahkan tukang parkir di kota itu pun selalu pasang wajah full senyum."
"Ya memang begitulah seharusnya dalam
bisnis kan? Menurut Bunda, orang kita ini terlalu tinggi hati untuk melayani
orang lain..." kata Bunda lagi.
"Iya, Bunda. Kalau kita bandingkan
daerah kita dengan daerah timur itu, kelihatan sekali bedanya...," Suamiku
berkata lagi. "Daerah kita punya modal yang sama dengan mereka. Mereka
punya pantai, danau, gunung, budaya, kuliner... Kita juga punya."
"Tapi mereka jauh lebih berkibar
daripada kita. Jauh lebih banyak orang berkunjung kesana daripada ke daerah
kita," tukas Bunda.
"Ya. Menurutku salah satu kelemahan
kita adalah disisi layanannya. Seperti yang Bunda katakan tadi, kita memang
kurang memiliki jiwa melayani. Padahal didunia bisnis dan wisata, itu adalah
salah satu faktor yang dicari orang."
Aku hanya diam mendengarkan dialog antara
Suamiku dan Bunda tentang tanah asal mereka. Mereka sedang melakukan
otokritik tentang suatu hal yang juga terpikirkan olehku, tapi tak terkatakan
kepada mereka.
Aku memang pernah tinggal lama di daerah
asal Suamiku, sehingga punya bekal cukup yang melatarbelakangi persepsiku
terhadap corak masyarakat disana. Tapi lama tak berkunjung kesana, membuat aku
meragukan penilaianku sendiri. Bukankah perjalanan waktu bisa mengubah corak
dan gaya perilaku suatu masyarakat dan daerah? Namun setelah mengalami kejadian
di rumah makan tadi dan mendengar otokritik
Suamiku dan Bunda, aku bisa mengambil gambaran bahwa corak dan gaya
itu masih menetap.
Penasaran dengan gambaran yang kubuat sendiri, akhirnya aku menjelajah
dunia maya. Dengan bantuan Paman Google, aku mencari data kuantitatif yang
setidaknya dapat memperkuat gambaranku tentang hubungan corak gaya masyarakat
dengan kondisi kewisataan daerah asal Suamiku.
Entah signifikan atau tidak. Tapi dari data
kuantitatif yang ada, memang terlihat betapa tidak sepadannya jumlah pendatang
mancanegara yang masuk melalui bandara yang menyandang status
"internasional" itu. Pada bulan-bulan ditahun 2012 pengunjung
mancanegara hanya berkisar di angka 2.500-an. Bandingkan dengan sebuah kota berpenduduk sekitar 500.000 di Jawa
Tengah yang hanya punya obyek wisata terbatas (tanpa pantai dan danau) dan
bandara berskala kecil, tapi mampu mengundang tamu lebih banyak, cenderung
meningkat dan pernah mencapai angka 3.300 orang per bulan.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=16¬ab=14
Sungguh sayang bila suatu daerah yang punya
hampir segalanya, tapi dibiarkan menjadi seadanya. Bersyukur, masih ada
beberapa dari mereka yang dengan dewasa melakukan otokritik terhadap kondisi
diri sendiri. Selain Suamiku dan Bunda, otokritik lainnya kutemukan di laman
ini :
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=18389:pariwisata-yang-tidak-berkembang-&catid=11:opini&Itemid=83
Semoga kedewasaan mereka mengkritik diri
sendiri bisa membawa angin perubahan pada corak dan gaya masyarakat, serta
mereka yang terlibat dan berkepentingan didunia yang berhubungan dengan
layanan.