Sabtu, 28 Januari 2012

Surat Untuk Suamiku

Apa reaksi kita ketika mendengar seorang lelaki beristri lebih dari satu? Sebagian besar dari kita mungkin akan berkomentar ; "Ah, dasar laki-laki, nggak bisa membiarkan yang bening-bening lewat....". Lalu bagaimana pendapat kita tentang istri pertama : "Kasihan ya..., padahal kan ...bla...bla...bla....".  Pendapat tentang istri kedua, pasti tak jauh dari kalimat seperti ini : "Perempuan tak tahu diri, perusak rumahtangga orang....."  Yang pasti, jarang, atau bahkan tak pernah orang berkomentar enak tentang istri kedua dan suami yang beristri lebih dari satu.
Tapi bagaimana komentar kita, jika kondisinya seperti yang ada dalam surat seorang istri kepada suaminya di bawah ini? Apakah kita masih berpendapat seperti yang tertulis di atas tadi?



 SURAT UNTUK SUAMIKU
Suamiku yang terkasih,
Kutulis surat ini pada suatu malam yang mungkin saja merupakan malam terakhirku menghirup nafas dialam fana ini. Aku berterimakasih pada Allah, yang malam ini telah berkenan memupus sedikit rasa sakitku, sehingga aku mampu duduk menulis surat ini, sambil memandang bulan yang sedang bulat benderang melalui jendela kamarku. Bulan itu pastilah bulan yang sama, yang dapat kau tatap pula di rumah mana kau berada saat ini.

Suamiku yang kucintai,
Kalaulah ada rasa syukur yang sedemikian besar yang pernah dimiliki oleh perempuan. Maka akulah salah satu perempuan yang memiliki itu. Syukurku tak terkira karena atas ijinNya aku diberi kesempatan untuk menikmati cinta dan sayang darimu, dijelang senja usiaku. Setelah sepuluh tahun aku mengenalmu, maka lima tahun berikutnya  adalah saat aku bersamamu, menjalani hari, bulan dan tahun tanpa selalu ada hadirmu. Suatu keadaan yang telah kusadari dan kupahami seutuhnya sebelum aku memutuskan menerima dirimu sebagai imamku yang baru.
Ingatkah kau waktu itu, senja hari,  didalam ruang senyap dengan aroma obat  yang semerbak menerpa hidung, aku menangis hingga kuyup wajahku. Betapa saat itu aku merasa bahwa kau adalah orang yang dikirim olehNya untuk menopangku dari kejatuhan nyala jiwa, yang tak bisa lagi tegak sejak kepergian ayah dari anakku untuk selamanya. "Kalau kau perbolehkan, aku ingin menemani dan membantumu. Untuk itu, aku memintamu untuk menjadi istriku..." Kalimat itu kau ucapkan dengan sungguh-sungguh, hingga aku menangis karena terharu  dalam rengkuhanmu.

Suamiku tersayang,
Akhirnya, atas nama kedekatan yang telah tumbuh sejak lama, sejak hari itu, aku menjadi halal bagimu, dan kau pun halal bagiku. Tak perlu bagiku untuk meminta terlalu banyak darimu. Karena aku sadar, telah begitu banyak yang kami terima darimu.   Hingga aku tak lagi peduli, meskipun penyatuan kita tak melalui koridor aturan manusia yang seharusnya, walaupun benar dimata Sang Pencipta. Pun, meski aku bukanlah perempuan utama yang ada dalam kehidupanmu. Yang kami berdua tahu, kasihmu yang luas dan tulus, mampu menyalakan kembali pijar semangat dan keriaan pada kami. Padaku yang limbung karena kehilangan sandaran hati, dan pada anakku semata wayang yang bingung dengan kepergian sosok panutannya.

Suamiku, lelaki yang berhati seluas samudra.
Layaknya lautan, hati dan kasihmu adalah tempat kami berdua menumpahkan segala gerah dan resah. Ketahuilah, kehadiranmu diantara kami pada serpihan waktumu adalah anugrah bagi kami berdua. Menantimu muncul diambang pintu setelah sekian waktu berlalu, seperti kami menantikan mendung sirna oleh angin. Saat-saat bersamamu bagai masa emas yang amat berharga, hingga kuinginkan waktu bisa membeku, agar kami bisa didekatmu lebih lama, sesuka hatiku. Dan saat kau melangkah meninggalkan ambang pintu, kami adalah dua manusia kehilangan pegangan, yang tertinggal pada malam pekat tanpa bulan dan bintang. Begitu terjadi berulang-ulang, hingga tak terasa bertahun lamanya telah terjelang.

Suamiku tercinta,
Lima tahun kebersamaan kita, membawaku  pada kesadaran bahwa Allah sangat menyayangi diriku dan anakku. Disaat kami limbung dan kehilangan pegangan, Dia tumbuhkan rasa kasih dan sayang, juga naluri untuk melindungi pada dirimu. Sehingga kau tergerak untuk memberikan rasa itu kepada kami berdua, tanpa syarat apapun. Dan aku semakin yakin, bahwa tiada suatu kebetulan yang terjadi didunia ini. Bahwa setiap peristiwa dan kejadian adalah rangkaian titian menuju takdir dan nasib. Seperti pertemuan kita dulu, yang kemudian tumbuh menjadi sebuah persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Rupanya semua itu adalah jalan menuju sebuah ketentuan, bahwa kau adalah  penolong dan tumpuan hatiku setelah aku kehilangan tiang yang pertama.
 
Suamiku yang berhati tulus,                                        
Andaikan kau tahu, betapa besar rasa syukurku dengan hadirmu dalam kehidupan kami berdua. Betapa besar pula rasa terima kasihku kepadamu yang tulus memberi perhatian, kasih sayang dan perlindungan dalam bentuk apapun. Sementara aku hanyalah perempuan yang tak lagi bisa memberimu kebahagiaan secara utuh ditengah sakit yang menderaku setiap waktu. Aku hanya mampu membalas dengan cinta, kesetiaan dan pengabdian selama aku bisa. Yang apabila dihitung mungkin tak sebanding dengan apa yang kau berikan kepada kami berdua. Kau seperti lautan dan matahari yang hanya tahu kata memberi.
Suamiku yang penuh kasih,
Mungkin waktuku tak akan lama lagi bersamamu. Aku bersyukur bahwa hadirmu memberi kebahagiaan yang sempat tercabut dari kehidupan kami berdua. Aku mencintai dan menghormatimu, karena kau sangat pantas mendapatkan itu. Terima kasih, kau telah menemani dipenghujung waktuku. Kau menghiburku dan berdoa kala rasa sakit merejamku. Kau juga menemani dan menguatkan anakku semata wayang agar sabar dan kuat menyaksikan derita tubuhku..... Kutitipkan dia padamu. Aku yakin kau bisa mendidiknya dan kelak menjadikannya seorang lelaki yang penuh kasih, berhati tulus seluas samudra seperti dirimu. Sampaikan terima kasihku yang tak terhingga kepada perempuan utamamu. Juga sebesar-besarnya permintaan maafku, karena aku telah berani meminta limpahan kasih sayang dan perhatian darimu.  Semoga Allah selalu melimpahkan cintaNya kepadamu melebihi kasih yang telah kau berikan kepadaku.

Sekali lagi, terima kasihku yang tak terhingga  atas waktu-waktu yang kau sisihkan untuk kami berdua.



Dan yang menjadi pertanyaan, adakah lelaki 'setengah nabi', seperti tokoh 'suami' pada fiksi di atas?
Pondok Gede - 23012012






Tidak ada komentar:

Posting Komentar