Rabu, 18 Januari 2012

Bila Aku Ditinggalkan


"..... Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering. Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak bisa menghentikan tangisku waktu itu ......" (RT Dewi) *)


Sore itu, disebuah cafe didalam mall besar dibilangan pusat kota Jakarta kami duduk bertiga. Disisi kami berkerumun pengunjung yang akan menyaksikan dancing fountain, menyisakan suara bising dan memekakkan telinga. Setelah yakin bahwa rencana untuk mengumpulkan beberapa teman lama gagal, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk mengobrol saja sambil mengamati orang yang berlalu-lalang disekitar kami. Salah satu diantara mereka adalah seorang artis cantik yang terlihat mesra bersama suami bule dan anak indo-nya.

Cerita kami bertiga pun mengalir, tentang apa saja. Tentang kenangan dimasa kuliah, tentang teman-teman lama yang tak diketahui keberadaannya, tentang keluarga.....Hingga akhirnya mengalunlah cerita dari Dewi. Cerita tentang rasa kehilangan, ketika suami yang dicintainya sejak masa kuliah pergi dengan tiba-tiba 3 tahun yang lalu. "Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering. Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak bisa menghentikan tangisku waktu itu". Dewi bercerita dengan tenang, seperti layaknya ketika kami membicarakan hal-hal lainnya. Tapi aku bisa merasakan duka didalam suara lembutnya.

Dalam kepalaku berkelebat gambaran, seorang istri, yang bahkan tak tahu berapa tagihan telepon setiap bulannya, tiba-tiba harus menghadapi seluk beluk kehidupan sendirian. Membesarkan anak-anak serta menjaga dan menjalankan apa yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya.  Ah, aku miris membayangkannya. Tapi begitulah, life must go on, katanya. Sampai pada akhirnya ia sanggup tegak berdiri lagi, untuk anak-anak yang harus tetap dijaga dan dibesarkan olehnya. Namun cerita-cerita Dewi tentang almarhum suaminya, bahwa tahun ini adalah tahun ke-21 pernikahannya..... Tak dapat dipungkiri, mengisyaratkan bahwa ia belum sepenuhnya  melupakan kepergian ayah dari anak-anaknya.

Setelah itu, dalam perjalanan pulang aku berpikir. Seandainya hal itu terjadi padaku, bila suatu ketika aku ditinggalkan oleh belahan jiwa, apakah aku bisa berbuat seperti Dewi? Jika mendengar prolog bahwa suami akan keluar kota dalam waktu lama, lalu  aku merasa gamang sendirian, apakah aku bisa? Jika aku merasa ragu tak mampu membesarkan anak-anak sendirian, apakah aku bisa sekuat Dewi? Jika aku merasa tak cukup percaya diri, mampukah aku menghadapi dunia sendirian? Aku bahkan tak berani membayangkannya ..... Lalu akhirnya aku hanya berkata dalam hati : Bila boleh meminta dan memilih, biarlah aku yang pergi lebih dulu. Karena aku tak mau ditinggalkan.....     

 
Pondok Gede - 17012012

 
*) Terima kasih untuk teman RT Dewi, atas berbagi kisahnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar