"..... Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering. Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak bisa menghentikan tangisku waktu itu ......" (RT Dewi) *)
Sore itu, disebuah cafe didalam mall besar dibilangan pusat kota Jakarta
kami duduk bertiga. Disisi kami berkerumun pengunjung yang akan
menyaksikan dancing fountain, menyisakan suara bising dan memekakkan
telinga. Setelah yakin bahwa rencana untuk mengumpulkan beberapa teman
lama gagal, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk mengobrol saja sambil
mengamati orang yang berlalu-lalang disekitar kami. Salah satu diantara
mereka adalah seorang artis cantik yang terlihat mesra bersama suami
bule dan anak indo-nya.
Cerita kami bertiga pun mengalir, tentang
apa saja. Tentang kenangan dimasa kuliah, tentang teman-teman lama yang
tak diketahui keberadaannya, tentang keluarga.....Hingga akhirnya
mengalunlah cerita dari Dewi. Cerita tentang rasa kehilangan, ketika
suami yang dicintainya sejak masa kuliah pergi dengan tiba-tiba 3 tahun
yang lalu. "Saat prosesi pemakaman aku tidak menangis. Airmataku kering.
Tapi esok harinya, aku terbangun dan menangis histeris. Bahkan aku tak
bisa menghentikan tangisku waktu itu". Dewi bercerita dengan tenang,
seperti layaknya ketika kami membicarakan hal-hal lainnya. Tapi aku bisa
merasakan duka didalam suara lembutnya.
Dalam kepalaku berkelebat
gambaran, seorang istri, yang bahkan tak tahu berapa tagihan telepon
setiap bulannya, tiba-tiba harus menghadapi seluk beluk kehidupan
sendirian. Membesarkan anak-anak serta menjaga dan menjalankan apa yang
ditinggalkan oleh almarhum suaminya. Ah, aku miris membayangkannya.
Tapi begitulah, life must go on, katanya. Sampai pada akhirnya ia
sanggup tegak berdiri lagi, untuk anak-anak yang harus tetap dijaga dan
dibesarkan olehnya. Namun cerita-cerita Dewi tentang almarhum suaminya,
bahwa tahun ini adalah tahun ke-21 pernikahannya..... Tak dapat dipungkiri, mengisyaratkan bahwa ia belum sepenuhnya melupakan kepergian ayah dari
anak-anaknya.
Setelah itu, dalam perjalanan pulang aku berpikir. Seandainya hal itu terjadi
padaku, bila suatu ketika aku ditinggalkan oleh belahan jiwa, apakah aku bisa berbuat seperti Dewi? Jika mendengar prolog bahwa suami akan keluar kota dalam
waktu lama, lalu aku merasa gamang sendirian, apakah aku bisa? Jika aku
merasa ragu tak mampu membesarkan anak-anak sendirian, apakah aku
bisa sekuat Dewi? Jika aku merasa tak cukup percaya diri, mampukah aku
menghadapi dunia sendirian? Aku bahkan tak berani membayangkannya .....
Lalu akhirnya aku hanya berkata dalam hati : Bila boleh meminta dan
memilih, biarlah aku yang pergi lebih dulu. Karena aku tak mau
ditinggalkan.....
Pondok Gede - 17012012
*) Terima kasih untuk teman RT Dewi, atas berbagi kisahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar