Biasanya seorang anak perempuan lebih memiliki kedekatan dengan Ayahnya, tapi aku tidak biasa karena aku merasa lebih dekat dengan Ibu. Kepada Ibu aku bisa bercerita tentang teman-temanku, tentang sekolah, tentang kegiatan ini-itu, termasuk cerita tentang cowok-cowok yang sedang kutaksir.
Bagaimana pun, selama hidupku hingga sekarang, amat sangat banyak hal dan kenangan yang melekat dikepalaku tentang Ibu. Kejadian dan peristiwa, besar atau kecil, penting atau tak penting, akan kutulis menurut ingatanku, untuk Ibuku.
Satu
Ibu adalah seorang perempuan yang
ramah dan gemar menyapa. Yang sayang sekali, sifat itu tidak menurun padaku.
Kepada teman-temanku pun, Ibu tidak enggan menyapa dan berbicara, hingga Ibu
hafal wajah dan nama teman-teman anaknya. Ibu justru senang jika teman-teman
yang datang berkunjung kerumah kami, daripada kami yang pergi bertandang kesana
kemari kerumah teman. Tak heran jika beberapa teman sangat terkesan. Beberapa
tahun selanjutnya, satu dua orang teman yang kutemui lagi setelah lama tak
jumpa selalu menanyakan kabar Ibuku.
Dua
Ibuku pernah menginjak bangku
kuliah hingga tingkat 2 di fakultas keguruan sebuah universitas negeri di
Semarang, kota dimana Ibu dibesarkan dan tinggal dimasa mudanya. Ibu mengambil
jurusan Sastra Indonesia. Tidak heran jika dikemudian hari, dirumah kami banyak
ditemui buku dan novel sastra karya penulis sastra Indonesia seperti Mochtar
Lubis, Iwan Simatupang, NH Dini, Putu Wijaya, Nasjah Djamin, dan
sastrawan sastrawati Indonesia lainnya. Buku-buku yang dibeli oleh Ibu
kebanyakan adalah terbitan Pustaka Jaya. Novel favorit Ibu, yang aku tahu
adalah karya NH Dini, terutama yang berjudul "Sekayu". Karena novel
itu berlatarbelakang kota Semarang, kota tempat Ibu dibesarkan.
Dimasa SD dan SMP, aku sering sembunyi-sembunyi ikut membaca karya sastra dewasa itu. Beberapa yang sempat kubaca adalah roman Siti Nurbaya, roman-roman karya NH Dini, dan yang menjadi favoritku adalah roman berjudul "Astiti Rahayu" karya Iskasiah Sumarto.
Dimasa SD dan SMP, aku sering sembunyi-sembunyi ikut membaca karya sastra dewasa itu. Beberapa yang sempat kubaca adalah roman Siti Nurbaya, roman-roman karya NH Dini, dan yang menjadi favoritku adalah roman berjudul "Astiti Rahayu" karya Iskasiah Sumarto.
Tiga
Selain Ibu yang pernah mempelajari
sastra, Bapakku juga gemar membaca. Dengan demikian kami tidak asing
dengan segala macam bacaan seperti koran, berbagai majalah dan buku-buku cerita
pop dan biografi yang disukai oleh Bapak. Dari buku-buku koleksi Bapak itu aku
mengenal nama Cindy Adams, SH Mintarja (dengan masterpiece-nya "Api di
Bukit Menoreh"), Ashadi Siregar, Motinggo Busye, Abdullah Harahap, Marga
T, La Rose dan lainnya.
Sedangkan untuk anak-anaknya, Bapak dan Ibu tidak pelit mengeluarkan uang untuk membelikan kami bacaan anak-anak (masih yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya), komik-komik wayang karya RA Kosasih, dan berbagai majalah anak-anak yang terbit pada masa itu seperti Bobo, Kuncung, Kawanku, Tomtom.
Mungkin kebiasaan membaca sejak kecil inilah yang menjadi benih bagiku untuk mencintai dunia membaca dan tulis-menulis sampai sekarang.
Sedangkan untuk anak-anaknya, Bapak dan Ibu tidak pelit mengeluarkan uang untuk membelikan kami bacaan anak-anak (masih yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya), komik-komik wayang karya RA Kosasih, dan berbagai majalah anak-anak yang terbit pada masa itu seperti Bobo, Kuncung, Kawanku, Tomtom.
Mungkin kebiasaan membaca sejak kecil inilah yang menjadi benih bagiku untuk mencintai dunia membaca dan tulis-menulis sampai sekarang.
Empat
Aku duduk di kelas tiga SD, waktu
Ibu memberiku sebuah buku diary. Aku ingat sekali, buku diary itu setebal dua
sentimeter, berwarna putih dengan gambar kucing berbulu tebal dan berpita
merah. Kata Ibu, aku bisa menuliskan apa saja yang aku rasakan di buku itu.
Dengan demikian aku akan terbiasa mengarang dan menulis, dan setelah dewasa
nanti aku bisa saja menjadi penulis atau
wartawati.
Selanjutnya aku memang rajin
menulis di diary pemberian Ibu itu. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga aku
duduk dibangku kuliah. Dan selama itu, aku sudah bisa menulis puisi, membuat
cerita pendek, bahkan novelet..... yang waktu itu masih kutulis dengan tangan
pada buku tulis bergaris (sampai saat ini aku masih menyimpan buku-buku itu).
Beberapa cerpen dan puisiku bahkan berhasil dimuat di media nasional. Kebisaanku menulis itu, sedikit banyak pasti adalah hasil dari kebiasaanku
menulis pada diary, atas saran dari Ibuku.....
Lima
Ibuku juga suka menyanyi dan
mendengarkan musik. Koleksi kaset Ibu lumayan banyak dari berbagai genre musik. Boleh dikata, aku mengenal musik
dan lagu dari Ibuku. Mulai dari Skeeter Davis, Andy William, Matt Monroe,
hingga Beatles, Bee Gees, Koes Plus, Bimbo, Eddy Silitonga, Grace Simon, Rafika
Duri, Idris Sardi dan Paul Mauriat, juga Richard Clayderman. Hampir tiap pagi
Ibu memperdengarkan lagu-lagu dari penyanyi lawas itu. Mau tak mau, lagu-lagu
itu mampir juga ditelingaku. Membuat aku ikut bernyanyi dan penasaran ingin
mengetahui apa makna dari lyric lagu-lagu itu.
Pada lagu ber-lyric bahasa Inggris,
Ibu cukup sabar menerangkannya kepadaku. Hingga akhirnya Ibu memberikan
kepadaku sebuah kamus kecil bahasa Inggris. Berbekal kamus kecil itu, aku
menyimak lyric lagu yang dimuat di sampul kaset. Dan sejak itulah aku mulai
tertarik untuk lebih banyak belajar bahasa Inggris. Hasilnya, begitu masuk SMP,
bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritku (disaat murid lain membenci
pelajaran ini), dan aku hampir selalu mendapat nilai tertinggi untuk mata
pelajaran bahasa Inggris.
Enam
Pada masa mudanya, Ibu pernah
bekerja di sebuah bank milik pemerintah di Semarang. Untuk itulah Ibu akhirnya
meninggalkan kuliahnya. Ibu waktu itu bekerja di bagian tabungan (mungkin kalau
dimasa sekarang disebut "teller"). Ibu tidak lama bekerja di bank
itu, karena menikah dengan Bapak yang juga bekerja di bank yang sama, tapi di
kota Magelang.
Mungkin karena itu, terhadap anak perempuannya Ibu menaruh harapan agar aku dan adikku menjadi perempuan pekerja. Selama hampir limabelas tahun aku telah memenuhi harapan Ibu dengan bekerja diluar rumah, menjadi working woman dan working mom, sebelum akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja.
Mungkin karena itu, terhadap anak perempuannya Ibu menaruh harapan agar aku dan adikku menjadi perempuan pekerja. Selama hampir limabelas tahun aku telah memenuhi harapan Ibu dengan bekerja diluar rumah, menjadi working woman dan working mom, sebelum akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja.
Tujuh
Ibuku suka dan pintar menjahit.
Hingga aku memasuki sekolah lanjutan atas, Ibu masih menjahit sendiri baju
seragam, baju rumah, bahkan baju pestaku. Beberapa taplak meja bersulam bunga
dan lukisan tusuk silang yang terpajang didinding rumah kami adalah hasil karya
tangan Ibuku. Aku heran, ketrampilan Ibu dalam hal jahit-menjahit sama sekali
tidak menurun kepada dua anak perempuannya. Aku lebih suka membaca dan menulis,
dan segala hal yang berkaitan dengan kertas. Sedangkan ketrampilan Ibu yang
lain, beres-beres rumah dan bersih-bersih, tampaknya menurun kepada adik
perempuanku.
Delapan
Ibu lebih suka menjahit daripada memasak. Itu
aku tahu pasti. Tapi apabila terpaksa, Ibu mau juga turun ke dapur untuk
memasak. Aku suka bila Ibu memasak gulai nangka muda dilengkapi dengan sambal
bajak, juga sup sosis kembang tahu yang gurih dan segar. Aku ingat, dalam
beberapa kali kesempatan, Ibu pernah memasak sup asparagus kepiting
yang.....hmm...tidak kalah dengan menu rumah makan seafood langganan kami. Ibu
juga bisa memasak pizza ala rumahan kesukaan adik bungsuku. Sedangkan adik
laki-lakiku yang lain sangat menyukai asem-asem daging sapi yang pedas manis
berkuah coklat kehitaman.
Sembilan
Selain terampil menjahit, Ibu juga
suka memelihara tanaman. Seingatku, Ibu lebih menyukai tanaman berjenis
dedaunan daripada bunga. Sewaktu aku duduk di SD dan tinggal di kota Solo, Ibu
memiliki tanaman kesayangan 'kuping gajah' (dari keluarga anthurium) yang
berdaun sebesar nampan. Daunnya berwarna hijau tua gelap, dengan urat-urat daun
hijau muda keperakan yang terlihat jelas. Pada tahun 80-an, ketika
tanaman kaktus sedang trending, Ibu juga memiliki berbagai jenis kaktus itu.
Ditanam dalam pot-pot kecil, warna-warni bunga kaktus itu cukup menarik. Ibu
akhirnya berhenti mengoleksi kaktus ketika beberapa pot kaktusnya satu demi
satu hilang dicuri orang. Kesukaan Ibu terhadap tanaman, lagi-lagi tidak
menurun kepada anak-anaknya. Justru sekarang suamiku yang memiliki hobi
mengoleksi tanaman dedaunan, dan aku hanya bisa membantu menyiramnya, tak lebih
dari itu.
Sepuluh
Tahun 90-an, ketika anak-anaknya
sudah dewasa, Ibu tiba-tiba memiliki hobi memelihara burung. Aku ingat, dirumah
kami waktu itu ada beberapa sangkar burung seperti murai batu dan poksay yang
kicaunya sangat merdu. Ibu sangat telaten mengurusi burung-burung itu. Mulai
dari memberi makan, memandikan, hingga membersihkan sangkar burung-burung itu.
Sesuatu hal yang tidak mungkin kutiru, karena aku bukan pencinta hewan seperti
Ibuku.
Sebelas
Sepanjang ingatanku, masa aku
sekolah di TK adalah masa yang merepotkan bagi Ibu. Aku bukan tipe anak yang
percaya diri dan pemberani. Tak heran jika waktu itu aku sangat tergantung pada
Ibu yang harus menunggui aku selama aku berada di kelas. Bagiku, yang disebut
menunggu, berarti Ibu harus selalu terlihat sosoknya. Alhasil selama lebih
kurang dua jam, Ibu harus berdiri di depan jendela kaca kelas agar selalu
terlihat olehku. Padahal pada masa aku TK itu, adikku masih berusia bayi.
Setelah aku menjadi seorang ibu, baru terbayang betapa repotnya Ibuku waktu itu
dengan tingkahku.
Dua belas
Aku duduk di kelas lima SD waktu
aku mengalami keengganan pergi sekolah. Entah mengapa, waktu itu bagiku sekolah
adalah suatu beban. Mungkin karena pada tahun itu, adik perempuanku duduk di
kelas satu, satu sekolah denganku. Sehingga secara tidak langsung hal itu
meng-kondisikan bahwa aku memiliki tanggungjawab atas keberadaan adikku. Pada
suatu pagi aku menangis tidak mau pergi sekolah. Rasanya waktu itu aku hanya
ingin berada didekat Ibuku, karena didekatnya aku merasa aman dan nyaman.
Tetapi karena Ibu termasuk orang yang tegas, aku tetap harus pergi kesekolah
hari itu. Alhasil pagi itu aku berangkat dengan hati sangat tak rela dan bercucuran
airmata.
Beberapa puluh tahun kemudian,
anakku pun mengalami masa-masa yang sama denganku waktu itu. Menangis setiap
kali hendak berangkat kesekolah. Katanya ia mau dekat dengan Ibu (d.h.i. aku),
dan berangan-angan aku yang menjadi guru
kelasnya.....
Tiga belas
Semasa SMP dan tinggal di
Yogyakarta. Waktu itu kami sekeluarga baru pindah ke rumah yang lokasinya cukup
jauh dari rumah kami sebelumnya dan dari sekolahku. Untuk menuju sekolah aku
harus berjalan kaki melewati persawahan dan perkampungan hingga mencapai jalan
besar yang dilewati oleh "colt kampus" (angkutan kota yang ada di Yogyakarta
waktu itu). Tapi setelah Ibuku mahir mengendarai sepeda motor, setiap pagi Ibu
memboncengkan aku dari rumah menuju jalan besar tempat pemberhentian "colt
kampus".
Menurutku, Ibu adalah seorang yang gigih dan berkemauan keras. Ibu mau belajar mengendarai motor sampai beberapa kali terjatuh, agar kami bisa mobile. Mengingat lokasi rumah kami waktu itu agak di pinggiran kota dan belum terjangkau oleh transportasi umum. Dengan motor bebek Yamaha warna biru, Ibu mondar mandir mengantar jemput anak-anaknya kesekolah.
Menurutku, Ibu adalah seorang yang gigih dan berkemauan keras. Ibu mau belajar mengendarai motor sampai beberapa kali terjatuh, agar kami bisa mobile. Mengingat lokasi rumah kami waktu itu agak di pinggiran kota dan belum terjangkau oleh transportasi umum. Dengan motor bebek Yamaha warna biru, Ibu mondar mandir mengantar jemput anak-anaknya kesekolah.
Empat belas
Beberapa tahun kemudian, ketika
kami pindah ke kota Padang karena Bapak pindah tugas kesana, Ibu belajar
mengemudi mobil dan berhasil mendapat SIM. Maka kegiatan yang sama pun terulang
lagi. Ibu menjadi sopir dalam keluarga kami. Antar jemput anak-anak kesekolah,
juga kadang-kadang antar jemput Bapak ke kantor.
Namun karena kantor Bapak terletak
di pusat perbelanjaan yang semrawut lalu lintasnya, kemahiran Ibu menyetir
menjadi kurang berarti dalam masalah parkir. Tapi Ibu tak kehabisan akal.
Dengan bekal keramahannya menyapa orang, Ibu berhasil mendayagunakan
kepandaian menyetir seorang tukang parkir. Aku ingat tukang parkir itu sering
kami panggil "Uda Eddy" (kami tak tahu pasti apakah itu nama sebenarnya
atau nama samaran). Begitulah. Setiap kali mobil kami sampai dilokasi parkir,
uda Eddy akan datang dan menggantikan Ibu memarkirkan mobil pada tempatnya.
Kadang-kadang karena percaya, Ibu menyerahkan begitu saja kunci mobil kepada
uda Eddy untuk dicarikan tempat parkir, sementara kami naik ke kantor Bapak di
lantai dua.
Lima belas
Ketika tinggal di kota Padang dan
Ibu sudah mahir menyetir mobil. Masa itulah saat yang menyenangkan bagiku. Aku
seringkali dengan bangga duduk di jok depan mobil, disamping Ibu yang lincah
mengemudi. Terbayang bukan, masa
awal tahun 80-an dikota yang tidak terlalu besar, perempuan menyetir mobil
adalah hal yang masih langka.
Enam belas
Pertengahan masa SMA, seperti
layaknya remaja waktu itu. Aku dan teman-teman (perempuan dan laki-laki)
membuat acara berkumpul menyambut tahun baru. Sederhana saja sebenarnya. Kami
mendirikan tenda ditanah lapang di depan rumahku. Sedikit makan-makan, ngobrol,
bercanda dan bernyanyi bersama. Bapak dan Ibuku tidak keberatan dan memberi
ijin. Kupikir waktu itu apa yang kami lakukan tidaklah 'membahayakan' dan
'mengkhawatirkan', karena berkumpul ditanah lapang yang masih berada dalam jangkauan
pandangan orangtuaku. Tapi apa yang terjadi? Ibuku ikut bergadang sambil
menyelesaikan jahitan baju untukku. Dan pada malam itu Ibu berkali-kali kulihat
berdiri di teras rumah mengawasi tenda kami, melihat apa yang sedang kami
lakukan. Begitu intens-nya ibuku menjaga kami semua agar tidak menyalahgunakan
ijin yang dikeluarkan.
Tujuh belas
Masa SMA, ketika untuk
pertamakalinya aku menghadiri pesta ulang tahun teman yang diadakan pada malam
hari. Ibu berjibaku membuatkan aku baju pesta. Aku ingat benar baju pesta itu.
Blus warna dusty green dengan model ruffles di bagian dada dan bawah blus,
kerut diujung lengan dan kerah tinggi. Blus itu dipadu dengan rok model lipit
dari bahan kotak-kotak warna kombinasi hijau tua dan merah tua.
Aku berangkat ke pesta dengan
diantar oleh Ibu dan Bapakku dengan mobil yang disetir oleh Bapak. Setelah
mengantarkan aku sampai dirumah temanku, tampaknya Bapak dan Ibu yakin akan
keamanan pesta dan kredibilitas teman-teman yang hadir, yang beberapa
diantaranya sudah sangat dikenal karena sering datang bermain kerumahku.
Akhirnya Bapak-Ibuku mengijinkan aku pulang tanpa dijemput. Tapi dengan syarat,
aku harus diantar pulang, sampai rumah paling lambat jam 22.30.
Beruntung, sepulang pesta aku malah
diantar pulang oleh kakak kelas yang sudah lama jadi gebetanku. Sayangnya
meskipun aku sudah diantar pulang olehnya, kejadian itu tetap tak melapangkan
jalanku untuk 'jadian' dengan cowok putih berlesung pipi berambut lurus ala Adi Bing Slamet tempo dulu.
Tapi bagaimanapun, aku sangat
berterimakasih kepada Ibu yang telah memberi peluang untukku sehingga bisa
duduk diboncengan motor cowok manis itu. Aku yakin tanpa 'bisikan' dari Ibu,
Bapak tidak akan berlapang hati melepaskan anak gadisnya pada waktu malam hari
seperti itu.
Delapan belas
Begitu pula ketika aku naksir salah
seorang teman. Aku begitu penasaran dan heboh dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan cowok itu. Hingga pada suatu ketika, dengan menyetir mobil Ibu
mengajakku 'meninjau' tempat tinggal cowok itu disebuah perumahan dibagian
utara kota Padang untuk menetralkan rasa penasaranku. Meskipun tak berhasil
menemukan rumah cowok gebetan itu (karena data alamat yang kupunya memang tak
lengkap), toh aku sangat senang atas tindakan Ibu yang penuh atensi terhadap
perasaan remajaku waktu itu.
Sembilan belas
Ibu termasuk tipe perempuan aktif.
Berbagai kegiatan pernah diikuti olehnya. Seingatku ketika aku duduk di SD di
kota Solo, Ibu belajar main tenis bersama teman-teman sekantor Bapak. Juga
aktif di grup kolintang dan paduan suara istri-istri karyawan dikantor Bapak.
Sewaktu Bapak pindah tugas dari
Yogyakarta ke kota Padang, Ibu semakin sibuk dengan kegiatan yang berhubungan
dengan perkumpulan istri-istri karyawan. Aku ingat, setiap bulannya ada
beberapa macam arisan yang harus dihadiri oleh Ibu selaku istri Bapak. Belum
lagi setiap ada tamu 'bos-bos besar' kantor Bapak. Sibuk sekali Ibuku
mempersiapkan acara penyambutan bersama ibu-ibu lainnya. Terlebih pada waktu
itu belum terlalu lazim menggunakan jasa katering untuk jamuan makan. Sehingga
beberapa kali dapur rumah kami dipenuhi oleh ibu-ibu yang bergotong royong
memasak untuk jamuan makan para 'bos-bos besar' itu. Aku tidak suka kondisi
ini. Aku tidak suka disaat aku pulang sekolah tak ada Ibu yang menyambutku,
karena Ibu sedang ada kegiatan di luar rumah.
Dua puluh
Sesekali aku juga suka ikut Ibu
berbelanja ke pasar di kawasan Pecinan di kota Padang. Membantu membawakan
belanjaan yang hampir dua atau tiga keranjang banyaknya, karena Ibu punya
kebiasaan belanja ke pasar seminggu sekali. Tapi aku paling merasa tak enak
jika menemani Ibu membeli ayam potong. Aku selalu merasa ngeri melihat ayam
disembelih, dicelup air panas lalu dicabuti bulunya. Ibu tahu apa yang
kurasakan, maka pada saat Ibu harus membeli ayam, aku boleh menunggu ditempat
yang agak jauh.
Dua puluh satu
Aku sudah menginjak semester tiga
di universitas negeri di kota Padang, ketika Bapak harus pindah ke Jakarta
karena tugasnya. Tak mungkin bagiku untuk mengikuti kepindahan keluarga ke
Jakarta. Selain karena urusan yang ribet dan bertele-tele, rasanya sayang
mengorbankan tiga semester yang telah kulalui dengan nilai-nilai mata kuliah
yang tidak jelek. Akhirnya diputuskan, aku harus ‘ditinggalkan’ sendiri di kota
Padang.
Berdua Ibu aku mencari tempat kost
yang layak. Setelah ditemukan, berdua Ibu pula aku membeli perlengkapan yang
harus dibawa ke ‘rumah’ ku yang baru. Aku dititipkan pada sebuah keluarga yang
baik hati, menempati paviliun di sebuah rumah dengan lingkungan yang tenang, tak
jauh dari kampusku.
Pada hari keberangkatan keluargaku ke Jakarta, aku
diantar Ibu ke tempat kost. Sementara Bapak sengaja tidak mau ikut, karena
tidak tega melihat aku ditinggal sendiri di daerah orang. (Bapak lebih perasa
dan lebih mudah mengeluarkan air mata daripada Ibu. Dan itu yang sepertinya
menurun kepadaku). Aku menangis sedih sekali melihat mobil Ibu bergerak
meninggalkan halaman rumah kost. Aku tahu Ibu menahan kesedihannya sendiri.
Terlebih mengingat bahwa aku adalah anak yang tidak bisa jauh dari keluarga
inti. Bahkan ketika berlibur menginap di rumah kakek-nenekku sendiri, aku
sering menangis karena rindu rumah.
Dua puluh dua
Saat aku dan adik perempuanku
kuliah diluar kota. Ibu rajin mengirim surat untuk kami berdua. Surat-surat itu
ditulis tangan diatas kertas surat warna biru muda (kadang-kadang putih),
dengan huruf sambung yang rapat dan tegak serta dikirim lewat pos. Karena pada
tahun 80-an dan awal 90-an, surat elektronik atau sms belum mewabah seperti
sekarang. Surat dari Ibu itu selalu menjadi hiburan termanis bagi kami berdua.
Terlebih bila surat itu diikuti
dengan paket kilat khusus berisi cemilan. Paket itu biasanya berisi coklat beng-beng (yang
waktu itu happening banget), beberapa kotak kismis dalam kemasan warna merah
bergambar nona cantik merengkuh buah anggur, dan satu stoples daging sapi yang
digoreng kering menyerupai keripik. Rasanya asin gurih hingga remah-remahnya
pun kami habiskan dengan tandas, dan stoples kaca itu menjadi bersih total.
Mungkin karena dibuat sendiri oleh tangan Ibu dengan penuh cinta, maka makanan
itu menjadi sangat wonderful rasanya buat kami berdua yang jauh dirantau....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar