Selasa, 10 Januari 2012

Tentang Ibu dan Aku

Ibuku, seorang perempuan bertubuh mungil yang ramah dan gemar menyapa. Yang kuingat, ketika aku masih diusia kanak-kanak, aku menganggap Ibu "galak". Tapi seiring dengan bertambahnya usiaku, aku makin memahami bahwa Ibuku tidak galak. Tapi memang ia adalah Ibu yang tegas.

Biasanya seorang anak perempuan lebih memiliki kedekatan dengan Ayahnya, tapi aku tidak biasa karena aku merasa lebih dekat dengan Ibu. Kepada Ibu aku bisa bercerita tentang teman-temanku, tentang sekolah, tentang kegiatan ini-itu, termasuk cerita tentang cowok-cowok yang sedang kutaksir.

Bagaimana pun, selama hidupku hingga sekarang, amat sangat banyak hal dan kenangan yang melekat dikepalaku tentang Ibu. Kejadian dan peristiwa, besar atau kecil, penting atau tak penting, akan kutulis menurut ingatanku, untuk Ibuku.




Satu
Ibu adalah seorang perempuan yang ramah dan gemar menyapa. Yang sayang sekali, sifat itu tidak menurun padaku. Kepada teman-temanku pun, Ibu tidak enggan menyapa dan berbicara, hingga Ibu hafal wajah dan nama teman-teman anaknya. Ibu justru senang jika teman-teman yang datang berkunjung kerumah kami, daripada kami yang pergi bertandang kesana kemari kerumah teman. Tak heran jika beberapa teman sangat terkesan. Beberapa tahun selanjutnya, satu dua orang teman yang kutemui lagi setelah lama tak jumpa selalu menanyakan kabar Ibuku.

Dua
Ibuku pernah menginjak bangku kuliah hingga tingkat 2 di fakultas keguruan sebuah universitas negeri di Semarang, kota dimana Ibu dibesarkan dan tinggal dimasa mudanya. Ibu mengambil jurusan Sastra Indonesia. Tidak heran jika dikemudian hari, dirumah kami banyak ditemui buku dan novel sastra karya penulis sastra Indonesia seperti Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, NH Dini, Putu Wijaya, Nasjah Djamin,  dan sastrawan sastrawati Indonesia lainnya. Buku-buku yang dibeli oleh Ibu kebanyakan adalah terbitan Pustaka Jaya. Novel favorit Ibu, yang aku tahu adalah karya NH Dini, terutama yang berjudul "Sekayu". Karena novel itu berlatarbelakang kota Semarang, kota tempat Ibu dibesarkan.
Dimasa SD dan SMP, aku sering sembunyi-sembunyi ikut membaca karya sastra dewasa itu. Beberapa yang sempat kubaca adalah roman Siti Nurbaya, roman-roman karya NH Dini, dan yang menjadi favoritku adalah roman berjudul "Astiti Rahayu" karya Iskasiah Sumarto. 

Tiga
Selain Ibu yang pernah mempelajari sastra, Bapakku juga gemar membaca. Dengan demikian  kami tidak asing dengan segala macam bacaan seperti koran, berbagai majalah dan buku-buku cerita pop dan biografi yang disukai oleh Bapak. Dari buku-buku koleksi Bapak itu aku mengenal nama Cindy Adams, SH Mintarja (dengan masterpiece-nya "Api di Bukit Menoreh"), Ashadi Siregar, Motinggo Busye, Abdullah Harahap, Marga T, La Rose dan lainnya.

Sedangkan untuk anak-anaknya, Bapak dan Ibu tidak pelit mengeluarkan uang untuk membelikan kami bacaan anak-anak (masih yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya), komik-komik wayang karya RA Kosasih, dan berbagai majalah anak-anak yang terbit pada masa itu seperti Bobo, Kuncung, Kawanku, Tomtom.
Mungkin kebiasaan membaca sejak kecil inilah yang menjadi benih bagiku untuk mencintai dunia membaca dan tulis-menulis sampai sekarang.

Empat
Aku duduk di kelas tiga SD, waktu Ibu memberiku sebuah buku diary. Aku ingat sekali, buku diary itu setebal dua sentimeter, berwarna putih dengan gambar kucing berbulu tebal dan berpita merah. Kata Ibu, aku bisa menuliskan apa saja yang aku rasakan di buku itu. Dengan demikian aku akan terbiasa mengarang dan menulis, dan setelah dewasa nanti aku bisa saja  menjadi penulis atau wartawati.
Selanjutnya aku memang rajin menulis di diary pemberian Ibu itu. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga aku duduk dibangku kuliah. Dan selama itu, aku sudah bisa menulis puisi, membuat cerita pendek, bahkan novelet..... yang waktu itu masih kutulis dengan tangan pada buku tulis bergaris (sampai saat ini aku masih menyimpan buku-buku itu). Beberapa cerpen dan puisiku bahkan berhasil dimuat di media nasional. Kebisaanku menulis itu, sedikit banyak pasti adalah hasil dari kebiasaanku menulis pada diary, atas saran dari Ibuku.....

Lima
Ibuku juga suka menyanyi dan mendengarkan musik. Koleksi kaset Ibu lumayan banyak dari berbagai  genre musik. Boleh dikata, aku mengenal musik dan lagu dari Ibuku. Mulai dari Skeeter Davis, Andy William, Matt Monroe, hingga Beatles, Bee Gees, Koes Plus, Bimbo, Eddy Silitonga, Grace Simon, Rafika Duri, Idris Sardi dan Paul Mauriat, juga Richard Clayderman. Hampir tiap pagi Ibu memperdengarkan lagu-lagu dari penyanyi lawas itu. Mau tak mau, lagu-lagu itu mampir juga ditelingaku. Membuat aku ikut bernyanyi dan penasaran ingin mengetahui apa makna dari lyric lagu-lagu itu.
Pada lagu ber-lyric bahasa Inggris, Ibu cukup sabar menerangkannya kepadaku. Hingga akhirnya Ibu memberikan kepadaku sebuah kamus kecil bahasa Inggris. Berbekal kamus kecil itu, aku menyimak lyric lagu yang dimuat di sampul kaset. Dan sejak itulah aku mulai tertarik untuk lebih banyak belajar bahasa Inggris. Hasilnya, begitu masuk SMP, bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritku (disaat murid lain membenci pelajaran ini), dan aku hampir selalu mendapat nilai tertinggi untuk mata pelajaran bahasa Inggris.

Enam
Pada masa mudanya, Ibu pernah bekerja di sebuah bank milik pemerintah di Semarang. Untuk itulah Ibu akhirnya meninggalkan kuliahnya. Ibu waktu itu bekerja di bagian tabungan (mungkin kalau dimasa sekarang disebut "teller"). Ibu tidak lama bekerja di bank itu, karena menikah dengan Bapak yang juga bekerja di bank yang sama, tapi di kota Magelang.
Mungkin karena itu,  terhadap anak perempuannya Ibu menaruh harapan agar aku dan adikku menjadi perempuan pekerja. Selama hampir limabelas tahun aku telah memenuhi harapan Ibu dengan bekerja diluar rumah, menjadi working woman dan working mom, sebelum akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja.

Tujuh
Ibuku suka dan pintar menjahit. Hingga aku memasuki sekolah lanjutan atas, Ibu masih menjahit sendiri baju seragam, baju rumah, bahkan baju pestaku. Beberapa taplak meja bersulam bunga dan lukisan tusuk silang yang terpajang didinding rumah kami adalah hasil karya tangan Ibuku. Aku heran, ketrampilan Ibu dalam hal jahit-menjahit sama sekali tidak menurun kepada dua anak perempuannya. Aku lebih suka membaca dan menulis, dan segala hal yang berkaitan dengan kertas. Sedangkan ketrampilan Ibu yang lain, beres-beres rumah dan bersih-bersih, tampaknya menurun kepada adik perempuanku.

Delapan
 Ibu lebih suka menjahit daripada memasak. Itu aku tahu pasti. Tapi apabila terpaksa, Ibu mau juga turun ke dapur untuk memasak. Aku suka bila Ibu memasak gulai nangka muda dilengkapi dengan sambal bajak, juga sup sosis kembang tahu yang gurih dan segar. Aku ingat, dalam beberapa kali kesempatan, Ibu pernah memasak sup asparagus kepiting yang.....hmm...tidak kalah dengan menu rumah makan seafood langganan kami. Ibu juga bisa memasak pizza ala rumahan kesukaan adik bungsuku. Sedangkan adik laki-lakiku yang lain sangat menyukai asem-asem daging sapi yang pedas manis berkuah coklat kehitaman.

Sembilan
Selain terampil menjahit, Ibu juga suka memelihara tanaman. Seingatku, Ibu lebih menyukai tanaman berjenis dedaunan daripada bunga. Sewaktu aku duduk di SD dan tinggal di kota Solo, Ibu memiliki tanaman kesayangan 'kuping gajah' (dari keluarga anthurium) yang berdaun sebesar nampan. Daunnya berwarna hijau tua gelap, dengan urat-urat daun hijau muda keperakan yang terlihat jelas.  Pada tahun 80-an, ketika tanaman kaktus sedang trending, Ibu juga memiliki berbagai jenis kaktus itu. Ditanam dalam pot-pot kecil, warna-warni bunga kaktus itu cukup menarik. Ibu akhirnya berhenti mengoleksi kaktus ketika beberapa pot kaktusnya satu demi satu hilang dicuri orang. Kesukaan Ibu terhadap tanaman, lagi-lagi tidak menurun kepada anak-anaknya. Justru sekarang suamiku yang memiliki hobi mengoleksi tanaman dedaunan, dan aku hanya bisa membantu menyiramnya, tak lebih dari itu.

Sepuluh
Tahun 90-an, ketika anak-anaknya sudah dewasa, Ibu tiba-tiba memiliki hobi memelihara burung. Aku ingat, dirumah kami waktu itu ada beberapa sangkar burung seperti murai batu dan poksay yang kicaunya sangat merdu. Ibu sangat telaten mengurusi burung-burung itu. Mulai dari memberi makan, memandikan, hingga membersihkan sangkar burung-burung itu. Sesuatu hal yang tidak mungkin kutiru, karena aku bukan pencinta hewan seperti Ibuku.

Sebelas
Sepanjang ingatanku, masa aku sekolah di TK adalah masa yang merepotkan bagi Ibu. Aku bukan tipe anak yang percaya diri dan pemberani. Tak heran jika waktu itu aku sangat tergantung pada Ibu yang harus menunggui aku selama aku berada di kelas. Bagiku, yang disebut menunggu, berarti Ibu harus selalu terlihat sosoknya. Alhasil selama lebih kurang dua jam, Ibu harus berdiri di depan jendela kaca kelas agar selalu terlihat olehku. Padahal pada masa aku TK itu, adikku masih berusia bayi. Setelah aku menjadi seorang ibu, baru terbayang betapa repotnya Ibuku waktu itu dengan tingkahku.

Dua belas
Aku duduk di kelas lima SD waktu aku mengalami keengganan pergi sekolah. Entah mengapa, waktu itu bagiku sekolah adalah suatu beban. Mungkin karena pada tahun itu, adik perempuanku duduk di kelas satu, satu sekolah denganku. Sehingga secara tidak langsung hal itu meng-kondisikan bahwa aku memiliki tanggungjawab atas keberadaan adikku. Pada suatu pagi aku menangis tidak mau pergi sekolah. Rasanya waktu itu aku hanya ingin berada didekat Ibuku, karena didekatnya aku merasa aman dan nyaman. Tetapi karena Ibu termasuk orang yang tegas, aku tetap harus pergi kesekolah hari itu. Alhasil pagi itu aku berangkat dengan hati sangat tak rela dan bercucuran airmata.

Beberapa puluh tahun kemudian, anakku pun mengalami masa-masa yang sama denganku waktu itu. Menangis setiap kali hendak berangkat kesekolah. Katanya ia mau dekat dengan Ibu (d.h.i. aku), dan berangan-angan aku  yang menjadi guru kelasnya.....

Tiga belas
Semasa SMP dan tinggal di Yogyakarta. Waktu itu kami sekeluarga baru pindah ke rumah yang lokasinya cukup jauh dari rumah kami sebelumnya dan dari sekolahku. Untuk menuju sekolah aku harus berjalan kaki melewati persawahan dan perkampungan hingga mencapai jalan besar yang dilewati oleh "colt kampus" (angkutan kota yang ada di Yogyakarta waktu itu). Tapi setelah Ibuku mahir mengendarai sepeda motor, setiap pagi Ibu memboncengkan aku dari rumah menuju jalan besar tempat pemberhentian "colt kampus".
Menurutku, Ibu adalah seorang yang gigih dan berkemauan keras. Ibu mau belajar mengendarai motor sampai beberapa kali terjatuh, agar kami bisa mobile. Mengingat lokasi rumah kami waktu itu agak di pinggiran kota dan belum terjangkau oleh transportasi umum. Dengan motor bebek Yamaha warna biru, Ibu  mondar mandir mengantar jemput anak-anaknya kesekolah.

Empat belas
Beberapa tahun kemudian, ketika kami pindah ke kota Padang karena Bapak pindah tugas kesana, Ibu belajar mengemudi mobil dan berhasil mendapat SIM. Maka kegiatan yang sama pun terulang lagi. Ibu menjadi sopir dalam keluarga kami. Antar jemput anak-anak kesekolah, juga kadang-kadang antar jemput Bapak ke kantor.
Namun karena kantor Bapak terletak di pusat perbelanjaan yang semrawut lalu lintasnya, kemahiran Ibu menyetir menjadi kurang berarti dalam masalah parkir. Tapi Ibu tak kehabisan akal. Dengan bekal keramahannya  menyapa orang, Ibu berhasil mendayagunakan kepandaian menyetir seorang tukang parkir. Aku ingat tukang parkir itu sering kami panggil "Uda Eddy" (kami tak tahu pasti apakah itu nama sebenarnya atau nama samaran). Begitulah. Setiap kali mobil kami sampai dilokasi parkir, uda Eddy akan datang dan menggantikan Ibu memarkirkan mobil pada tempatnya. Kadang-kadang karena percaya, Ibu menyerahkan begitu saja kunci mobil kepada uda Eddy untuk dicarikan tempat parkir, sementara kami naik ke kantor Bapak di lantai dua.

Lima belas
Ketika tinggal di kota Padang dan Ibu sudah mahir menyetir mobil. Masa itulah saat yang menyenangkan bagiku. Aku seringkali dengan bangga duduk di jok depan mobil, disamping Ibu yang lincah mengemudi. Terbayang  bukan,  masa awal tahun 80-an dikota yang tidak terlalu besar, perempuan menyetir mobil adalah hal yang masih langka.

Enam belas
Pertengahan masa SMA, seperti layaknya remaja waktu itu. Aku dan teman-teman (perempuan dan laki-laki) membuat acara berkumpul menyambut tahun baru. Sederhana saja sebenarnya. Kami mendirikan tenda ditanah lapang di depan rumahku. Sedikit makan-makan, ngobrol, bercanda dan bernyanyi bersama. Bapak dan Ibuku tidak keberatan dan memberi ijin. Kupikir waktu itu apa yang kami lakukan tidaklah 'membahayakan' dan 'mengkhawatirkan', karena berkumpul ditanah lapang yang masih berada dalam jangkauan pandangan orangtuaku. Tapi apa yang terjadi? Ibuku ikut bergadang sambil menyelesaikan jahitan baju untukku. Dan pada malam itu Ibu berkali-kali kulihat berdiri di teras rumah mengawasi tenda kami, melihat apa yang sedang kami lakukan. Begitu intens-nya ibuku menjaga kami semua agar tidak menyalahgunakan ijin yang dikeluarkan.

Tujuh belas
Masa SMA, ketika untuk pertamakalinya aku menghadiri pesta ulang tahun teman yang diadakan pada malam hari. Ibu berjibaku membuatkan aku baju pesta. Aku ingat benar baju pesta itu. Blus warna dusty green dengan model ruffles di bagian dada dan bawah blus, kerut diujung lengan dan kerah tinggi. Blus itu dipadu dengan rok model lipit dari bahan kotak-kotak warna kombinasi hijau tua dan merah tua.
Aku berangkat ke pesta dengan diantar oleh Ibu dan Bapakku dengan mobil yang disetir oleh Bapak. Setelah mengantarkan aku sampai dirumah temanku, tampaknya Bapak dan Ibu yakin akan keamanan pesta dan kredibilitas teman-teman yang hadir, yang beberapa diantaranya sudah sangat dikenal karena sering datang bermain kerumahku. Akhirnya Bapak-Ibuku mengijinkan aku pulang tanpa dijemput. Tapi dengan syarat, aku harus diantar pulang, sampai rumah paling lambat jam 22.30.
Beruntung, sepulang pesta aku malah diantar pulang oleh kakak kelas yang sudah lama jadi gebetanku. Sayangnya meskipun aku sudah diantar pulang olehnya, kejadian itu tetap tak melapangkan jalanku untuk 'jadian' dengan cowok putih berlesung pipi berambut lurus ala Adi Bing Slamet tempo dulu.
Tapi bagaimanapun, aku sangat berterimakasih kepada Ibu yang telah memberi peluang untukku sehingga bisa duduk diboncengan motor cowok manis itu. Aku yakin tanpa 'bisikan' dari Ibu, Bapak tidak akan berlapang hati melepaskan anak gadisnya pada waktu malam hari seperti itu.

Delapan belas
Begitu pula ketika aku naksir salah seorang teman. Aku begitu penasaran dan heboh dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan cowok itu. Hingga pada suatu ketika, dengan menyetir mobil Ibu mengajakku 'meninjau' tempat tinggal cowok itu disebuah perumahan dibagian utara kota Padang untuk menetralkan rasa penasaranku. Meskipun tak berhasil menemukan rumah cowok gebetan itu (karena data alamat yang kupunya memang tak lengkap), toh aku sangat senang atas tindakan Ibu yang penuh atensi terhadap perasaan remajaku waktu itu.

Sembilan belas
Ibu termasuk tipe perempuan aktif. Berbagai kegiatan pernah diikuti olehnya. Seingatku ketika aku duduk di SD di kota Solo, Ibu belajar main tenis bersama teman-teman sekantor Bapak. Juga aktif di grup kolintang dan paduan suara istri-istri karyawan dikantor Bapak.
Sewaktu Bapak pindah tugas dari Yogyakarta ke kota Padang, Ibu semakin sibuk dengan kegiatan yang berhubungan dengan perkumpulan istri-istri karyawan. Aku ingat, setiap bulannya ada beberapa macam arisan yang harus dihadiri oleh Ibu selaku istri Bapak. Belum lagi setiap ada tamu 'bos-bos besar' kantor Bapak. Sibuk sekali Ibuku mempersiapkan acara penyambutan bersama ibu-ibu lainnya. Terlebih pada waktu itu belum terlalu lazim menggunakan jasa katering untuk jamuan makan. Sehingga beberapa kali dapur rumah kami dipenuhi oleh ibu-ibu yang bergotong royong memasak untuk jamuan makan para 'bos-bos besar' itu. Aku tidak suka kondisi ini. Aku tidak suka disaat aku pulang sekolah tak ada Ibu yang menyambutku, karena Ibu sedang ada kegiatan di luar rumah. 

Dua puluh
Sesekali aku juga suka ikut Ibu berbelanja ke pasar di kawasan Pecinan di kota Padang. Membantu membawakan belanjaan yang hampir dua atau tiga keranjang banyaknya, karena Ibu punya kebiasaan belanja ke pasar seminggu sekali. Tapi aku paling merasa tak enak jika menemani Ibu membeli ayam potong. Aku selalu merasa ngeri melihat ayam disembelih, dicelup air panas lalu dicabuti bulunya. Ibu tahu apa yang kurasakan, maka pada saat Ibu harus membeli ayam, aku boleh menunggu ditempat yang agak jauh.

Dua puluh satu
Aku sudah menginjak semester tiga di universitas negeri di kota Padang, ketika Bapak harus pindah ke Jakarta karena tugasnya. Tak mungkin bagiku untuk mengikuti kepindahan keluarga ke Jakarta. Selain karena urusan yang ribet dan bertele-tele, rasanya sayang mengorbankan tiga semester yang telah kulalui dengan nilai-nilai mata kuliah yang tidak jelek. Akhirnya diputuskan, aku harus ‘ditinggalkan’ sendiri di kota Padang.
Berdua Ibu aku mencari tempat kost yang layak. Setelah ditemukan, berdua Ibu pula aku membeli perlengkapan yang harus dibawa ke ‘rumah’ ku yang baru. Aku dititipkan pada sebuah keluarga yang baik hati, menempati paviliun di sebuah rumah dengan lingkungan yang tenang, tak jauh dari kampusku.
Pada hari keberangkatan keluargaku ke Jakarta, aku diantar Ibu ke tempat kost. Sementara Bapak sengaja tidak mau ikut, karena tidak tega melihat aku ditinggal sendiri di daerah orang. (Bapak lebih perasa dan lebih mudah mengeluarkan air mata daripada Ibu. Dan itu yang sepertinya menurun kepadaku). Aku menangis sedih sekali melihat mobil Ibu bergerak meninggalkan halaman rumah kost. Aku tahu Ibu menahan kesedihannya sendiri. Terlebih mengingat bahwa aku adalah anak yang tidak bisa jauh dari keluarga inti. Bahkan ketika berlibur menginap di rumah kakek-nenekku sendiri, aku sering menangis karena rindu rumah.

Dua puluh dua
Saat aku dan adik perempuanku kuliah diluar kota. Ibu rajin mengirim surat untuk kami berdua. Surat-surat itu ditulis tangan diatas kertas surat warna biru muda (kadang-kadang putih), dengan huruf sambung yang rapat dan tegak serta dikirim lewat pos. Karena pada tahun 80-an dan awal 90-an, surat elektronik atau sms belum mewabah seperti sekarang. Surat dari Ibu itu selalu menjadi hiburan termanis bagi kami berdua.
Terlebih bila surat itu diikuti dengan paket kilat khusus berisi cemilan. Paket itu biasanya berisi coklat beng-beng (yang waktu itu happening banget), beberapa kotak kismis dalam kemasan warna merah bergambar nona cantik merengkuh buah anggur, dan satu stoples daging sapi yang digoreng kering menyerupai keripik. Rasanya asin gurih hingga remah-remahnya pun kami habiskan dengan tandas, dan stoples kaca itu menjadi bersih total. Mungkin karena dibuat sendiri oleh tangan Ibu dengan penuh cinta, maka makanan itu menjadi sangat wonderful rasanya buat kami berdua yang jauh dirantau....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar