Suatu siang menjelang sore, ditengah cuaca
awal tahun yang dingin dan ramai dengan rinai hujan. Ponselku meneriakkan nada
tanda pesan masuk. Ternyata seorang teman mengirim pesan curhat tentang
perjalanan karirnya. "Aku gagal dalam kompetisi yang tidak fair. Ini sudah
ketiga kalinya. Aku drop."
Aku tercenung membaca pesannya. Mencoba
memahami perasaannya, walaupun sedikit bertanya-tanya. Selama aku mengenalnya,
temanku itu adalah pribadi yang riang, optimis, rasional dan easy going.
Ditambah lagi dengan sikap idealis dan tak segan menjadi 'berbeda'. Jika dengan
pribadi semacam itu ia merasa 'drop', berarti masalah ini benar-benar sudah
menohok hati dan semangatnya. Sudah diluar kebiasaannya selama ini.
Lama pesan itu kubiarkan tak berbalas. Aku
memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya kusampaikan padanya. Apakah kalimat
bernada menghibur, ataukah kalimat yang menantangnya untuk menyadari realita
dan membuatnya bangkit lagi?
"Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain
yang lebih baik buatmu," balasku menghibur.
"Mungkin. Tapi aku belum bisa menerima
keadaan ini," tulisnya kemudian.
"Sabar.....," hanya itu yang bisa
kuucapkan.
"Aku sudah tiga kali bersabar untuk
hal yang sama......," katanya lagi.
"Sabar tidak bisa diukur dengan
hitungan bilangan."
"Kekecewaan dan sakit hatiku bisa
dihitung berbilang-bilang......," tulisnya kemudian. "Aku tahu
seperti apa hasil fit and proper-ku. Seharusnya aku bisa lolos dengan hasil
seperti itu. Terlalu banyak yang bisa dipermainkan di republik ini."
Aku mahfum dan memahami kekecewaannya,
hingga ia menjadi kepala batu dengan sakit hatinya. Kurasa kata-kata hiburan
tak akan menyentuhnya, dan sepertinya aku harus mengubah gaya bicara dengan kalimat
yang menantang.
"Syukurlah kalau kau sadar bahwa
apapun di negeri ini bisa dipermainkan," balasku. "Dan seharusnya kau
tidak usah kaget dengan apa yang terjadi padamu."
"Tiga kali. Tiga kali aku mengalami ini. Aku tidak mengerti."
"Tak usah dimengerti. Buka saja
lebar-lebar hatimu untuk menerima kondisi ini."
"Republik ini benar-benar sudah
rusak," gerutunya lagi.
"Dan kau tidak bisa ikut rusak, tak
bisa ikuti permainan kotor mereka. Aku tahu itu."
"Ya.... Itulah masalahnya. Aku tidak
bisa melawan nilai-nilai yang kupegang sejak dulu."
"Oleh karena itu kau ditendang keluar
dari orbit kan? Karena kau tidak bisa diajak bermain seperti mereka...."
"Seharusnya aku sadari itu sejak dulu."
"Syukurlah kau sadar, walaupun agak
terlambat," tulisku menanggapi kata-katanya.
"Mungkin aku harus mengubah
profil-ku," ujarnya lagi setelah pembicaraan agak lama terhenti.
"Mengubah nature-mu? Supaya bisa masuk
ke orbit?"
"Ya.... Kalau tidak, aku akan hilang
dari orbit, meledak seperti meteor....."
"Artinya kau akan menjadi seseorang
yang bukan dirimu? Kau pura-pura menjadi seperti mereka?"
"Kalau itu harus....."
"Apa kau tidak lelah nantinya, harus
menjadi orang lain yang bukan sebenarnya dirimu?"
Percakapan kembali jeda beberapa waktu.
Mungkin dia mulai memikirkan kata-kataku.
"Pilihanmu kan hanya dua. Masuk orbit
dengan menipu hati nuranimu, atau keluar orbit tapi menjadi dirimu
sendiri," kataku kembali membuka percakapan.
"Pilihan sulit....," akhirnya dia
menjawab juga.
"Kalau sulit memilih, lebih baik kau
hijrah sekalian.....," tantangku.
"Meninggalkan apa yang sudah kucapai
selama ini?"
"Kenapa tidak? Daripada kau makan hati
dilingkungan seperti itu. Dan lagi, apa sih yang kau cari disitu? Bukankan
tanpa berada disitu pun sebenarnya kau bisa hidup?" Tanyaku kemudian,
mengingat dia pernah mengatakan bahwa ia berada dilingkungan itu untuk
menunjukkan dirinya bisa eksis tanpa campur tangan keluarganya yang berasal
dari trah saudagar.
Sampai disitu pembicaraan kami kembali
terputus. Dan aku pun tak berusaha menyambung kembali percakapan itu. Kupikir,
mungkin dia memang perlu waktu untuk menenangkan hati.
Tiga hari setelah itu, aku kembali menerima
pesan singkatnya. Pesan dengan kata-kata nyaris seenaknya, tapi seringkali
membuatku tertawa. Sepertinya dia sudah mulai pulih dari galau dan sakit
hatinya.
Sewaktu kutanya, apa yang terjadi selama
tiga hari tanpa kabar? Dia menjawab : "Aku memikirkan kata-katamu,
berusaha membuka hati untuk menerima keadaan itu. Betul katamu, lebih baik aku menjadi diriku sendiri tanpa topeng
pura-pura."
"Walaupun dengan resiko hilang dari
orbit?" Aku bertanya.
"Ha..ha.. Asal kau tahu, sudah tiga
hari ini aku kembali menoleh ke 'ladang' keluarga. Sewaktu-waktu aku ingin
hijrah, aku sudah tidak asing lagi dengan 'ladang' yang harus kugarap
kan?"
"Bersyukurlah. Tidak semua orang
yang berkarakter seperti kamu bisa memiliki alternatif
'ladang'. Dan mereka harus rela
makan hati sepanjang usia hingga pensiun......," kataku lagi. Ia menjawab
hanya dengan icon jempol dan wajah tersenyum lebar.
Pondok Gede - 01022012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar