Libur akhir tahun ini, Yogyakarta tetap menjadi tujuan utama kami.
Karena dikota tua ini anak-anak masih memiliki Mbah Akung dan Mbah Uti
untuk disowani.
Seperti ritual, setiap kali pulang kerumah Mbah-nya anak-anak selalu mensyaratkan acara makan mie (instan) di sebuah warung sederhana di ujung jalan rumah Mbah.
Seperti ritual, setiap kali pulang kerumah Mbah-nya anak-anak selalu mensyaratkan acara makan mie (instan) di sebuah warung sederhana di ujung jalan rumah Mbah.
Dan pada suatu pagi
menjelang siang, kami jalani juga acara itu. Didepan warung yang menjadi
tujuan kami, aku berpikir sepertinya ada yang berubah dengan
tampilannya. Jika dulu penampilan fisiknya sederhana, berdinding kayu
dan berlantai semen. Sekarang bangunan warung terlihat lebih "chic".
Dinding terbuat dari bata tanpa plester, lantai keramik (sepertinya
keramik made in Kasongan), di depan warung ada patung singa. Semuanya
menampilkan kesan etnik. Memasuki warung, aku makin 'surprised'. Dinding
warung dipenuhi dengan poster tim sepakbola mancanegara, juga
pernak-pernik tim sepakbola liga Indonesia. Disalahsatu dindingnya
terpajang pula foto Sri Sultan Hamengkubuwono X, suatu tanda bahwa
warung ini berada diwilayah Yogyakarta. Semua keterkejutanku itu
disempurnakan dengan sebentuk teve LCD yang bertengger dengan manis,
menyiarkan acara dari channel Indovision. Wow.....
Seperti biasa, anak-anak memesan mie rebus dan goreng dengan telur tanpa sayur. Sementara aku dan ayahnya anak-anak meminta bubur kacang hijau ketan hitam. Sambil menunggu pesanan datang, aku memperhatikan keseluruhan isi warung. Lebih rapi dan bersih dibanding dulu. Oh..ya...ada lagi yang berbeda. Penunggu warung kali ini ternyata dua anak muda (kalau tidak salah ingat, dulu penunggu warung adalah sepasang suami-istri yang agak kurang ramah).
Aku terkesan dengan kedua anak muda ini. Mereka bekerja dengan ringan dan cekatan. Air muka mereka cerah, ramah dan penuh atensi. Bahkan ketika disela-sela pengunjung yang datang silih berganti, datang tiga anak kecil membeli es teh manis seharga seribu rupiah, tetap mereka layani dengan ramah.
Tapi setelah beberapa waktu memperhatikan interaksi antar keduanya, aku bisa menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka memiliki posisi yang lebih tinggi. Dalam hal ini adalah si anak muda yang berkulit lebih cerah, dan ternyata bernama Ari tapi lebih sering dipanggil "Bule".
Seperti biasa, anak-anak memesan mie rebus dan goreng dengan telur tanpa sayur. Sementara aku dan ayahnya anak-anak meminta bubur kacang hijau ketan hitam. Sambil menunggu pesanan datang, aku memperhatikan keseluruhan isi warung. Lebih rapi dan bersih dibanding dulu. Oh..ya...ada lagi yang berbeda. Penunggu warung kali ini ternyata dua anak muda (kalau tidak salah ingat, dulu penunggu warung adalah sepasang suami-istri yang agak kurang ramah).
Aku terkesan dengan kedua anak muda ini. Mereka bekerja dengan ringan dan cekatan. Air muka mereka cerah, ramah dan penuh atensi. Bahkan ketika disela-sela pengunjung yang datang silih berganti, datang tiga anak kecil membeli es teh manis seharga seribu rupiah, tetap mereka layani dengan ramah.
Tapi setelah beberapa waktu memperhatikan interaksi antar keduanya, aku bisa menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka memiliki posisi yang lebih tinggi. Dalam hal ini adalah si anak muda yang berkulit lebih cerah, dan ternyata bernama Ari tapi lebih sering dipanggil "Bule".
Rasa ingin tahu pun muncul
seketika. Melalui obrolan singkat dengan Ari Bule ini, aku tahu bahwa
dugaanku benar. Dialah pemilik warung ini. Kuperkirakan lagi, umurnya
sekitar dua puluh lima tahun, karena dia mengaku sudah mulai berusaha
dibidang ini selama 8 tahun sejak lulus SMA. Adapun warung yang aku
kunjungi ini adalah relokasi dari yang sebelumnya terletak diseberang
jalan, dan dia tidak tahu kemana perginya warung yang sebelumnya berada
dilokasi ini, yang pemiliknya kukatakan agak kurang ramah itu.
Ari
Bule, si wirausaha muda itu dengan bersemangat bercerita bagaimana
perjalanannya hingga mampu membangun warung semi permanen diatas tanah
yang disewanya selama lima tahun dengan harga puluhan juta serta memiliki
empat orang pegawai yang bekerja 2 shift (warung itu buka 24 jam). Ia
optimis bakal mencapai titik impas dalam waktu 2,5 tahun. Dan
seterusnya ia bercita-cita membuka satu warung lagi untuk memberi
lapangan kerja bagi teman-teman yang satu kampung dengannya.
Aku
terkagum-kagum melihat semangat dan optimisme anak muda ini. Aku
membayangkan, jika sepersepuluh dari anak muda negara ini memiliki
semangat dan tekad yang sama dengan Ari Bule ini, tentunya jumlah
manusia penganggur akan berkurang. Karena mereka mampu menciptakan
lapangan kerja, bukan sekedar mencari kerja. Langkah kecil Ari Bule ini,
bolehlah disebut sebagai embrio dari entreupreuner tangguh dimasa
depan, meskipun kadang mereka luput dari perhatian pemerintah. Semoga
langkah-langkah kecil mereka tidak tersandung oleh kebijaksanaan
penguasa yang hanya menguntungkan pemodal besar.
(Setelah
mengobrol dengan Ari Bule, aku berharap semoga salahsatu dari anakku
bisa berbuat seperti dia ; wirausaha, mandiri, ulet, pencipta lapangan
kerja, bukan pencari kerja.......)
Pondok Gede - 28122011
Pondok Gede - 28122011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar