Jumat, 01 April 2016

Kekuatan Yang Tersembunyi



*Foto hasil dari Google search


 “You never know how strong you are. Until being strong is only your choice”


Kalimat itu pernah saya baca disebuah foto yang lewat di beranda medsos saya. Saya suka kalimat itu. Karenanya saya ingat benar esensi yang dimaksud oleh penulis kalimat, yang sayangnya tidak disebutkan namanya dalam foto itu.



Selama ini, saya merasa bahwa saya bukan seorang yang “strong” atau “tough”, yang dalam pengertian saya berarti “tahan banting”.

Tapi semua menjadi berbeda. Ketika keadaan memaksa, ketika tak ada orang lain yang bisa dan pantas dimintai tolong, ternyata saya bisa menjelma menjadi seorang yang kuat. Setidaknya “kuat” dalam ukuran saya sendiri.



Tak terbayangkan. Saat tengah malam terbangun, saya harus melihat orang tercinta menekap hidung yang mengucurkan darah. Hal yang tak pernah saya alami sebelum ini, bahkan sebisa mungkin akan saya hindari untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri.



Tapi itulah yang harus saya hadapi saat itu.Menemaninya berdiri sekian menit di depan bak cuci… yang otomatis juga harus melihat darah yang menetes-netes jatuh menimpa bak cuci, sambil berkali-kali mengangsurkan kapas dan menarik berlembar-lembar tisu dari kotaknya.

Khawatir? Takut? Pasti. Ditambah lagi dengan bermacam pertanyaan yang simpang siur di kepala. Berbagai dugaan dan seribu kata “mungkin” yang berseliweran dipikiran. Juga seribu penepisan, lalu harapan bahwa semua akan berakhir. Semua akan baik-baik saja seperti semula. Seiring suara batin, “Ya Allah, mohon tolonglah suami saya. Ya Allah, hanya Engkau yang bisa menolong…”

Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan saat itu. Saya lupa bahwa sebelum itu saya adalah seorang yang mudah galau dan kadang meragu.



Entah dari mana saya mendapatkan ketenangan seperti itu. Padahal di rumah saya dijuluki “Mrs Panic” karena seringnya saya nervous menghadapi hal-hal yang terjadi di luar rencana dan kebiasaan. Tengah malam itu, hanya saya yang harus menolongnya. Tak mungkin berteriak dengan panik dan histeris, lalu membangunkan anak-anak untuk membersihkan tetesan-tetesan merah di lantai atau menjumput gumpalan darah yang tidak bisa melewati saringan pembuangan di bak cuci. Juga mengemasi kapas dan tisu bernoda darah yang hampir sekantong plastik penuh, kemudian mengucek kausnya yang terciprat noda merah darah. Sungguh tak terbayangkan saya bisa melakukan itu tanpa rasa jijik atau miris. Padahal dilain waktu, untuk melihat video operasi caesar yang berdarah-darah di medsos pun saya tidak sanggup.



Kekuatan yang tidak saya sangka bahwa saya punya, terasa lagi keesokan harinya. Itu ketika berada di ruang praktek dokter, saat darah kembali mengucur dari hidung orang yang saya cintai.

Haruskah saya ikut menangis melihat seseorang yang menjadi tumpuan selama ini menitikkan airmata menahan sakit manakala dua buah tampon disurukkan ke lubang hidungnya demi menghentikan pendarahan? Tidak mungkin. Jalan satu-satunya, saya harus lebih kuat daripada dia saat itu… Sampai setelahnya, terpikir oleh saya bahwa saat itu saya bagaikan makhluk tanpa perasaan. Saya ketika itu, bukan saya yang biasanya…



Itukah yang disebut inner strength? Seperti yang berkali-kali dia katakan saat memotivasi tiga jagoan kami? Bahwa seringkali kemampuan sejati manusia itu seperti fenomena gunung es di tengah laut. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan air, padahal ada bongkahan yang jauh lebih besar yang tersembunyi dan tak terlihat di bawah permukaan laut… Dan dalam keadaan terpojok dan terpaksa, sebagian orang  mampu mengeluarkan kemampuan sejatinya. Lalu setelah semua terjadi dan berlalu, orang pun baru menyadari bahwa “ternyata saya bisa”... “ternyata saya lebih kuat dari yang saya kira selama ini”. Inner strength.


Pondok Gede -  25022016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar