*Foto hasil dari Google search |
“You never know how strong you are. Until being strong is only
your choice”
Kalimat itu pernah saya baca disebuah foto yang lewat di
beranda medsos saya. Saya suka kalimat itu. Karenanya saya ingat benar esensi
yang dimaksud oleh penulis kalimat, yang sayangnya tidak disebutkan namanya
dalam foto itu.
Selama ini, saya merasa bahwa saya bukan seorang yang “strong”
atau “tough”, yang dalam pengertian saya berarti “tahan banting”.
Tapi semua menjadi berbeda. Ketika keadaan memaksa, ketika tak
ada orang lain yang bisa dan pantas dimintai tolong, ternyata saya bisa
menjelma menjadi seorang yang kuat. Setidaknya “kuat” dalam ukuran saya
sendiri.
Tak terbayangkan. Saat tengah malam terbangun, saya harus
melihat orang tercinta menekap hidung yang mengucurkan darah. Hal yang tak
pernah saya alami sebelum ini, bahkan sebisa mungkin akan saya hindari untuk
melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Tapi itulah yang harus saya hadapi saat itu.Menemaninya berdiri
sekian menit di depan bak cuci… yang otomatis juga harus melihat darah yang
menetes-netes jatuh menimpa bak cuci, sambil berkali-kali mengangsurkan kapas
dan menarik berlembar-lembar tisu dari kotaknya.
Khawatir? Takut? Pasti. Ditambah lagi dengan bermacam
pertanyaan yang simpang siur di kepala. Berbagai dugaan dan seribu kata
“mungkin” yang berseliweran dipikiran. Juga seribu penepisan, lalu harapan
bahwa semua akan berakhir. Semua akan baik-baik saja seperti semula. Seiring
suara batin, “Ya Allah, mohon tolonglah suami saya. Ya Allah, hanya Engkau yang
bisa menolong…”
Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan saat itu. Saya
lupa bahwa sebelum itu saya adalah seorang yang mudah galau dan kadang meragu.
Entah dari mana saya mendapatkan ketenangan seperti itu.
Padahal di rumah saya dijuluki “Mrs Panic” karena seringnya saya nervous
menghadapi hal-hal yang terjadi di luar rencana dan kebiasaan. Tengah malam
itu, hanya saya yang harus menolongnya. Tak mungkin berteriak dengan panik dan
histeris, lalu membangunkan anak-anak untuk membersihkan tetesan-tetesan merah
di lantai atau menjumput gumpalan darah yang tidak bisa melewati saringan
pembuangan di bak cuci. Juga mengemasi kapas dan tisu bernoda darah yang hampir
sekantong plastik penuh, kemudian mengucek kausnya yang terciprat noda merah
darah. Sungguh tak terbayangkan saya bisa melakukan itu tanpa rasa jijik atau
miris. Padahal dilain waktu, untuk melihat video operasi caesar yang
berdarah-darah di medsos pun saya tidak sanggup.
Kekuatan yang tidak saya sangka bahwa saya punya, terasa lagi
keesokan harinya. Itu ketika berada di ruang praktek dokter, saat darah kembali
mengucur dari hidung orang yang saya cintai.
Haruskah saya ikut menangis melihat seseorang yang menjadi
tumpuan selama ini menitikkan airmata menahan sakit manakala dua buah tampon
disurukkan ke lubang hidungnya demi menghentikan pendarahan? Tidak mungkin.
Jalan satu-satunya, saya harus lebih kuat daripada dia saat itu… Sampai
setelahnya, terpikir oleh saya bahwa saat itu saya bagaikan makhluk tanpa
perasaan. Saya ketika itu, bukan saya yang biasanya…
Itukah yang disebut inner strength? Seperti yang berkali-kali
dia katakan saat memotivasi tiga jagoan kami? Bahwa seringkali kemampuan sejati
manusia itu seperti fenomena gunung es di tengah laut. Hanya sedikit yang
terlihat di permukaan air, padahal ada bongkahan yang jauh lebih besar yang
tersembunyi dan tak terlihat di bawah permukaan laut… Dan dalam keadaan
terpojok dan terpaksa, sebagian orang
mampu mengeluarkan kemampuan sejatinya. Lalu setelah semua terjadi dan
berlalu, orang pun baru menyadari bahwa “ternyata saya bisa”... “ternyata saya
lebih kuat dari yang saya kira selama ini”. Inner strength.
Pondok Gede - 25022016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar