Minggu, 22 Mei 2016

Literasi Media

Saran saya, jangan mudah percaya, nge-like dan nge-share berita dari situs berita abal-abal... Salah-salah kita malah terjebak dalam bisnis e-hate ; Pemilik situs yang dapat duitnya, kita malah dapat pengurangan hitungan pahala... karena tanpa sadar turut menyebarkan berita kebencian, fitnah dan berita yang di-spin.

Ada yang bilang, media alternatif diperlukan, karena media mainstream, konon kabarnya sudah "dibeli" oleh penguasa... Tapi mbok iyao... jangan media alternatif macam begini yang diikuti dan dipercayai.

Jaman sudah bergerak makin cepat dan makin "terbuka". Informasi mengalir makin deras dari mana saja. Akses internet juga makin mudah. Seharusnya kemudahan seperti ini membuat kita makin rajin berwisata ke dunia informasi. Sehingga kita makin tercerahkan, makin bisa memiliki sedikit pengetahuan untuk membedakan dan membuat komparasi, melakukan check dan recheck, mana berita yang benar dan mana berita abal-abal yang disebar sekedar untuk cari duit.

Jamannya sudah berbeda. Duluuuu.... sebelum era reformasi, memang kita haus berita alternatif. Karena dulu yang boleh tampil di permukaan hanya berita yang bagus-bagus dan baik-baik saja. Melenceng dari pakem yang dibolehkan, siap-siap saja media itu dibredel... Atau pengelola media dijemput paksa. Yang paling pahit ya pulang tinggal nama.

IMHO, pada jaman pra reformasi, berita dari media alternatif memang berita yang bernas, karena penulis dan penyebarnya punya idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi".
Berbeda dengan sekarang. Segala bentuk dan jenis berita boleh tampil dimana saja. Dan idealisme "mengungkap fakta yang ditutupi" pun sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Yang ada sekarang hanya fakta bahwa berita fitnah, berita hoax, berita hasil spin bisa mendatangkan uang. Begitu. Sederhana kan? Ujung-ujungnya hanya duit ternyata. 😐

Pondok Gede - 09042016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar