Membaca berita politik di medsos akhir-akhir ini, mendadak saya
merasa ada setitik harapan dalam hidup saya. Harapan untuk satu perubahan dalam
keseharian saya yang berkutat dengan aneka kegiatan domestik. Ya, sudah hampir
sepuluh tahun saya menjalani hidup seperti ini, sebagai ratu rumah.
Tapi seandainya fenomena dunia politik akhir-akhir ini bisa
juga berlaku pada diri saya, pasti bakal menyenangkan sekali.
Bayangkan. Saya akan kembali menjadi wanita bekerja eight to
five. Berangkat dari rumah dengan pakaian kerja modis, sepatu hak sedang (karena saya tidak bisa pakai
stiletto), tas tangan yang cantik, ditambah aksesoris khas perempuan pekerja
metropolitan.
Apa lagi? Oh yaa… tiap pagi saya akan memasuki kantor disalah
satu gedung jangkung di pusat Jakarta. Turun dari mobil, saya akan langsung
disambut oleh hawa segar wangi dari pendingin udara… yang pasti beda aromanya
dengan aroma asap di dapur saya. Seharian, pastinya, saya akan bertemu dan
bergaul dengan orang-orang yang rapi dan wangi, berbicara penuh ilmu dan
inteligensi. Beda dengan pak sayur, pak sampah, atau mbak laundry yang saya
temui setiap hari sekarang.
Aihh… harapan (atau khayalan) saya pun membuncah. Dan karenanya
saya tidak tahan lagi untuk membaginya dengan orang tercintah saya pada suatu
malam, saat dia tengah serius menatap layar gadget.
*Foto hasil dari Google search |
“Hun…” (Menyentuh lengannya)
“Hmmm…” (Menoleh sedikit)
“Engg… mungkin nggak ya, nanti. Nantiii… setelah jij pensiun,
kerjaan dan jabatan jij itu eike yang lanjutin?”
“Maksud jij?” (Menoleh lagi. Sedikit)
“Iyaa. Jij kan nanti pensiun. Terus eike yang gantiin... “
“Ah. Mana bisa begitu.”
“Bisa dong. Kan sebelum eike married dengan jij, eike pernah
kerja juga di kantor jij. Eike kan terpaksa keluar kerja gegara married sama
jij..!”
“Hmmm…?” (Mulai serius)
“Bisa kan?!”
“Mana ada jabatan bisa dilungsurkan gitu?”
“Ahh… tapi kok kalau gubernur bisa? Dia bakal mencalonkan
istrinya jadi penggantinya?”
“Haahh?”
“Iyaa…. Belakangan malah pak mantan presiden naga-naganya bakal
mengajukan istrinya jadi capres. Jij bisa toh, seperti itu?”
“Hmmm…” (Geleng-geleng kepala)
“Bisa kan? Tanda cinta jij ke eike… seperti pak gubernur dan
pak mantan itu…”
“Ishh… jangan norak! Itu kemaruk namanya!”
Mendengar kalimat terakhirnya, saya pun terdiam. Percakapan berakhir,
karena saya enggan disebut norak dan kemaruk.
Harapan dan khayalan saya pun punah.
Pondok Gede - 16032016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar