Kamis, 01 November 2012

"Winter Sonata"



Ini dia, melodrama Korea yang disebut sebagai gelombang awal dari "Korean Waves". Setelah hampir sepuluh tahun yang lalu pertama kali ditayangkan oleh salahsatu channel teve Indonesia, kini sinetron mendayu-dayu itu ditayangkan ulang oleh saluran teve yang berbeda.

Jujur saja, meskipun ikut hanyut dan termehek-mehek mengikuti cerita cinta Yoo Jin dan Joon Sang, aku belum pernah menonton melodrama ini secara runut dan tuntas. Keseluruhan jalan ceritanya justru sudah kutangkap melalui sinopsis-sinopsis yang beredar. Dulu setelah masa tayang pertamanya selesai, aku rela berburu DVD-nya di mall. Pun setelah kudapat secara lengkap, aku belum bisa menyelesaikan menonton hingga akhir cerita. Sekarang malah aku lupa dimana aku menyimpan DVD itu.

Kini, ketika serial itu tayang lagi disebuah channel lokal, aku pun tak yakin apakah bisa menontonnya secara komplit per episode hingga akhir cerita. Maklum, dengan penayangan dipagi hari, dimana semua aktivitas domestik dimulai, tentulah sulit bagi seorang "home worker" seperti aku untuk bisa menontonnya secara khusus dan intens.

Tapi untunglah, meskipun terpotong dan terputus-putus, aku masih bisa menikmati sajian drama Korea yang mengharu-biru ini. Mengherankan, dengan muatan cerita cinta  demikian, drama ini bisa membuat mata berkaca-kaca berulang-ulang dalam setiap scene. Sejak awal tayangan, dengan nuansa warna hitam putih, gambar slow motion dan sound track yang sendu dan lengang. Semua itu sanggup menarik-narik emosi menuju suatu rasa yang - extremely - memilukan!  Terlebih tatkala melihat scene Yoo Jin menunggu kekasihnya ditengah hujan salju (dan yang ditunggu tak pernah datang). Atau adegan ketika Yoo Jin menatap "reinkarnasi" Joon Sang dalam diri Min Hyeong dengan mata penuh kabut dan akhirnya menitikkan air mata.... Benar. Itu adegan yang sangat menyayat.

Terpikir kemudian olehku bahwa sinetron Korea ini memang memiliki "warna" yang berbeda dengan sinetron Indonesia umumnya. Lihatlah, dalam melodrama ini tak pernah ada adegan marah dan membentak. Suara keras dan emosi tinggi hampir tak pernah tampak, semarah apapun si tokoh cerita berakting. Adegan justru didominasi alur yang tenang. Para tokoh cerita tampaknya lebih banyak berakting dengan mimik wajah yang sederhana, tapi mampu memberi tahu penonton bagaimana karakter si tokoh dan apa yang dirasakannya dalam adegan itu. Menurutku, suasana dan nuansa ketimuran masih kental dalam sinetron negeri ginseng ini.

Tentu saja ini  jauh berbeda dengan sinetron stripping made in Indonesia yang terasa vulgar. Dimana untuk menyatakan kemarahan dan kebencian, si tokoh harus membentak dengan suara tinggi dan mata melotot. Untuk memperlihatkan sifat jahat, si pemeran mesti menyipitkan mata dan memiring-miringkan ujung bibirnya. Hiperbolik. Karena didunia nyata di nusantara sangat sulit ditemui karakter dan gesture semacam itu bukan? (Bahkan seorang koruptor yang sudah pasti jahat pun, di Indonesia tampil pede dengan wajah full senyum tanpa mata melotot dan bibir mencong-mencong).

Demikian pula dalam adegan percintaan. Sinetron Korea ini menggambarkannya dengan manis lewat wajah yang tersipu malu, tatapan sekilas, gesture yang canggung, tanpa adegan sentuhan fisik yang berlebihan. Semua dilukiskan dengan sederhana. Benar-benar masih terjaga "ketimuran" nya. Tapi justru adegan semacam itu yang membuat penonton tersentuh, tersenyum, kadang terharu. Dan akhirnya gemas dan geregetan. Inilah "Korea Style".

By the way, adakah sinetron Indonesia yang menganut mazhab "Korea Style" semacam "Winter Sonata" ini?  Syukurlah, jika ada. Kalaupun tidak ada, mungkin memang begitulah gambaran manusia Indonesia sekarang ; vulgar, hiperbolik, nyaris kehilangan perilaku "ketimuran" nya.


Pondok Gede - 01112012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar