Ini dia, melodrama Korea yang disebut
sebagai gelombang awal dari "Korean Waves". Setelah hampir sepuluh
tahun yang lalu pertama kali ditayangkan oleh salahsatu channel teve Indonesia,
kini sinetron mendayu-dayu itu ditayangkan ulang oleh saluran teve yang
berbeda.
Jujur saja, meskipun ikut hanyut dan
termehek-mehek mengikuti cerita cinta Yoo Jin dan Joon Sang, aku belum pernah
menonton melodrama ini secara runut dan tuntas. Keseluruhan jalan ceritanya
justru sudah kutangkap melalui sinopsis-sinopsis yang beredar. Dulu setelah
masa tayang pertamanya selesai, aku rela berburu DVD-nya di mall. Pun setelah
kudapat secara lengkap, aku belum bisa menyelesaikan menonton hingga akhir
cerita. Sekarang malah aku lupa dimana aku menyimpan DVD itu.
Kini, ketika serial itu tayang lagi
disebuah channel lokal, aku pun tak yakin apakah bisa menontonnya secara
komplit per episode hingga akhir cerita. Maklum, dengan penayangan dipagi hari,
dimana semua aktivitas domestik dimulai, tentulah sulit bagi seorang "home
worker" seperti aku untuk bisa menontonnya secara khusus dan intens.
Tapi untunglah, meskipun terpotong dan
terputus-putus, aku masih bisa menikmati sajian drama Korea yang mengharu-biru
ini. Mengherankan, dengan muatan cerita cinta
demikian, drama ini bisa membuat mata berkaca-kaca berulang-ulang dalam
setiap scene. Sejak awal tayangan, dengan nuansa warna hitam putih, gambar slow
motion dan sound track yang sendu dan lengang. Semua itu sanggup menarik-narik
emosi menuju suatu rasa yang - extremely - memilukan! Terlebih tatkala melihat scene Yoo Jin
menunggu kekasihnya ditengah hujan salju (dan yang ditunggu tak pernah datang).
Atau adegan ketika Yoo Jin menatap "reinkarnasi" Joon Sang dalam diri
Min Hyeong dengan mata penuh kabut dan akhirnya menitikkan air mata.... Benar.
Itu adegan yang sangat menyayat.
Terpikir kemudian olehku bahwa sinetron
Korea ini memang memiliki "warna" yang berbeda dengan sinetron
Indonesia umumnya. Lihatlah, dalam melodrama ini tak pernah ada adegan marah
dan membentak. Suara keras dan emosi tinggi hampir tak pernah tampak, semarah
apapun si tokoh cerita berakting. Adegan justru didominasi alur yang tenang.
Para tokoh cerita tampaknya lebih banyak berakting dengan mimik wajah yang
sederhana, tapi mampu memberi tahu penonton bagaimana karakter si tokoh dan apa
yang dirasakannya dalam adegan itu. Menurutku, suasana dan nuansa ketimuran
masih kental dalam sinetron negeri ginseng ini.
Tentu saja ini jauh berbeda dengan sinetron stripping made
in Indonesia yang terasa vulgar. Dimana untuk menyatakan kemarahan dan
kebencian, si tokoh harus membentak dengan suara tinggi dan mata melotot. Untuk
memperlihatkan sifat jahat, si pemeran mesti menyipitkan mata dan
memiring-miringkan ujung bibirnya. Hiperbolik. Karena didunia nyata di nusantara
sangat sulit ditemui karakter dan gesture semacam itu bukan? (Bahkan seorang
koruptor yang sudah pasti jahat pun, di Indonesia tampil pede dengan wajah full
senyum tanpa mata melotot dan bibir mencong-mencong).
Demikian pula dalam adegan percintaan.
Sinetron Korea ini menggambarkannya dengan manis lewat wajah yang tersipu malu,
tatapan sekilas, gesture yang canggung, tanpa adegan sentuhan fisik yang
berlebihan. Semua dilukiskan dengan sederhana. Benar-benar masih terjaga
"ketimuran" nya. Tapi justru adegan semacam itu yang membuat penonton
tersentuh, tersenyum, kadang terharu. Dan akhirnya gemas dan geregetan. Inilah
"Korea Style".
By the way, adakah sinetron Indonesia yang
menganut mazhab "Korea Style" semacam "Winter Sonata"
ini? Syukurlah, jika ada. Kalaupun tidak
ada, mungkin memang begitulah gambaran manusia Indonesia sekarang ; vulgar,
hiperbolik, nyaris kehilangan perilaku "ketimuran" nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar