Jumat, 09 November 2012

MENJADI BENAR


 
Aku dan sahabatku. Pada suatu waktu ditengah hujan yang tak terlalu deras, berada disebuah tempat. Kami duduk berseberangan. Dia dengan cangkir kopi dihadapannya, dan aku menghadapi semangkuk wedang ronde, yang masih kutunggu agar panasnya sedikit menguap.

Kami masih bicara tentang apa saja sekedar menunggu hujan reda, ketika ponsel sahabatku tiba-tiba membunyikan nada pesan masuk. Sahabatku menjangkau benda segiempat itu dari sisi cangkir kopi. Memencet salah satu tombol, lalu matanya terpaku pada layar kecil ditelapak tangannya. Sesekali alisnya terangkat bergantian dengan dahinya yang berkerut. Masalah serius tampaknya. Beberapa saat kemudian jarinya memencet keypad gadgetnya, membuat pesan balasan.

"Roby,"  katanya setelah menutup kembali gadgetnya, sambil menyebut nama salah seorang teman yang juga kukenal.
"Kenapa dengan Roby?" tanyaku
"Dia curhat," katanya lagi.

Aku baru ingat kemudian bahwa sahabatku ini adalah seorang pendengar yang baik. (Tak banyak orang yang mau dan mampu mendengarkan orang lain kan? Sebagian besar orang malah lebih senang bicara daripada mendengarkan). Karena itu banyak teman-teman yang mencarinya ketika membutuhkan seseorang untuk curhat. Termasuk aku dan Roby.

Tanpa kutanya lebih lanjut, sahabatku lalu bercerita betapa sulitnya "menjadi benar" di tengah iklim sosial yang sebagian besar tidak benar. Ia memberi contoh dengan kondisi "sosial politik" di tempatnya bekerja, yang berarti juga tempat  bekerja Roby.
Ia katakan bahwa seorang yang berusaha menjadi benar, seringkali malah dianggap melawan arus. Tak jarang dipandang aneh atau menghambat suatu proses. Dan ternyata itu yang sekarang tengah dialami oleh Roby.

Disaat ingin mendudukkan sesuatu pada rel dan koridornya, Roby malah dianggap menghambat prosedur, tidak fleksibel, kaku... Akibat lanjutnya, sebagai orang yang duduk di level middle management, Roby sering di "fait accompli" dan tak jarang diabaikan dari proses kerja. Itu yang membuat Roby tadi curhat kepada sahabatku itu.

"Menjadi benar, itu sulit ya...?" Tanyaku kemudian setelah ia selesai bercerita.
"Itulah... Jaman sekarang, di Republik ini kebenaran sudah terjungkir balik. Yang salah bisa menjadi benar, yang benar malah dianggap salah," sahabatku menanggapi kata-kataku.
"Lalu dengan kondisi semacam itu, apa yang kau lakukan?" Tanyaku. Aku tahu benar, sahabatku ini ber'mazhab' sama dengan Roby. Dia diam dengan pandangan jauh, sebelum menjawab pertanyaanku.
"Yah, aku akui, aku memang belum bisa berbuat banyak untuk mengubah kondisi yang sudah tersistem seperti sekarang. Kau tahu kan, dengan level yang kududuki sekarang, paling aku hanya bisa secara paksa menularkan 'mazhab'ku kepada beberapa orang yang ada di bawah supervisiku." Sahabatku mengambil jeda sebentar dan menghela nafas. "Atau di lingkungan rumahku, aku bisa menyuntikkan semangat moral kebenaran itu kepada anak-anak dan istriku," lanjutnya.
"Dengan kata lain, kau yakin, bila berada di posisi puncak, kau akan mampu merubah ketidakbenaran yang sudah tersistem itu?"
"Jika ada niat baik, tentunya akan diberi jalan dan kemudahan olehNya, kan?" Katanya lagi tanpa keraguan.
"Yakin?" Tanyaku lagi setengah meragukan. Tapi sungguh, aku kagum dengan keoptimisan dan keyakinannya.
"Kau pernah dengar tamsil yang ini?" Tanya sahabatku.
"Tamsil apa?" Aku penasaran.
"Bahwa ikan membusuk selalu dimulai dari kepalanya..."
"Haahh...??"  Aku terperangah.
"Makanya aku yakin, jika posisi puncak dipegang oleh ikan yang tidak berkepala busuk, sampai level bawah pun tidak ada yang berani berbuat busuk," Lanjut sahabatku kemudian.

Aku mengangguk-angguk membenarkan tamsil yang dikemukakan olehnya tadi. Dalam hati aku bertanya, sekarang di negeri ini ada berapa banyak ikan yang tidak berkepala busuk? Jangan-jangan hanya ada dua ; sahabatku dan Roby...?? Semoga tidak. Semoga masih banyak ikan sehat lainnya yang sedang berenang di kedalaman dan menunggu waktu yang tepat untuk berenang di permukaan...


Pondok Gede - 09112012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar