Buku setebal dua sentimeter, bergambar
sampul awan, burung berbulu merah biru coklat dan rumpun bunga ini
kutimang-timang.*) Kadang kubuka lagi halamannya secara acak, kubaca beberapa
paragrafnya, dan mataku terasa panas lagi.
Entah apa yang sedang dirasakan oleh Sanie
B.Kuncoro ketika menulis novel dengan judul "Memilikimu" ini.
Sungguh, karya penulis asal Solo sanggup mengaduk-aduk perasaanku. Seperti
menyihir dan memaksaku untuk berkali-kali menghapus airmata sepanjang membaca
novel ini. Bukan sekali! Bahkan ketika untuk kedua kalinya aku mengulang
membacanya, aku masih "mbrebes mili" mengikuti alur kata-kata dalam
cerita yang mengharu biru.
Bicara soal isi cerita, sebenarnya tidaklah
berbeda dengan beberapa novel lainnya. Inti cerita adalah tentang cinta dan
pengkhianatan, meskipun pengkhianatan dalam cerita ini bukanlah sesuatu yang
sangat "hitam". Melainkan untuk suatu alasan yang bisa dipahami
dengan perasaan, bukan dengan logika.
Garis cerita seperti itu dituturkan dengan
cara yang sangat halus oleh mbak Sanie. (Mungkinkah karena dia seorang
perempuan dan bersinggungan dengan kota Solo yang dikenal dengan kehalusan
tuturnya?). Kelembutan kata dalam novel ini, bagiku sangat menghanyutkan.
Kadang menimbulkan rasa mencekam, mengiris hati, dan akhirnya mendesak hingga
mengalirkan air mata. Seakan aku benar-benar bisa merasakan kesakitan hati
Samara yang dikhianati oleh suaminya. Aku bisa larut dalam ambigu Anom ; antara
keinginan hati dan menjaga janjinya pada Samara.
Cobalah simak penuturan mbak Sanie ketika
menggambarkan Samara meng-ikhlaskan Anom
pergi untuk selamanya: "..... Jauh
di dalam benak Samara tak hendak melepaskan Anom, tapi ada kesadaran bahwa
sesungguhnya dia tak lagi memiliki laki-laki itu sepenuhnya. Pengkhianatan itu
telah merenggut Anom darinya. Aku tidak tahu siapa diantara kami yang membuatmu
bertahan, gumam Samara kemudian. Tapi, yang terutama adalah dirimu. Bila luka
ini justru menyiksamu, maka lepaskanlah kami. Teruskanlah perjalananmu.....
" (halaman 182-183).
Terlalu panjang untuk dikutip. Chapter
"Doa Terakhir" halaman 199-202 juga membuat mata cengengku ini kian
deras mengalirkan air. Bagian ini adalah ketika Anom meminta maaf kepada Samara
atas pengkhianatannya dan memohon agar Samara sudi menerima kehadiran anaknya.
Juga pada akhir cerita, saat Samara hampir
kehilangan Magenta : "....
Barangkali tidak bisa kulupakan pengkhianatan ayahmu kepadaku, tapi aku bisa
memaafkan. Demi dirimu akan kumaafkan pengkhianatan itu dengan ikhlas, dan
keikhlasan yang sama akan kuajarkan padamu suatu hari nanti sehingga dengan itu
akan kau maafkan ayahmu, ibu yang melahirkanmu dan aku yang pernah
mengingkarimu..." (halaman 280).
Dari banyak novel-novel yang pernah kubaca,
ada tiga judul yang membuatku selalu ingat, bahwa aku pernah menangis
membacanya. Adalah novel sastra "Hilanglah si Anak Hilang" karya
Nasjah Djamin yang kubaca saat aku duduk di SMA. Lalu "Dalam Lindungan
Ka'bah" karya tokoh besar Buya Hamka. Dan baru-baru ini "Memilikimu"
karya Sanie B.Kuncoro.
Bila rasa sudah tersentuh, itulah yang
terjadi. Tak peduli aku disebut cengeng, alay atau lebay... Rasa dan hati orang
per orang tak pernah bisa sama, bukan?
Pondok Gede - 14112012
*)
Novel "Memilikimu" karya Sanie B.Kuncoro, diterbitkan oleh GagasMedia,
2011.
Dear Chusnul Amita,
BalasHapusTerimakasih untuk memiliki, membaca, terharu dan menulis tentang cerita ini. Responmu membuatku terharu.
Maaf ya untuk respon yang terlambat (sangat telat).
Salam hangat untukmu.
Salam mbak Sanie.....
BalasHapusDuuhh..... Saya benar-benar tidak menyangka akan mendapat kunjungan dari penulis handal seperti mbak Sanie.....
Terima kasih, mbak..... telah mampir ke blog yang sederhana ini..... heheee....
Terus berkarya ya mbak Sanie.....
Salam hangat....