Aku dan sahabatku. Pada suatu waktu
ditengah hujan yang tak terlalu deras, berada disebuah tempat. Kami duduk
berseberangan. Dia dengan cangkir kopi dihadapannya, dan aku menghadapi
semangkuk wedang ronde, yang masih kutunggu agar panasnya sedikit menguap.
Kami masih bicara tentang apa saja sekedar
menunggu hujan reda, ketika ponsel sahabatku tiba-tiba membunyikan nada pesan
masuk. Sahabatku menjangkau benda segiempat itu dari sisi cangkir kopi.
Memencet salah satu tombol, lalu matanya terpaku pada layar kecil ditelapak
tangannya. Sesekali alisnya terangkat bergantian dengan dahinya yang berkerut.
Masalah serius tampaknya. Beberapa saat kemudian jarinya memencet keypad
gadgetnya, membuat pesan balasan.
"Roby," katanya setelah menutup kembali gadgetnya,
sambil menyebut nama salah seorang teman yang juga kukenal.
"Kenapa dengan Roby?" tanyaku
"Dia curhat," katanya lagi.
Aku baru ingat kemudian bahwa sahabatku ini
adalah seorang pendengar yang baik. (Tak banyak orang yang mau dan mampu mendengarkan
orang lain kan? Sebagian besar orang malah lebih senang bicara daripada
mendengarkan). Karena itu banyak teman-teman yang mencarinya ketika membutuhkan
seseorang untuk curhat. Termasuk aku dan Roby.
Tanpa kutanya lebih lanjut, sahabatku lalu
bercerita betapa sulitnya "menjadi benar" di tengah iklim sosial yang
sebagian besar tidak benar. Ia memberi contoh dengan kondisi "sosial
politik" di tempatnya bekerja, yang berarti juga tempat bekerja Roby.
Ia katakan bahwa seorang yang berusaha
menjadi benar, seringkali malah dianggap melawan arus. Tak jarang dipandang
aneh atau menghambat suatu proses. Dan ternyata itu yang sekarang tengah
dialami oleh Roby.
Disaat ingin mendudukkan sesuatu pada rel
dan koridornya, Roby malah dianggap menghambat prosedur, tidak fleksibel,
kaku... Akibat lanjutnya, sebagai orang yang duduk di level middle management,
Roby sering di "fait accompli" dan tak jarang diabaikan dari proses
kerja. Itu yang membuat Roby tadi curhat kepada sahabatku itu.
"Menjadi benar, itu sulit ya...?"
Tanyaku kemudian setelah ia selesai bercerita.
"Itulah... Jaman sekarang, di Republik
ini kebenaran sudah terjungkir balik. Yang salah bisa menjadi benar, yang benar
malah dianggap salah," sahabatku menanggapi kata-kataku.
"Lalu dengan kondisi semacam itu, apa
yang kau lakukan?" Tanyaku. Aku tahu benar, sahabatku ini ber'mazhab' sama
dengan Roby. Dia diam dengan pandangan jauh, sebelum menjawab pertanyaanku.
"Yah, aku akui, aku memang belum bisa
berbuat banyak untuk mengubah kondisi yang sudah tersistem seperti sekarang.
Kau tahu kan, dengan level yang kududuki sekarang, paling aku hanya bisa secara
paksa menularkan 'mazhab'ku kepada beberapa orang yang ada di bawah
supervisiku." Sahabatku mengambil jeda sebentar dan menghela nafas.
"Atau di lingkungan rumahku, aku bisa menyuntikkan semangat moral
kebenaran itu kepada anak-anak dan istriku," lanjutnya.
"Dengan kata lain, kau yakin, bila
berada di posisi puncak, kau akan mampu merubah ketidakbenaran yang sudah
tersistem itu?"
"Jika ada niat baik, tentunya akan
diberi jalan dan kemudahan olehNya, kan?" Katanya lagi tanpa keraguan.
"Yakin?" Tanyaku lagi setengah
meragukan. Tapi sungguh, aku kagum dengan keoptimisan dan keyakinannya.
"Kau pernah dengar tamsil yang
ini?" Tanya sahabatku.
"Tamsil apa?" Aku penasaran.
"Bahwa ikan membusuk selalu dimulai
dari kepalanya..."
"Haahh...??" Aku terperangah.
"Makanya aku yakin, jika posisi puncak
dipegang oleh ikan yang tidak berkepala busuk, sampai level bawah pun tidak ada
yang berani berbuat busuk," Lanjut sahabatku kemudian.
Aku mengangguk-angguk membenarkan tamsil
yang dikemukakan olehnya tadi. Dalam hati aku bertanya, sekarang di negeri ini
ada berapa banyak ikan yang tidak berkepala busuk? Jangan-jangan hanya ada dua
; sahabatku dan Roby...?? Semoga tidak. Semoga masih banyak ikan sehat lainnya
yang sedang berenang di kedalaman dan menunggu waktu yang tepat untuk berenang
di permukaan...
Pondok Gede - 09112012