Pada suatu siang, hari tengah minggu, sang mentari bersinar terik meskipun hujan deras baru saja selesai lewat. Cuaca yang berubah drastis dan ekstrem, membuat suhu udara seperti roller coaster ; sebentar sejuk, sebentar panas menggigit kulit. Halaman sekolah tempat aku berada masih menyisakan genangan air disana sini, meskipun pelataran sekolah ini sudah tertutup rapat oleh paving block. Tapi rupanya karena pemasangan yang tidak sempurna, pada beberapa titik paving block mengalami penurunan permukaan sehingga air hujan menggenang tak mengalir.
Aku duduk diam dibawah pokok bugenvil setinggi kira-kira dua setengah meter yang sedang tidak berbunga. Batangnya yang keras tampak berpilin menyangga daun-daun yang tumbuh lebat. Karenanya tempat teduh ini menjadi favorit ibu-ibu yang rutin mengantar dan menjemput buah hatinya menuntut ilmu. Kali ini aku enggan ikut mengobrol. Panas yang menggigit kulit ditambah rasa gerah menghambat keinginanku untuk menimpali obrolan ibu-ibu di kiri dan kananku. Alhasil, aku hanya mendengarkan suara mereka membicarakan berbagai hal.
"Baru setengah dua belas ya, Bu? Saya tadi buru-buru berangkat, sampai lupa angkat jemuran. Pasti basah kuyup tuh, cucian saya.....," suara seorang Ibu disebelah kiriku dengan nada sesal.
"Iya...saya tadi juga buru-buru. Belum selesai masak. Kata pak Satpam pagi tadi, guru-guru mau rapat, jadi mungkin pulangnya lebih cepat," sahut Ibu lainnya.
"Laahhh.... ini sudah setengah dua belas, belum ada tanda-tanda mau dipulangkan....," timpal yang lain, setengah menggerutu. "Tahu begini, saya nggak usah cepat-cepat kesini..."
Nah, siapa bilang ketepatan waktu hanya milik para pekerja kantoran? Ternyata para ibu rumahtangga pun butuh itu kan? Apalagi jika waktu itu menyangkut kesinambungan ritme pekerjaan rumahtangga lainnya. Seorang Ibu didalam rumahnya bisa diibaratkan sebagai mesin produksi. Bila salah satu komponennya mengalami gangguan force majeure, bisa dipastikan akan terjadi malproduk..... Entah dalam bentuk masakan yang tak jadi atau baju seragam yang belum kering saat dibutuhkan. Aku tersenyum sendiri mendengar obrolan itu. Menertawakan diri sendiri dan memaklumi, karena aku juga seringkali mengalami hal seperti itu.
Matahari masih terik, sinarnya masih menggigit kulit. Pandanganku mengarah ke pintu gerbang sekolah. Seorang Ibu berjalan terseok-seok dengan menggendong anak lelakinya yang berumur sekitar tiga tahun. Aku sering melihat Ibu itu berjalan menggandeng anak lelakinya, dibuntuti dua orang anak perempuan berseragam usia kira-kira delapan dan sembilan tahun. Kadang ia menggendong anak lelakinya yang tertidur dengan posisi seperti saat ini. Tapi tampaknya baru kali inilah aku punya kesempatan untuk bertegur sapa dengannya, karena ia mengambil posisi duduk disebelah kananku.
Aku memberi senyum sambil memandangnya yang sedikit repot mengatur posisi duduk agar si kecil tetap nyaman dalam tidurnya.
"Ketiduran si kecil ya, Bu?"
"Iya... Sebenarnya dia agak demam. Tapi bagaimana lagi, dirumah tidak ada siapa-siapa, jadi terpaksa dibawa begini....," jawabnya sambil mengulas senyum. Kulihat bintik-bintik keringat bertebaran didahinya yang dinaungi kerudung warna kuning muda.
"Kakaknya kelas berapa, Bu?" Tanyaku. Pertanyaan klasik bila bertemu dengan ibu-ibu disekolah.
"Kelas tiga dan kelas empat..."
"Ooh, kalau anak saya kelas dua.....," kataku kemudian.
Akhirnya obrolan kami bersambung keseputar masalah sekolah. Tentang Bu Guru A yang galak dan membuat stress murid-muridnya, tentang komite sekolah dan sumbangan ini itu. Sampai kemasalah domestik rumahtangga, tak terkecuali tingkah laku Angga, Anggi dan Dimas, anak-anaknya.
"Ibu tinggal dimana, Bu?" Tanya Mama Angga. Seperti itulah hukum yang berlaku dilingkungan sekolah. Nama si Ibu tak pernah disebut, berganti dengan nama anaknya. Jika anaknya bernama Angga, maka si Ibu akan dipanggil Mama Angga. Kalau si Anak bernama Dina, ibunya dipanggil Mama Dina. Begitupun aku, disekolah aku dikenal dengan nama Mama Ariq.
Aku menjawab pertanyaannya dengan menyebutkan nama komplek tempat kami sekeluarga tinggal. Dan setelah itu aku baru tahu, bahwa Mama Angga tinggal di komplek perumahan baru yang berjarak sekitar limabelas kilometer dari sekolah. Setiap hari ia melakukan perjalanan antar jemput Angga dan Anggi dengan menggunakan jasa angkot. Tak heran jika dalam perjalanan, Dimas, si bungsunya selalu tertidur pulas. Paling tidak dalam sehari dia melakukan perjalanan dua kali pulang pergi. Belum lagi dia harus menyelesaikan sederet pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan pembantu.
Aku menghela nafas mendengar penuturan Mama Angga. Seperti itulah memang tipikal kami, para ibu rumah tangga yang memiliki anak-anak usia sekolah. Siapa bilang ibu rumah tangga adalah pekerjaan ecek-ecek yang bisa diselesaikan sambil lalu dengan mata terpejam. Salah sekali orang yang beranggapan demikian. Jam kerja seorang ibu rumah tangga bahkan mencapai 24 jam sehari. Seorang ibu rumah tangga adalah manajer operasional, manajer keuangan, humas, merangkap sebagai guru dirumah, koki, petugas antar jemput anak sekolah, tukang laundry...... Bahkan kadang-kadang juga bertindak sebagai satpam bagi anak-anaknya.... Terlebih dalam kondisi sekarang yang mulai sulit mencari tenaga asisten rumah tangga, karena para 'mbak-mbak' itu sekarang lebih memilih menjadi pekerja pabrik, penjaga counter, atau malah menjadi TKI dengan resiko mendapat majikan yang bengis dinegeri asing.
Tak terasa jam sekolah telah usai. Dua anak perempuan berseragam datang menghampiri Mama Angga yang segera berpamitan. Kupandangi sosoknya yang berjalan terseok-seok ditengah hari dengan menggendong Dimas yang masih pulas digendongannya, sementara Angga dan Anggi berjalan beriringan membuntuti. Matahari masih terik, sejuk dari hujan yang turun tadi sudah habis tak bersisa.
Dan aku berkata dalam hati ; Wahai anak-anak yang sudah terlahir kedunia, ketahuilah betapa merawat dan membesarkan kalian bukanlah hal yang mudah. Seorang ibu bahkan harus berjibaku melawan waktu, melawan lelah lahir batin, kadang harus mengorbankan kepentingannya sendiri untuk kalian.
"Bu.....," suara Ariq menyapa pendengaranku. Aku menoleh. Anakku memandangku dengan wajah memohon seperti biasanya jika meminta sesuatu.
"Sudah pulang, Ariq? Ada pe-er nggak?" Tanyaku sambil menduga-duga hari ini apa yang dimintanya.
"Ariq haus banget, Bu. Boleh beli minuman soda dingin, ya?" Pinta anakku dengan wajah dipasang se-memelas mungkin.
"Ariq kan tadi Ibu bawain air putih? Minum itu saja ya...?" Kataku membujuk.
"Air putih nggak ada rasanya....Nggak enak..." Ariq mulai cemberut.
"Ariq kan masih batuk, jangan minum es dulu..."
"Nanti Ariq minta sama penjualnya, pakai es sedikit saja. Boleh ya, Buuuu....," wajahnya disetel memelas lagi.
"Tidak, Ariq...... Tidak ada minuman dingin apalagi minuman soda selama batuk Ariq belum sembuh," kataku tak mau luluh oleh wajah memelasnya.
"Aaaaa.......," sekarang ia merengek dan menghentakkan kaki.
"Tidak sekarang, sayang..... Ayo kita pulang. Ibu belum masak.....," kataku. Kali ini aku berperan sebagai satpam anak-anak. Dan setelah sampai di rumah nanti, aku akan segera bertukar peran menjadi koki.
Pondok Gede - 16032012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar