Langit bercengkerama dengan bayang-bayang.....
Senja kala, mentari telah jingga warnanya. Berada digaris cakrawala, berbatas Awan abu-abu tua, seperti jajaran kain-kain perca. Udara senja ini sejuk. Angin berjalan tak tergesa, ia berlalu lambat. Tapi tak urung kelebatnya mampu menggoyangkan ujung mahkota Langit yang terurai tanpa kait.
Langit diam menatap mentari yang seperti bola api dengan besar tak terperi. Matanya sayu seperti kerlip bintang yang terlambat sembunyi dipagi hari. Sebenarnya ia disini bukan tanpa arti. Ia tengah menanti sebuah hati yang telah berbilang purnama setia menemani. Tapi dimana hati itu kini?
Dulu, hati itu Awan yang punya. Sebuah jiwa yang telah mengisi kalbunya, dengan aneka rona warna. Langit percaya saja. Walau beribu depa jarak mustahil akan mengecil. Ia percaya, bahkan ketika dua raga mereka tak kunjung bersua. Ia percaya, bahwa Awan akan selalu ada untuknya kapan saja. Bak bayang-bayang yang bersitumpu dekat padanya. Langit punya asa, Awan akan begitu sepanjang masa.
Langit berduka dengan bayang-bayang.....
Dewa malam. Senja kala telah menepi pasti, ketika mentari benar-benar telah kembali. Malam senyap, bintang lenyap, bulan menyelinap. Dan jagad jiwa Langit beranjak gelap. Dalam gulita Langit menatap angkasa, mencari kalau saja Awan ada disana. Bawakan ia seribu warna pemberi bahagia. Seperti dulu kala.
Langit menunggu Awan. Dengan jiwanya yang pilu berkalang sendu. Pernah suatu waktu dulu, Langit begitu rindu dan Awan pun begitu. Tak bosan Awan menyambangi Langit diketinggian angkasa. Langit pun gembira menerima hadirnya. Mereka punya rasa yang sama, cerita yang tak beda dan begitu mudah tawa menggema. Hanya mereka berdua. Langit bahagia, menggenggam asa sepanjang masa.
Awan ada dimana? Telah lama kutunggu dirimu dengan sapa pertama, Langit berkata. Tapi Awan tak jua menerima bahasa rasa yang ia kabarkan dengan desir tak bernama. Langit setia menunggu Awan. Dia ada disitu setiap waktu, dengan rona biru, kadang abu-abu. Biar hanya bayang-bayang yang singgah menyapa, cukuplah untuk selalu ada dijiwa penuh cinta. Langit mengerti, ia takkan bisa menahan Awan dalam rengkuh selamanya. Karena Awan akan selalu berpencar dan berpendar seiring udara mayapada. Bahwa jauh adalah niscaya, yang ia sendiri tak ingin itu meraja.
Langit menunggu. Awan berlalu. Mungkin baginya singgah tak lagi perlu.
Dewa malam. Senja kala telah menepi pasti, ketika mentari benar-benar telah kembali. Malam senyap, bintang lenyap, bulan menyelinap. Dan jagad jiwa Langit beranjak gelap. Dalam gulita Langit menatap angkasa, mencari kalau saja Awan ada disana. Bawakan ia seribu warna pemberi bahagia. Seperti dulu kala.
Langit menunggu Awan. Dengan jiwanya yang pilu berkalang sendu. Pernah suatu waktu dulu, Langit begitu rindu dan Awan pun begitu. Tak bosan Awan menyambangi Langit diketinggian angkasa. Langit pun gembira menerima hadirnya. Mereka punya rasa yang sama, cerita yang tak beda dan begitu mudah tawa menggema. Hanya mereka berdua. Langit bahagia, menggenggam asa sepanjang masa.
Awan ada dimana? Telah lama kutunggu dirimu dengan sapa pertama, Langit berkata. Tapi Awan tak jua menerima bahasa rasa yang ia kabarkan dengan desir tak bernama. Langit setia menunggu Awan. Dia ada disitu setiap waktu, dengan rona biru, kadang abu-abu. Biar hanya bayang-bayang yang singgah menyapa, cukuplah untuk selalu ada dijiwa penuh cinta. Langit mengerti, ia takkan bisa menahan Awan dalam rengkuh selamanya. Karena Awan akan selalu berpencar dan berpendar seiring udara mayapada. Bahwa jauh adalah niscaya, yang ia sendiri tak ingin itu meraja.
Langit menunggu. Awan berlalu. Mungkin baginya singgah tak lagi perlu.
Pondok Gede - 19032012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar