Novel terbitan Gaya Favorit Press tahun
1977 ini kutemukan di rak buku di rumah orangtuaku. Ketika aku 'mudik'
memanfaatkan long week end. Sebenarnya, aku bukan mencari novel ini,
karena niatku adalah menemukan sebagian
dari trilogi karya Ashadi Siregar ; 'Cintaku Di Kampus Biru' dan 'Kugapai
Cintamu' (minus 'Terminal Cinta Terakhir' yang sudah kubaca ulang via e-book).
Syukur-syukur kalau kutemukan juga 'Sirkuit Kemelut'. Karena seingatku, dulu
Bapakku adalah penggemar karya Ashadi Siregar.
Novel yang sengaja kucari ternyata tak
kutemukan. Mungkin aku harus membongkar rak buku lainnya, yang butuh banyak
waktu. Tapi novel karya Marianne Katoppo ini sepertinya layak juga dibaca
ulang. Dulu, aku pertama kali membaca novel ini saat duduk di kelas satu atau dua
SMP. Ditanganku, sampul novel ini masih utuh dan licin.... Karena disimpan
dengan baik oleh Ibuku yang membelinya pada tahun 1981 (ini kuketahui dari
angka tahun yang tertera disamping tandatangan Ibuku di halaman awal
buku). Hanya kertas isinya yang kusam kekuning-kuningan dimakan usia.
Membaca ulang novel ini, membuat aku
menarik kesimpulan bahwa pada tahun 70-an, karya dengan setting dunia mahasiswa
tampaknya adalah trend pada masa itu. Hampir sebangun dengan 'Cintaku di Kampus Biru' yang juga berlatarbelakang
dunia kampus. Bedanya, 'Raumanen' ditulis dengan lebih halus - mungkin karena
penulisnya seorang wanita. Sedangkan 'Kampus Biru' lebih bernuansa tegas,
lincah dan sangat terbuka.
Dulu diawal masa remajaku, aku membaca
'Raumanen' dengan cara sederhana. Membaca kata per kata, kalimat per kalimat,
hanya untuk tahu bagaimana akhir kisah cinta pertama Raumanen Rumokoi,
mahasiswi berdarah Minahasa yang pintar dan lugu, dengan Hamonangan Pohan, insinyur yang playboy tapi tunduk pada
kemauan adat melalui perintah ibunya. Pun dulu aku tak terlalu menyelami
karakter masing-masing tokoh utama novel ini.
Tapi sekarang, dengan membaca ulang novel
ini, aku memperoleh banyak pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Tentang ke'bhinekaan' Indonesia, tentang orangtua yang keukeuh memberlakukan
adat dan menganggap bahwa seorang anak lahir ke dunia untuk memenuhi keinginan
ideal orangtua - dalam novel ini diwakili oleh ibunda Monang sang insinyur.
Ada pula pesan tentang seorang lelaki
dewasa yang tak mampu memperjuangkan cintanya kepada gadis berbeda suku, yang
sebaliknya, keluarganya demikian terbuka menerima perbedaan itu. Ketidakmampuan
Monang keluar dari kungkungan adat dan tuntutan ibunya itulah, yang membawa
duka lara pada diri Raumanen. Menunjukkan betapa rapuh sebenarnya karakter
Monang, dan Raumanen menjadi akibat dari lemahnya Monang.
Akan halnya Raumanen. Ia adalah seorang
gadis delapan belas tahun yang belum pernah mengenal cinta sebelumnya. Tapi
karena keluguannya (atau karena kepintaran Monang merayu?), ia terjerat pada
hubungan yang meragukan, karena Monang tak pernah berucap cinta padanya.
Meskipun tindakan Monang telah dengan jelas menunjukkan kesungguhan untuk
membawa Raumanen kearah pernikahan. Terlebih setelah Monang tahu bahwa Raumanen
mengandung anaknya.
"Aku
cuma berusaha menerangkan," kata Monang lesu. "Jangan begitu perasa,
pemarah. Pendapat orang tuaku itu bukan pendapatku sendiri. Kau harus tahu itu.
Tetapi kau juga harus mengerti betapa sulitnya bagiku berbicara dengan mereka,
melihat bahwa setiap perkataanku seakan-akan batu tajam yang merajam hati
mereka..."
"Kalau
orang tuamu begitu ingin mempertahankan kemurnian adat," kata Manen sinis,
"mengapa mereka tak menyimpanmu dalam lemari kaca sejak kecil? Mengapa
engkau tak ditahan saja di Tarutung sana, tetapi dikirim ke Jakarta, ke
Bandung, untuk bersekolah? Sebaiknya mereka tetap mengurungmu di bawah
tempurung kesukuan..."
Bagi Raumanen yang dibesarkan dalam
keluarga yang religius, cinta adalah datang dari Tuhan. Dan melihat Monang yang
tak menghiraukan keberadaan Tuhan, maka Raumanen percaya bahwa Monang tak punya
cinta untuknya. Ia merasa, niat Monang untuk menjadikannya istri adalah sekedar
keterpaksaan karena benih yang telanjur tertanam di rahimnya. Ditambah lagi
dengan kenyataan, bahwa rumah baru yang sedianya adalah rumah masa depan mereka
berdua, ternyata kemudian ditempati oleh ibu dan adik-adik Monang. Dan pada
suatu malam ia mendatangi rumah Monang yang tengah berpesta, tapi lelaki itu
tak mengundangnya masuk, apalagi memperkenalkan dirinya yang sudah mengandung
anak Monang.
Hal-hal itu membuat Raumanen putus asa. Ia
menyimpan sendiri masalahnya, karena sadar itu adalah kesalahan yang ia buat
sendiri. Kesalahan yang nyata, karena sebelum terlibat terlalu jauh dengan
Monang ia sudah tahu reputasi Monang yang playboy, dan untuk itu beberapa
kerabat dan teman sudah berusaha memagarinya. Tapi toh ia nekad menerobos pagar
itu demi Monang.
Puncak keputusasaan Raumanen adalah ketika
dokter memastikan bahwa janin yang dikandungnya tak akan lahir dengan sehat
karena penyakit yang dibawa Monang akibat pergaulan bebas. Gadis muda yang
tadinya optimis, realistis dan penuh cita-cita itu tak mampu berpikir sehat. Ia
merasa benar-benar bersalah, terhina, dan kebanggaannya hancur tak bersisa. Ia
menolak saran dokter untuk melakukan abortus provocatus, dan memilih sendiri
cara kematian bersama janinnya. Sebilah pisau dan guratan di pergelangan tangan
mengakhiri keputusasaan Raumanen. Tragis.
Raumanen
; Aku tersenyum dalam kegelapan itu. Biarlah didobraknya pintu itu. Biarlah
mereka menyerbu masuk. Menyeret tubuhku keluar nanti. Apa yang terjadi, sudah
terjadi. Hukuman sudah dilaksanakan.
Kujatuhkan
barang mati, yang tadinya kugenggam kuat-kuat, ke lantai. Kurebahkan diriku ke
ranjang, seraya mengangkat tangan sekedar penutup wajahku, yang tiba-tiba
disoroti cahaya putih gemilang.
Tetapi,
tanganku itu berlumuran darah! Aku menjerit - tetapi darah itu masuk ke dalam
mataku, mulutku, hidungku... Seluruh duniaku menjadi darah, menjadi merah! Dan
aku ditelan kemerahan itu...
Monang
; Jangan kau harapkan cucu dariku!
Inilah upah kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima bagi kecongkakanmu...
Dulu kau tak sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila darahnya bukan darah
Batak murni. Berbahagialah kau sekarang dengan kemurnianmu : sombu ma roham,
inang. Satu-satunya anakku, satu-satunya cucu yang pernah dapat kuberikan
kepadamu, sudah lama mati! Mati! Dibunuh Raumanen dalam keputusasaannya sepuluh
tahun yang lalu!
Sebagai novel yang meraih penghargaan dari
Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975, novel ini memang menghanyutkan. Pada awal
cerita, begitu lincah dan segar menggambarkan keceriaan Raumanen dan dunia
mahasiswanya dengan dialog-dialog yang cerdas dan kadang menerbitkan senyum.
Tapi kemudian berangsur-angsur menjadi narasi yang gelisah dan muram, mewakili
suasana hati Raumanen. Dan mencapai puncak kesedihan diakhir cerita.
Ada kesamaan latarbelakang tokoh utama pria
"Monang - Hamonangan Pohan" pada novel ini dengan tokoh "Joki
Tobing" di novel "Terminal Cinta Terakhir"nya Ashadi Siregar.
Sama-sama berlatarbelakang Tapanuli.
Bedanya, Joki Tobing dengan gagah berani
menolak kehendak ibunya untuk menikah dengan anak Tulangnya. Tapi akhirnya
berhasil melunakkan hati Inang dan Tulangnya untuk bersatu dengan Widuri yang
perempuan Jawa. Sementara tokoh "Monang", dengan kecut, tak sepenuh
hati berani memperjuangkan keinginannya memperistri Raumanen, si gadis
Minahasa. Meskipun dengan argumen bahwa Raumanen telah mengandung anaknya.
Ya, pada akhirnya sebagai pembaca memang
kita harus memaklumi bahwa seorang pengarang adalah 'tuhan' bagi cerita yang
diciptakannya.
Pondok Gede - 02042013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar