Adalah seorang abdi negara berseragam
coklat, penjaga ketertiban masyarakat, berkantor di bagian selatan ibukota
negara kita tercinta. Singkat kata, dia menjadi kabar berita seantero
nusantara.
Demikianlah, namanya terdengar sebagai
seorang yang sangat kaya raya. Jikalah dia seorang saudagar, masyarakat
tentulah mengerti dan mahfum adanya. Tapi dengan pekerjaan sebagai abdi negara,
harta yang beraneka rupa itu pastinya membuat mulut pemirsa dan pembaca
ternganga.
Lihatlah ragam harta kekayaannya, hiasan
dunia yang tak ada artinya dihadapan Sang Kuasa ; Tanah di antero pulau Jawa, 28 rumah mewah, 4
mobil mewah, 6 kendaraan angkutan, 3 SPBU, kebun binatang seluas 90 hektar, 3
apartemen... Yang jika dinilai dengan mata uang akan menjadi sekira 100 milyar
jumlahnya.
Lalu, apakah kata kita terhadapnya?
Hebatkah ia, karena betapa kaya rayanya? Pandaikah ia, oleh sebab lihainya
mengutip uang lalu menyimpannya dalam berbagai bentuk, padahal ia pasti tahu
itu bukan haknya? Atau maklum sajalah, bukankah laku seperti itu sudah jamak
adanya di negeri kita, hanya saja dia sedang kejatuhan sial, sehingga cepat
terkuak adanya...
Mungkin kita lupa tentang satu rasa. Iba.
Ya..., semestinya kita menaruh iba kepadanya. Mengapa? Karena dia tuna rasa, tak
bisa merasa cukup, tak pernah merasa puas. Selalu merasa kurang, sehingga
bertambah-tambah kehendaknya akan benda. Dan semakin sering cara tak berkah
yang dilakukannya. Maka iba yang harus kita jatuhkan padanya, pada
ketidakmampuannya merasa cukup dan puas pada apa yang telah didapatnya. Cacat
batin, tuna rasa (puas)... Itu adanya dia. Semoga kita dijauhkan dari hal
semacamnya...
Seorang pengarang ternama pernah menuliskan
seperti ini :
"Itulah
kenapa dunia ini diciptakan dengan 'ukuran-ukuran'. Relativitas... Menurut
saya, selain 'warna', 'waktu', 'ruang', ciptaan Tuhan yang indah lainnya adalah
: relativitas. Kecil disini, belum tentu kecil pula disana. Besar disana, belum
tentu besar disini... Dan duhai...yang elok dari mekanisme relativitas itu
adalah : dia dikunci oleh perasaan (bukan ukuran metric, yang dipahami oleh
rasionalitas). Ketika perasaan menjadi sumber perbandingan, maka apakah
'perasaan cukup' memiliki korelasi dengan
angka-angka? Tentu tidak".
(Darwis Tere Liye) *)
Pondok Gede - 26042013
*) Terima kasih kepada Darwis Tere Liye
atas tulisannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar