Jumat, 26 April 2013

Cacat Batin, Tuna Rasa



Adalah seorang abdi negara berseragam coklat, penjaga ketertiban masyarakat, berkantor di bagian selatan ibukota negara kita tercinta. Singkat kata, dia menjadi kabar berita seantero nusantara.

Demikianlah, namanya terdengar sebagai seorang yang sangat kaya raya. Jikalah dia seorang saudagar, masyarakat tentulah mengerti dan mahfum adanya. Tapi dengan pekerjaan sebagai abdi negara, harta yang beraneka rupa itu pastinya membuat mulut pemirsa dan pembaca ternganga.

Lihatlah ragam harta kekayaannya, hiasan dunia yang tak ada artinya dihadapan Sang Kuasa ;  Tanah di antero pulau Jawa, 28 rumah mewah, 4 mobil mewah, 6 kendaraan angkutan, 3 SPBU, kebun binatang seluas 90 hektar, 3 apartemen... Yang jika dinilai dengan mata uang akan menjadi sekira 100 milyar jumlahnya.

Lalu, apakah kata kita terhadapnya? Hebatkah ia, karena betapa kaya rayanya? Pandaikah ia, oleh sebab lihainya mengutip uang lalu menyimpannya dalam berbagai bentuk, padahal ia pasti tahu itu bukan haknya? Atau maklum sajalah, bukankah laku seperti itu sudah jamak adanya di negeri kita, hanya saja dia sedang kejatuhan sial, sehingga cepat terkuak adanya...

Mungkin kita lupa tentang satu rasa. Iba. Ya..., semestinya kita menaruh iba kepadanya. Mengapa? Karena dia tuna rasa, tak bisa merasa cukup, tak pernah merasa puas. Selalu merasa kurang, sehingga bertambah-tambah kehendaknya akan benda. Dan semakin sering cara tak berkah yang dilakukannya. Maka iba yang harus kita jatuhkan padanya, pada ketidakmampuannya merasa cukup dan puas pada apa yang telah didapatnya. Cacat batin, tuna rasa (puas)... Itu adanya dia. Semoga kita dijauhkan dari hal semacamnya...

Seorang pengarang ternama pernah menuliskan seperti ini :
"Itulah kenapa dunia ini diciptakan dengan 'ukuran-ukuran'. Relativitas... Menurut saya, selain 'warna', 'waktu', 'ruang', ciptaan Tuhan yang indah lainnya adalah : relativitas. Kecil disini, belum tentu kecil pula disana. Besar disana, belum tentu besar disini... Dan duhai...yang elok dari mekanisme relativitas itu adalah : dia dikunci oleh perasaan (bukan ukuran metric, yang dipahami oleh rasionalitas). Ketika perasaan menjadi sumber perbandingan, maka apakah 'perasaan cukup' memiliki korelasi dengan  angka-angka? Tentu tidak".  (Darwis Tere Liye) *)


Pondok Gede -  26042013


*) Terima kasih kepada Darwis Tere Liye atas tulisannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar