Selasa, 02 April 2013

Tertawalah, Nak


Hari masih sangat dini. Dingin sisa hujan kemarin malam menyengat kulit, saat aku terbangun dari tidur yang hanya sebentar. Seperti hari-hari biasanya, pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah memulai hariku. Pertama aku akan pergi ke kamar anakku. Mengganti lampu tidur dengan lampu terang, mematikan pendingin ruangan (yang sebenarnya tidak perlu dinyalakan karena belakangan ini udara sudah dingin karena musim hujan). Lalu kulanjutkan dengan menarik selimut, bantal dan guling dari tubuh anakku, sebelum akhirnya membangunkannya untuk persiapan berangkat sekolah. Ritual yang seringkali membuat stres, karena semuanya berkejaran dengan waktu. Semuanya harus berlangsung dengan cepat dan tepat. Karena selisih waktu yang hanya tiga atau lima menit pun akan menentukan apakah kita bisa sampai di tempat tujuan tanpa terlambat, atau apakah kita terperangkap dalam kemacetan lalulintas yang menjengkelkan.

Dia, anakku, matanya masih terpejam rapat meskipun telah kehilangan selimut, bantal dan gulingnya dalam waktu bersamaan. Aku tahu, tanpa garukan ditelapak kakinya dan gelitikan pada tubuhnya dia tidak akan terbangun. Kupandangi tubuh kecil yang masih lelap dalam kubangan alas tidur bergambar tokoh Naruto. Dalam usianya yang melewati tujuh tahun menjelang delapan, dia terlihat  langsing dibanding empat atau lima tahun yang lalu, ketika orang gemas melihat pipi chubby-nya, atau paha dan lengannya yang gempal.

Anakku masih tidur dengan posisi miring, kedua tungkainya rapat tertarik kearah perut, dan kedua tangan menyatu didepan dada. Seperti posisi bayi yang berada dalam rahim ibunya. Ah, aku baru sadar bahwa akupun menyukai posisi tidur seperti itu. Hatiku tersentuh, aku bergerak merengkuh dan memeluk tubuh kecil itu dalam pelukanku. Kuciumi dan kukecup wajahnya sepuasku. Karena hal ini tak mungkin kulakukan padanya ketika ia dalam kondisi tidak tidur. Entah mengapa dalam usianya sekarang, dia sangat sulit untuk sekedar dimintai satu ciuman atau pelukan. Anakku ini, kupikir memang kadang-kadang terlihat lebih dewasa dalam berkata-kata dan bersikap dibanding kakaknya. Mungkinkah karena itu dia enggan diperlakukan layaknya anak kecil yang sering dipeluk dan dicium?
 
Aku masih memeluk dan menciumi dia, anakku. Menghirup bau anak-anak yang masih melekat ditubuhnya, dan menikmati harum shampo dalam botol bergambar Donald Duck yang masih tersisa dirambut halusnya. Saat itu aku terpana, tiba-tiba aku mendengar suara tawa anakku. Meskipun tidak keras, tapi aku mendengarnya sebagai suara yang sangat indah. Suara tawa yang riang dan jernih itu, keluar dari mulut yang terbuka riang menunjukkan gigi geligi ompongnya. Sementara diwaktu yang sama, matanya masih terpejam rapat. Mimpi apa yang sedang kau alami anakku? Apakah engkau sedang bercanda dengan bidadari di surga, sambil menjilati mentega atau kecap yang selama ini kau lakukan diam-diam (padahal Ibu tahu)? Atau minum berbotol-botol minuman soda dingin yang sangat Ibu hindarkan darimu? Atau bermain playstation, PSP atau game online seharian penuh tanpa teguran dan larangan?

Jika benar itu yang ada dalam mimpimu, maafkan Ibumu karena seringkali melarangmu melakukan hal itu. Ketahuilah, nak....Kalau Ibu melarangmu, itu bukan berarti Ibu tak menyayangimu. Ibu hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik, yang mungkin tak akan bisa terjadi karena apa yang kau lakukan itu.
Tertawalah selalu, nak.... Jangan hanya tertawa dalam tidurmu... Karena senyum dan tawamu lebih berarti bagi Ibu, daripada senyum dan tawa manusia dewasa yang kadang tidak tulus karena diiringi berbagai maksud dan tujuan......
   

Pondok Gede - 13012012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar