Sekian puluh tahun setelah pemberian gelar
pahlawan kepada seorang perempuan bernama Raden Ajeng Kartini. Entah mengapa
akhir-akhir ini banyak yang
mempermasalahkan gelar kepahlawanannya. Beberapa orang mengatakan ; bagaimana
mungkin karena tulisan curhatnya, seorang perempuan tiba-tiba bisa menjadi pahlawan? Padahal saya
yakin, pada waktu menulis surat-surat kepada teman Belanda-nya, RA Kartini
tidak pernah bermaksud agar nantinya dia bisa diberi gelar pahlawan...
Bahkan beberapa status, tweet, maupun tulisan di dunia maya
membandingkannya dengan kiprah Rohana Kudus, Cut Nya Dien, Dewi Sartika, atau
seorang perempuan penulis dari Sulawesi era tahun 1800-an (maaf, saya lupa
namanya).
Menurut hemat saya,
membaca surat-surat Kartini idealnya adalah dengan mendalami dan
memahami kondisi psikologi dan lingkungan sosial beliau dalam tatanan
masyarakat ningrat Jawa pada masa itu. Jika kita bisa 'masuk' kedalam ranah
itu, barulah kita mengerti bahwa buah kata Kartini dalam surat-suratnya kepada
Nyonya Abendanon adalah suatu pemikiran yang sangat maju (kalau tidak bisa
dikatakan sebagai pemberontakan) untuk perempuan pada masa dan dalam lingkungan itu.
Mohon maaf, dan bukan karena ikatan
primodial, jika saya yang kebetulan seorang Jawa bisa memahami kegelisahan dan
kekecewaan Kartini pada tatanan sosial perempuan Jawa dimasa itu. Termasuk
dengan keputusannya untuk menolak beasiswa ke Eropa dan memilih menjadi istri
kesekian dari seorang Bupati setengah baya. Bukankah dipandang dari sisi lain,
keputusannya itu adalah wujud dari sikapnya sebagai seorang muslimah? Sekali
lagi, mohon maaf jika penalaran saya keliru.
Saya pikir, mungkin buah pemikiran yang
maju untuk jamannya itu yang menjadi dasar pemberian gelar pahlawan baginya.
Bukan disebabkan oleh pemerintah RI, yang kebetulan, berada di tanah Jawa
dengan segala dampak, efek dan implikasinya.
Tanpa bermaksud mengecilkan yang lain. Menurut hemat saya,
Kartini tidak bisa dibandingkan secara 'apple to apple' - misalnya - dengan Rohana Kudus. Yang pada masa yang hampir
bersamaan (atau bahkan lebih dulu?) dengan Kartini telah menerbitkan surat
kabar di Sumatra Barat dan menjadi pemimpin Syarikat Perempuan di daerahnya.
Tentu saja, menurut pemikiran saya, hal itu bisa dan sangat mungkin terjadi
terkait dengan posisi perempuan Minang yang memang berbudaya matrilineal dan
punya peran sentral sebagai "Bundo Kanduang". Jelas kondisi
psikologis bunda Rohana Kudus berbeda dengan Kartini sebagai perempuan Jawa
yang hidup di abad-19 dalam budaya patriarki yang sangat kental, dimana perempuan
seringkali hanya dianggap sebagai "kanca wingking".
Mungkin benar kata seorang teman dunia maya
saya dalam tulisan di blog-nya *). Bahwa pergeseran citra Kartini yang ditandai
dengan perdebatan mengenai status kepahlawanannya ini sebagian besar disebabkan
oleh dangkalnya kaum perempuan dalam memaknai hari kelahiran Kartini berikut
gelar pahlawannya.
Lomba berkebaya, lomba memasang konde,
lomba lari dengan high heel. Bahkan kontes miss-miss dan putri ini-itu pun
membawa-bawa nama Kartini. Seringkali saya merasa gerah dan begah dengan
penyebutan nama Kartini untuk event-event seperti itu.... Jadi kapan para
perempuan bisa memberi makna yang lebih dalam terhadap kiprah dan gelar
pahlawan perempuan ya?
Pondok Gede - 23042013
*)
Terima kasih untuk Dinda Nuurannisaa Yura dan blog-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar