"Sudah
melahirkan?"
"Bayinya
laki atau perempuan?"
"Beratnya
berapa?"
"Persalinan
normal atau operasi?"
Biasanya hal-hal itulah yang ditanyakan
orang ketika mendengar kerabat dan handai taulannya bersalin, bukan? Sering
kutemui, jika pertanyaan terakhir dijawab dengan kata "operasi
(caesar)", si penanya akan menanggapi dengan kata "Oooo...."
yang terkesan agak gimanaaa...gitu.
Jangan-jangan itu hanya perasaanku sebagai
seorang ibu yang belum pernah melahirkan secara normal? Sehingga sedikit merasa
tidak sempurna?
Seringkali aku mendapati komentar dari
orang, bahwa melahirkan secara caesar itu enak. Bisa memilih hari dan tanggal,
tidak merasakan sakitnya mengejan..... Padahal, siapa bilang? Kalau
dipikir-pikir, ditimbang-timbang dan dirasa-rasa, melahirkan dengan cara yang
diberikan Yang Maha Kuasa pastilah lebih nyaman daripada cara yang "diluar
kebiasaan" seperti bedah caesar.
Mari simak pengalamanku sebagai seorang ibu
yang tiga kali melahirkan, seluruhnya dengan cara yang "diluar kebiasaan".
Aku yang sebelumnya tak pernah membayangkan bakal melahirkan dengan cara
seperti ini. Yang tak pernah mengalami
"pembukaan" lebih dari ukuran dua jari. Yang menurut perkiraan
pihak berwenang tidak akan bisa
melahirkan secara normal jika lingkar kepala bayi lebih dari 30 sentimeter (dan
ternyata memang tiga anakku lahir dengan lingkar kepala 35-36 sentimeter) ;
- Sebelum operasi dilakukan, semalam
sebelumnya diharuskan berpuasa.
Bandingkan dengan cara normal yang boleh makan apa saja, bahkan beberapa menit
sebelum mengejan.
- Di dalam kamar operasi yang dingin bukan
main. Dalam keadaan "benar-benar terbuka" menahan dingin dan
merasakan proses pemasangan kateter. Belum lagi harus memposisikan diri seperti
udang atau huruf ‘c’ untuk menerima suntikan anestesi di tulang belakang (yang kadang
harus dilakukan berkali-kali karena pihak berwenang belum menemukan titik yang
pas).
- Dalam keadaan setengah sadar masih bisa
merasakan perut ditoreh pisau, meskipun tidak berasa sakit apapun. Lalu
merasakan ada sesuatu yang ditekan,
ditarik dan diangkat dari perut. Kemudian terdengar
tangis bayi yang hanya bisa kulihat sesaat, sebelum bius benar-benar mematikan
kesadaran.
- Begitu tersadar dan tak tahu waktu, banyak peralatan medis
yang tertempel di tubuh. Selang kateter, selang infus, selang oksigen.... Dalam
keadaan sangat haus, tapi hanya diijinkan minum satu atau dua sedot air. Karena
untuk mengaktifkan kembali pencernaan harus menunggu angin keluar dari perut.
(Dan kadang-kadang pun harus menunggu seharian sampai "si angin"
benar-benar enyah dari tubuh).
Bandingkan dengan cara normal, yang setelah
proses bersalin boleh makan apa saja dan sebanyak apapun.
- Ketika efek anestesi mulai habis.
Mulailah terasa ngilu bekas sayatan. Yang membuat gamang untuk bangun,
berjalan, bahkan tertawa dan terbatuk atau bersin... Karena setiap gerakan yang
berhubungan dengan otot perut akan memunculkan rasa ngilu dan nyeri. Belum lagi
masalah dengan keloid pada bekas operasi.
- Membutuhkan daya juang menahan sakit yang
besar, ketika pada hari kedua oleh paramedis disarankan untuk bangkit dan
berjalan sendiri tanpa bantuan, dengan alasan agar bekas operasi menjadi
elastis dan tidak kaku. Padahal ngilu bekas sayatan masih sangat terasa,
meskipun sudah dibantu dengan obat penghilang rasa sakit.
- Dengan operasi caesar, perawatan pasca
bersalin tidak bisa optimal. Karena tidak disarankan memakai gurita atau
setagen, yang dipercaya bisa memulihkan "penampakan" perut. Dengan
alasan, menghindari jahitan operasi robek atau terbuka kembali. Maka hilanglah
harapan untuk kembali memiliki "penampakan" bagian perut seperti
sebelum melahirkan.
Setelah membaca ini, masihkah ada calon ibu
yang berpandangan lebih enak melahirkan secara bedah caesar, dan sengaja
memilih melahirkan dengan cara
"diluar kebiasaan"
seperti ini?
Pondok Gede - 12122012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar