Pungli adalah kependekan dari
"pungutan liar". Jika disebut 'liar', pastilah bukan sesuatu yang
menyenangkan. Tapi sebaliknya ; bikin mangkel, gondok, jengkel... Lebih
menjengkelkan lagi, jika pungli itu terjadi di tempat yang tidak
disangka-sangka. Seperti yang kualami hari ini di TPS (tempat pengumpulan
sampah).
Ceritanya, akhir-akhir ini aku selalu
menghindari meletakkan sampah di depan pagar rumah karena jadwal pengangkatan
sampah oleh petugas komplek menjadi tidak teratur. Petugas pengangkut sampah
itu layaknya hujan di akhir musim saja. Kadang datang dua kali seminggu, bisa
juga sekali seminggu. Tapi kalau sedang rajin, dia bisa datang setiap hari
dalam tiga hari berturut-turut. Ketidakteraturan jadwal angkut sampah itu bagiku
menjengkelkan. Karena walaupun sudah dikemas dengan rapi, pemulung yang lewat
selalu giat mengaduk isi kantong sampah dan enggan mengikatnya kembali dengan
baik. Akibatnya, sampah yang sudah kupilah - mana yang organik dan mana yang
anorganik - berceceran kemana-mana. Terlebih jika kucing-kucing tak bertuan
juga ikut memilah sampah mana yang bisa dijadikan menu dinner-nya. Sungguh
'menyeramkan' menemukan sampah yang lolos dari kantong dan bertebaran dipagi
hari.
Maka galaulah aku melihat kantong-kantong
sampah yang masih teronggok pasrah, ditambah kekhawatiran jika malam nanti
kantong sampah itu dicabik-cabik oleh "kucing-kucing punk". Ditengah
kegalauan itu tiba-tiba aku ingat, diluar komplek aku pernah melihat sepetak
tanah kosong yang diatasnya aku sering melihat gerobak pengangkut sampah parkir
disana. Dan pada waktu-waktu tertentu, aku juga melihat truk dari pemkot mengangkut sampah yang ditumpuk disitu. Nah, daripada menunggu kedatangan petugas
sampah yang tak menentu, maka aku pun berinisiatif mengangkut sendiri kantong
sampahku ke TPS itu.
Tapi apa yang terjadi? Saat aku baru saja
meletakkan kantong sampah disisi tumpukan sampah yang menggunung, seorang
lelaki datang menghampiriku sambil setengah berteriak.
"Nggak boleh buang sampah disini, Bu!" Teriaknya smbil mendatangiku.
"Lha, ini kan tempat penumpukan
sampah? Kok nggak boleh?" Tanyaku,
setelah sempat heran dan terbengong.
"Ibu dari mana?" Laki-laki lusuh bersepatu boot hitam itu malah balik bertanya.
"Saya tinggal disitu," jawabku sambil menunjuk arah komplek yang tak jauh dari lokasi.
"Nggak boleh buang sampah
disini," katanya lagi. Membuat aku
mendadak jengkel melihat kedegilannya.
"Lho, ini kan memang tempat sampah?
Lalu kenapa tidak boleh buang sampah disini? Di komplek saya ada petugas
pengangkut sampah, tapi datangnya nggak teratur. Makanya saya antar sendiri
kantong sampah saya kesini," ujarku
panjang lebar sambil menahan dongkol. Apa sih, maunya orang ini? Memangnya
sampah disini ekslusif dan istimewa, sehingga tidak boleh bercampur dengan
sampah yang kubawa?
"Kalau mau buang sampah disini, saya
bisa tolongin. Kasih aja saya seberapa buat beli rokok... Nanti saya bilangin
ke orang-orang sini. Tuh, rumah emak saya yang sebelah situ," katanya
sambil menunjuk sebuah rumah yang di halamannya bertumpuk karung - yang
sepertinya- berisi barang bekas.
Oh, aku baru paham, rupanya dialah
"penguasa" lahan ini sehingga dia merasa berhak melarang atau
membolehkan orang beraktivitas disini. Dengan hati jengkel, aku merogoh kantong
celana. Selembar uang yang tadinya sengaja kubawa untuk berjaga-jaga pun
kuangsurkan ke tangannya. Sebenarnya hatiku tak rela. Bukan semata-mata masalah
uangnya, tapi cara laki-laki itu "memalak" itulah yang kubenci.
"Tiap bulan muda aja Ibu kasih uang ke
saya. Habis itu Ibu saya jamin aman buang sampah disini," katanya sambil
tersenyum. Tapi sayangnya, menurutku senyum itu mirip senyum
"lucifer". No way! Cukup kali
ini saja aku terpaksa pasrah "dipalakin" (daripada harus membawa
kembali kantong sampah ke rumah). Aku menggerutu dalam hati sambil bergegas
meninggalkan tempat itu.
Mau tak mau setelah ini, aku harus
memikirkan cara agar kantong-kantong sampahku aman dari jarahan pemulung dan
kucing-kucing tak bertuan, hingga saatnya diangkut oleh petugas sampah yang
kehadirannya tak menentu. Mungkin dengan membuat bak sampah bertutup berikut
gemboknya? Ckckck...
Pondok Gede - 16102013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar