Beberapa tahun yang lalu, setiap kali
melewati rumah di ujung jalan keluar komplek, aku selalu berandai-andai.
Seandainya aku bisa punya rumah seperti itu ; Rumah yang tegak di tengah
keteduhan pepohonan dan tanah sekelilingnya diselimuti hamparan rumput hijau.
Tanah tempat rumah itu berdiri, bagiku sangat luas. Kuperkirakan luasnya
mencapai 1000 meter persegi, atau malah lebih.
Rumah itu adalah milik Nenek salah seorang
teman sekolah anakku. Dulu sebelum keluargaku pindah mukim ke luar kota dan
kembali lagi ke tempat ini, aku pernah mengawal anakku memenuhi undangan acara
ulang tahun temannya itu. Sebab itulah aku tahu betapa luas dan hijaunya lahan
itu. Halaman belakang rumah yang diselimuti rumput hijau kuperkirakan bisa menampung
lima atau enam tenda camping ukuran sedang. Sungguh sebuah kemewahan bagiku
yang tinggal di komplek dengan tembok antar rumah yang saling berdempetan...heuheu...
Tetapi setelah tiga tahun kami menjalani
hidup rantau dan kembali lagi ke rumah mungil kami, aku terkejut. Rumah teduh
dan hijau yang kukagumi itu telah lenyap. Bukan hanya rumah bercat putih itu
yang menghilang, tapi juga pepohonan dan rumput hijaunya. Yang kutemui sekarang
adalah lahan luas dikelilingi seng dan umbul-umbul nama 'Villa XYZ' didampingi
umbul-umbul dari sebuah bank penyedia jasa KPR. Oalahh...
Ada rasa miris menghinggapi... Rupanya
kebutuhan hunian telah dengan rakusnya melahap lahan hijau tempat tumbuhnya
pepohonan yang menyimpan air tanah sekaligus menghasilkan oksigen. Disekitar
komplek kediamanku setidaknya ada 3 lahan yang sebelumnya adalah rumah tunggal
ataupun tanah kosong serupa kebun dan ladang yang berubah menjadi komplek mini berisi
rumah model town house dibawah 20 unit. Semuanya tampak dibangun oleh developer
berskala kecil yang baru menapak dunia properti.
Kebutuhan tempat tinggal memang suatu
keniscayaan. Tapi di alam pikiranku yang awam, ini menjadi suatu hal yang "mengerikan"
bila dikaitkan dengan kelestarian air dan
ruang hijau. Aku membayangkan, jika dulu lahan seluas itu hanya digunakan untuk
menampung 1 bangunan rumah, tentunya masih banyak tanah terbuka yang bisa
digunakan untuk resapan air dan tumbuhnya pepohonan. Sekarang, jika diatas
lahan itu dibangun 10 hingga 15 rumah, otomatis ruang terbuka habis... Lalu,
bagaimana dengan fungsi tanah sebagai resapan air? Terlebih lagi membayangkan, tentunya akan muncul pula 10
hingga 15 titik tanah yang akan di-bor sebagai sumber air masing-masing rumah,
mengingat layanan PAM belum menjangkau kawasan ini.
Semakin miris, jika teringat pengalaman
tahun lalu, dimana sumber air di rumahku benar-benar mengering di musim kemarau
hingga pompa air terus berdengung hingga berjam-jam tanpa setitik air pun yang
keluar. Suatu hal yang baru kali ini terjadi setelah 16 tahun kami tinggal di
tempat ini. Itu pun kami dengan kesadaran sendiri beberapa tahun sebelumnya
telah membuat sumur resapan air hujan di lahan kami yang imut. Bagaimana dengan
rumah-rumah lain, apalagi yang tidak memiliki sumur resapan? Yang pasti dimusim
kemarau tahun lalu, tukang sumur bor kebanjiran order mencari sumber air baru dan
memasang jet pump. Bahkan yang kudengar, ada yang mengebor hingga sedalam 40
meter demi mendapat sumber air yang layak.
Sekarang aku hanya bisa berharap, semoga
para developer memiliki wawasan dan kesadaran yang baik tentang "manajemen
air" dan pelestarian ruang terbuka hijau. Atau jika sudah ada aturan dari
pemerintah tentang hal itu, sudilah mereka menaatinya. Apalah salahnya mengurangi
beberapa juta keuntungan untuk membuat resapan air di setiap unit rumah yang
dibangun untuk "menabung air" serta melestarikan tetumbuhan, demi
memelihara dan merawat bumi kita sendiri. Perbaikan memang seyogyanya dimulai
dari diri sendiri dan sekitar kita bukan?
Pondok Gede - 25112013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar