Petikan surel dari seorang teman, inbox
dengan tanggal sekitar sebulan lalu, setelah sekian lama aku alpa memeriksa
akun e-mail... ;
...
Lewat beberapa peristiwa yang seperti datang saling menumpuk, aku seperti
tersadarkan. Kegelisahanku, luka hatiku... Tak lain adalah karena kesalahanku
sendiri dalam menangani perasaan...
Aku terhenti membaca tulisannya. Scroll up,
mengulang kembali beberapa alinea pembuka suratnya, sekedar untuk memahami
suasana hatinya ; Ada nuansa kesedihan. Lepas dari dia yang biasa.
...
Aku banyak merenung, berpikir.
Mengendapkan diri dan mencari jawaban atas semua yang terjadi dan
kurasa. Browsing internet, lalu membaca beberapa buku tentang hati dalam
bingkai keimanan. Sesuatu yang beberapa waktu ini sempat kuabaikan.
Hingga
akhirnya aku sampai pada pemahamanku yang sederhana. Bahwa ternyata aku
mengotori dan menyakiti hatiku sendiri...
Aku semakin penasaran. Ada apa dengan
temanku yang satu ini. Biasanya dia menulis dengan nuansa semangat yang kental.
Selalu ada 'api' dalam setiap kalimatnya. Kadang nakal dalam kata-kata, kadang
tajam mengkritisi, dan sesekali nylekit sentilannya. Bergegas kutekan mouse
untuk membaca lagi tulisannya.
...
Seperti mengaca pada cermin yang tembus sampai ke dalam raga. Aku melihat
diriku sendiri ; Manusia yang selalu bertanya, menggugat, tak percaya, berkeras
pada kehendak, kadang menyimpan marah yang tak kuasa dan tak bisa kulepas
begitu saja.
Kau
pasti tahu, bagaimana... Hati yang penuh dengan berbagai rasa yang mengeruhkan.
Padahal seharusnya, dia mesti tetap jernih, seperti awalnya dia ada dalam diri
manusia karena kehendakNYA. Lalu dari sekian yang kubaca, satu kata yang
tampaknya adalah kunci dari semua kejernihan rasa ; keikhlasan. Sebuah rasa
yang tak pernah mengikat, namun menerima, membiarkan semua mengalir apa adanya
karena kehendakNYA saja... Dan aku harus belajar keras untuk mendapatkan rasa
itu...
Aku menghela nafas membaca kalimat-kalimat
temanku itu. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Suatu pencerahan dirikah?
....
Kurasa, kau pasti pernah mendengar, atau membaca pengibaratan atau tamsil, atau
apapun sebutannya ; 'menggenggam
pasir'.... Seperti itulah kupikir aku harus menyikapi hatiku terhadap segala
sesuatu yang mampir dan tiba padaku. Jika aku menggenggam pasir kering dengan
erat, maka pasir itu akan meluncur jatuh dan lenyap dari tanganku. Tapi jika
pasir itu kugenggam dengan sewajarnya tanpa kekerasan, maka ia akan tetap
tinggal dalam genggamanku. Bukankah begitu?
Tapi
sangat tak mudah bagiku untuk menjadi begitu. Aku tak yakin kau mengerti.
Karena jika aku memiliki sesuatu yang sangat berharga bagiku, apapun bentuknya, bukankah sudah seharusnya aku
menjaganya dengan demikian erat? Tak boleh ia menjauh atau lepas dari mataku,
hatiku, rasaku, pikiranku? Ah, konsep ini yang ternyata membuat keruh diriku...
Aku berhenti membaca sejenak.
Mengingat-ingat sosok temanku ini. Dia seorang yang menampilkan dirinya selalu
dengan lembut. Tapi aku tahu, dibalik kelembutannya ada kekerasan hati dan
kemauan yang sesekali muncul juga.
...Kau
tahu, sulitnya menyusun rasa ikhlas tanpa rasa kehilangan? Itu tak mudah...
Sulit sekali bagiku, yang sudah terbiasa menggenggam erat sesuatu yang bernilai
dalam hidupku. Tapi aku mesti belajar dan berusaha mencapai kondisi itu meski
tak sempurna. Tapi setidaknya, aku bisa sedikit menjernihkan suasana hati yang
keruh. Hingga pada saatnya nanti aku mampu menempatkan DIA dalam hatiku.
Bukankah untuk itu DIA ciptakan manusia di dunia? Menurutku, DIA tak akan hadir
dalam hati manusia yang pekat tanpa ikhlas...
Aku termenung lagi membaca paragraf
terakhir dari suratnya itu. Tampaknya aku harus mencari tahu lebih banyak
tentang satu kata yang muncul dari hasil pengendapan diri temanku itu ;
"keikhlasan".
Hampir saja aku beralih ke menu reply untuk
menanggapi surat itu. Tapi beberapa spasi setelah paragraf terakhir, ternyata
dia masih menuliskan beberapa kalimat susulan.
...
Untuk kau tahu saja. Sesuatu yang sangat bernilai dan kugenggam erat itu,
menulis pada bidang putih. Sederet kata yang akan selalu kuingat : "untuk Sang Penggenggam Pasir". Dan
airmataku menetes karenanya....
Buat kesekian kalinya, aku menghela nafas
lagi. Aku mengerti, teman... Sangat mengerti...